Dua tahun. Dua sahabat. Satu cinta dan satu hati. Clara dan Sarah, terikat oleh persahabatan yang tak tergoyahkan sejak dua tahun persahabatan mereka di bangku kuliah, menghadapi badai kehidupan bersama. Namun, kedamaian itu hancur ketika sebuah kerikil kecil—sejumlah tokoh antagonis, masing-masing dengan segudang niat jahat—muncul secara tiba-tiba. Serentetan jebakan dan intrik licik memicu serangkaian kejadian di antara Sarah dan Clara: salah paham, pertengkaran, dan pengkhianatan yang tak terduga. Apakah persahabatan mereka cukup kuat untuk menghadapi cobaan ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 35. Botol Mineral (Sarah & Lein Moments)
Deg!
"Maksudmu, kamu...?" Sarah tertegun. Mata indahnya melebar sempurna, bibirnya sedikit terbuka, terkejut oleh kata-kata Lein. Lein menatap Sarah lekat-lekat, sorot matanya menyimpan kesedihan yang dalam, beban berat yang tak terucap. Jemari Lein menggenggam tangan Sarah—sentuhan yang biasanya akan membuat Sarah marah, namun kali ini terasa berbeda. Ada kehangatan yang tak biasa.
"Aku bakal ikut orang tuaku, Sar, ke luar kota dan pindah kuliah di sana. Sar... aku nggak mau jauh dari kamu. Aku sayang dan cinta sama kamu.
Kalau jauh-jauhan gini gimana kita bisa ngobrol? beberapa hari ini aja aku kangen banget sama kamu, karena nggak ketemu. Sar..." Lein terdiam, menunduk sejenak, helaan napas panjang terdengar lirih. Kemudian, ia kembali menatap Sarah, matanya berkaca-kaca.
"Sar," Lein melanjutkan ucapannya, "Aku mau minta sesuatu hal sama kamu sebelum aku pergi ke luar kota sama orang tuaku. Bisa kan?"
Lein terlihat ragu untuk meminta apa yang ingin Ia minta kepada Sarah, karena biasanya jika ia meminta atau melakukan itu kepada Sarah dengan sengaja, Sarah akan marah kepadanya.
Tapi kali ini ia tak mampu menahannya lagi. Meskipun ia tahu ini mungkin yang terakhir kalinya, ia tetap ingin melakukannya.
Sarah mengerutkan kening, penasaran. Hangatnya genggaman tangan Lein terasa menenangkan di telapak tangannya. Ia mengeratkan genggaman tangan itu, tanpa ingin melepaskannya. "Mau minta apa?" tanyanya, tanpa curiga, suaranya lembut.
Seulas senyum menghiasi bibir Lein, matanya berbinar penuh harap. Ia menarik napas, "Kalau aku minta ini kamu nggak akan marah kan sama aku? kamu tetap mau temenan sama aku kan?
Aku nggak mau kamu marah sama aku, aku cinta sama kamu," bisik Lein, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Bayangan kemarahan Sarah menghantuinya.
Rasa penasaran Sarah semakin menjadi. "Aku nggak akan marah sama kamu," jawab Sarah dengan suaranya yang lembut, menenangkan.
"Sekarang kamu mau minta apa? katakan aja." Sentuhan lembut dalam suara Sarah membuat Lein luluh. Senyumnya merekah, matanya berkaca-kaca, seakan mengatakan jika ia tidak ingin pergi.
Lein terdiam, beberapa saat lamanya ia hanya menatap Sarah, seakan merangkai kata-kata yang tepat agar tak melukai hati wanita yang dicintainya. Sarah membalas tatapan itu, sabar menunggu.
Lalu, suara Lein memecah kesunyian, sedikit terengah, "Peluk aku, cium aku untuk yang terakhir sebelum aku pergi, Sar. Aku pengen kita ciuman, pelukan terus aku cium kening kamu."
Ia melanjutkan, suaranya bergetar, "Aku cinta banget sama kamu, Sar. Hatiku tulus cuma buat kamu. Kamu...kamu nggak mau bales perasaan aku? Selama ini kamu nggak ada perasaan apapun sama aku? Kamu...nggak cinta sama aku, Sar?" Pertanyaan itu lebih seperti sebuah harapan, sebuah permohonan terselubung agar Sarah membalas cintanya. Meskipun...
Sarah tampak terkejut, tentu saja tiba-tiba Lein meminta hal itu kepadanya. Jika selama berteman Lein sangat menjaga perasaannya dan tidak meminta hal yang aneh-aneh, kali ini sangat berbeda.
Lein seakan-akan mengungkap keinginan terpendamnya selama ini. Sarah bisa melihat itu dari mata Lein.
Dengan suara sedikit bergetar, karena masih terkejut, Sarah menjawab, "Bukannya aku udah sering bilang sama kamu ya kalau aku...nggak ada perasaan apapun sama kamu?
Aku murni cuma nganggap Kamu temen aku, nggak lebih. Maaf Lein, aku nggak bisa bales perasaan kamu." Penolakan Sarah tegas, tanpa basa-basi. Lein menghela napas panjang, lesu. Dugaannya benar. Ini bukan kali pertama Sarah menolaknya. Keduanya saling menatap, diam.
"Kalau perasaan it's oke. Aku nggak masalah, karena perasaan nggak bisa dipaksa, kan? tapi kalau cium kening kamu? Kita ciuman dan pelukan, kamu...nggak keberatan, kan Sar? Please, sekali ini aja, jangan nolak," pinta Lein, harap-harap cemas. Ia sudah menginginkan ini dari lama, semenjak Ia ada perasaan kepada Sarah.
Sarah terpaku, menatap Lein. Jantungnya berdebar-debar, pipinya bersemu merah. Ia ingin menolak, sungguh. Namun, melihat Lein sangat memohon, hatinya luluh. Dengan ragu, ia mengangguk pelan.
Senyum Lein merekah. Ia segera memeluk Sarah erat. Kali ini, Sarah membalas pelukannya, tangannya terangkat membalas pelukan Lein.
"Aku senang banget bisa meluk kamu kayak gini, Sar," kata Lein, suaranya dipenuhi kebahagiaan. Sarah hanya diam, membiarkan pelukan hangat itu menyelimuti mereka beberapa saat sebelum Lein melepaskannya.
Senyum Lein merekah, manis dan penuh kebahagiaan. Itulah senyum termanis yang pernah Sarah lihat selama mengenal Lein.
"Sekarang adalah yang kedua," kata Lein. Sarah mengerutkan dahi, bingung. Yang kedua? Apa maksudnya?
Tak menunggu jawaban, Lein mendekatkan wajahnya dan menempelkan bibirnya di bibir Sarah, sebuah kejutan yang membuat mata Sarah membulat sempurna. Jantungnya berdebar tak karuan. Ini...
Perlahan, tangan Lein melingkar di pinggang Sarah. Kejutan itu berganti dengan rasa yang tak terdefinisi. Lein mulai melumat bibir Sarah dengan lembut. Awalnya Sarah tidak membalas dan hanya diam, membiarkan Lein mencium bibirnya.
Tapi kemudian tangan Sarah terulur mengalung di leher Lein, membalas ciuman itu—sebuah balasan yang mengejutkan Lein, namun juga membahagiakan. Ciuman mereka semakin tidak terkendali. Kasar, penuh nafsu.
Hhhh...
"Ciuman pertamaku...diambil Lein? kenapa rasanya nikmat banget ya? jantungku berdebar-debar saat kita ciuman kayak gini. Lein...ini kenapa? Kenapa aku membalas ciumanmu?" batin Sarah ketika ia dan Lein masih berciuman.
Rasa ingin tahu menggerogoti benaknya. Mengapa ia membalas ciuman Lein? Seakan ada kekuatan tak kasat mata yang mendorongnya.
Perlahan, Lein mendorongnya ke belakang hingga Sarah terlentang di sofa, bibir mereka masih bertaut. Kejutan membuncah di dada Sarah saat Lein mendorongnya, tubuh mereka kini menyatu, begitu dekat.
"Sar," bisik Lein, melepas ciuman yang baru saja mereka bagi. Tatapannya dalam, menusuk ke lubuk hati Sarah. Sejenak, mereka hanya saling memandang, sebelum Lein kembali mencium bibir Sarah.
Kali ini, ciumannya lebih lembut, lebih penuh rasa. Sarah lagi-lagi membalas ciuman Lein, tangannya masih setia mengalung di lehernya, seakan tak ingin melepaskan sentuhan itu.
Lalu...
"Euhhh, ini apaa? Kok keras banget di atas kewanitaanku? Panjang juga, kayak botol mineral," batin Sarah bertanya-tanya, ia tidak mengerti. Tapi ciumannya dengan Lein tidak juga terlepas.
Perlahan, tangan kiri Sarah bergerak turun, menuju sesuatu keras yang ada di atas kewanitaannya. Setelah ia menyentuh itu, mata Lein terbuka sempurna. Sarah merasakan benda itu empuk, tapi juga keras. Ini apa??
Lalu, jari-jari Sarah dengan ragu meremas benda keras dan hangat yang ternyata ada di balik kain celana Lein itu. Deg! Tubuhnya menegang.
Ia baru menyadari, benda yang ia bilang mirip botol mineral tadi adalah... kepunyaan Lein. Sarah segera menjauhkan tangannya dari benda itu, kembali mengalung di leher Lein.
Lein kemudian men-de-sah, tangannya semakin erat menggenggam pinggang Sarah, menariknya lebih dekat. Ciuman mereka semakin dalam, semakin liar.
Sarah merasakan sesuatu yang lain, sensasi baru yang membuatnya terkesiap. Ia tak mengerti, namun tubuhnya merespon dengan liar.
"Ini..." batin Sarah, masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena gairah yang tiba-tiba muncul, tapi juga karena ketakutan dan kebingungan. Ini semua terasa begitu baru, begitu intens.
Lein melepaskan ciumannya, matanya menatap Sarah dengan penuh gai-rah dan cinta. "Sar," bisiknya, suaranya serak. Ia menelusuri wajah Sarah dengan lembut, ibu jarinya mengusap air mata yang tak disadari Sarah telah menetes di pipinya.
"Aku...aku nggak nyangka...kita udah terlalu jauh Lein. I-ini nggak bisa di lanjut lagi!" Sarah terbata-bata, tak menyangka jika dirinya dan Lein akan sampai pada titik ini. Ini semua terasa salah, begitu salah.
Sarah lalu mendorong bahu Lein, menyuruhnya untuk menjauh dan seketika Lein menjauhkan tubuhnya dari Sarah. Sarah duduk, merapikan bajunya, dan menyeka bibirnya dengan lembut. Rasa gugup tiba-tiba menyergapnya, ia tak berani menatap Lein.
"...Ini semua salah, sangat salah," batin Sarah, kepalanya terasa pening. Ia tak menyangka perpisahan yang seharusnya penuh haru malah berujung pada kejadian yang begitu intim dan tak terduga.
Pelukan Lein, ciumannya, bahkan sentuhan tak sengaja pada bagian tubuh Lein yang paling pribadi—semuanya masih terasa begitu nyata, begitu membingungkan.
Lein terdiam, menatap Sarah dengan raut wajah yang sulit diartikan. Ada penyesalan, ada kekecewaan, dan mungkin juga sedikit harapan yang masih tersisa. Ia mengerti, apa yang terjadi tadi telah melewati batas, tapi ia juga tidak bisa menahan nafsunya yang tiba-tiba muncul.
Keheningan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh detak jantung Sarah yang masih berdebar kencang.
"Maaf, Sar," ucap Lein akhirnya, suaranya terdengar parau. "Aku...aku nggak bermaksud." Ia tahu, permintaannya untuk berpelukan dan berciuman telah memicu reaksi yang tak terduga, sebuah reaksi yang bahkan mungkin tak diinginkan Sarah sendiri.
Sarah mengangguk pelan, masih belum mampu berkata apa pun. Ia merasa bersalah, merasa malu, dan juga merasa bingung. Perasaannya campur aduk, tak tahu harus berbuat apa.
Lein berdiri, merapikan bajunya. "Aku harus pergi," katanya, suaranya terdengar lemah. Ia tak berani menatap mata Sarah, takut melihat penyesalan atau kemarahan di sana.
Sarah hanya mengangguk lagi, matanya berkaca-kaca. Ia tak mampu menahan air matanya yang mulai menetes. Perpisahan yang seharusnya penuh kesedihan, kini terasa lebih berat, lebih rumit, karena apa yang baru saja mereka lakukan tadi.
Lein menoleh sekali lagi ke arah Sarah, lalu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Sarah sendirian dalam kesunyian dan kebingungannya.
Bersambung ...