Valerie terpaksa menikah dengan Davin karena permintaan terakhir papanya sebelum meninggal. Awalnya, Valerie tidak tahu-menahu tentang rencana pernikahan tersebut. Namun, ia akhirnya menerima perjodohan itu setelah mengetahui bahwa laki laki yang akan dijodohkan dengannya adalah kakak dari Jean, pria yang diam-diam ia kagumi sejak SMA dulu, meskipun Jean pernah menolaknya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xxkntng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Bungkusan makanan
Tok tok tok.
"Pak Davin..." Suara itu terdengar sangat nyaring dari luar ruangan, membuat dua insan manusia yang tengah tidur di dalam refleks mengalihkan pandangan.
"Keluar sana, sekretaris lo nyariin," ucap Valerie sambil melirik ke arah Davin.
Namun, Davin tak sedikit pun mendengarkan ucapannya. Justru, pelukannya semakin erat. Dia menggelengkan kepalanya pelan.
"Yakin gak mau nemuin dia?" Valerie memastikan, suaranya sedikit lebih keras.
"Dia tau ruangan ini gak?" tanya Valerie lagi, seolah mencoba meyakinkan Davin.
Davin menggeleng. "Cuma kamu dan Dilan Regan yang tau ruangan ini," jawabnya dengan tenang.
"Jean gak tau?" Valerie bertanya heran, matanya menatap Davin kesal.
"Gak," jawab Davin singkat.
"Kenapa? Dia kan adik lo," tanya Valerie dengan nada bingung.
"Buat apa dia tau ruangan pribadi saya?" balas Davin.
"Ya, dia harus tau semuanya. Dia kan adik lo," Valerie menyuarakan keberatannya.
"Adik kakak juga butuh privasi, Agata," ujar Davin dengan nada tegas namun lembut.
Valerie terdiam sejenak, tidak tahu harus merespon apa. Kemudian Davin mengalihkan pembicaraan.
"Saya besok izin mau motoran, ya, sama teman-teman," gumam Davin, mencoba mengubah topik.
"Hah?" Valerie terperangah, hampir tak percaya. "Gue gak salah denger?"
"Ini acara tahunan kantor, perusahaan dari tahun lalu memang ada kerja sama dengan salah satu perusahaan otomotif, jadi bentuk kerja sama kita, setahun sekali kita ngadain acara kumpul seperti ini. " davin menjelaskan.
"J-jadi motor di garasi rumah punya lo?" tanya Valerie heran.
"Sejak kapan lo suka motoran?" lanjutnya, masih tidak percaya.
"Dari dulu, kamu aja yang baru tau," jawab Davin.
"Dikasih izin buat pergi gak?" tanya davin, memastikan.
"Sama siapa?" tanya Valerie lagi, semakin penasaran.
"Ya, sama teman dekat aku," jawab Davin.
"Lo yakin ini aman? Maksud gue..."
Davin mengangguk pelan. "Tenang, Agata. Saya sudah pastikan semuanya aman."
"Ini bukan pertama kali saya naik motor, saya sudah sering ikut acara seperti ini. Buat nyalurin hobi saya juga kalau saya capek sama kerjaan," jelas Davin.
"Ya udah, terserah lo,"
"Tapi kalau sampai ada apa-apa sama lo, gue gak ikut campur," tambah Valerie dengan nada tegas.
Davin tersenyum lebih lebar dan mengangguk. "Tenang aja," jawabnya, mencoba meyakinkan Valerie.
DRTTTTT
Suara dering telepon membuat Valerie refleks menoleh. Matanya tertuju pada handphone Davin yang bergetar, panggilan baru saja masuk.
"Angkat, siapa tahu Ceza butuh sesuatu," ucap Valerie, matanya menatap Davin.
"Kalau saya keluar, Ceza bisa tahu ruangan ini. Memangnya kamu mau ada perempuan lain yang tahu ruangan ini selain kamu?" tanya Davin, masih tetap pada prinsipnya.
"Ya, tapi dia nyariin lo. Siapa tahu dia butuh bantuan, tanda tangan, atau mungkin sesuatu yang urgent," Valerie berusaha meyakinkan.
Davin terdiam sejenak, terlihat ragu. Akhirnya, ia melepaskan pelukannya dari Valerie, menghela napas panjang, dan berdiri. Dengan gerakan tenang, ia meraih kaos hitam yang tergantung di dekatnya dan mengenakannya.
Valerie memperhatikan Davin, sedikit tertegun melihat ketampanannya yang tak bisa diabaikan. Davin terlihat begitu tampan dengan kaos hitam yang pas di tubuhnya, membuat aura ketampanannya semakin menonjol.
Davin menyadari tatapan Valerie dan hanya tersenyum kecil. "Sebentar. Saya keluar dulu," ucapnya lembut, sebelum melangkah meninggalkan ruangan, tanpa menyadari tatapan Valerie yang masih tertinggal padanya.
Davin membuka pintu kamarnya dan melihat Ceza yang tengah mencari-cari dirinya di luar ruangan.
"Ada urusan apa, Ceza?" tanya Davin dengan nada datar, matanya tajam menatap.
Ceza terkejut dan langsung memutar badan, matanya melebar saat melihat Davin berdiri tepat di belakangnya.
"P-pak Davin?" Ceza memanggilnya pelan, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.
Davin berdiri dengan penampilan yang jarang terlihatnya. Alih-alih mengenakan jas atau kemeja formal, kali ini ia hanya memakai kaos polos dan celana pendek, penampilan yang tak biasa, bahkan tak pernah Ceza lihat sebelumnya.
Davin memperhatikan tatapannya dan mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya dengan nada serius.
Ceza tersenyum kecil, mencoba menenangkan dirinya. "Oh, nggak, Pak," jawabnya, mencoba menyembunyikan ketegangan.
"Ada urusan apa?" Davin bertanya lagi.
Ceza kemudian mengulurkan bungkusan makanan yang dibawanya. "Saya mau nganterin makanan buat Bapak, takutnya Bapak belum sempat makan."
"Meeting tadi pagi kan cukup lama, saya takutnya kalau Bapak lupa makan, maag Bapak kambuh. Akhirnya saya inisiatif beli makanan favorit di resto kesukaan Bapak," jelas Ceza dengan antusias.
Davin menatapnya dengan mata datar, mencoba menahan ketidaknyamanannya. "Saya sudah bilang berapa kali, temui saya kalau ada hal penting mengenai pekerjaan," jawabnya dengan nada datar.
"Diluar pembahasan pekerjaan, jangan ganggu saya," lanjut Davin dengan tegas.
"Tugas kamu di perusahaan ini hanya menjadi sekretaris saya, tidak lebih dari itu," tambahnya, memberi batasan yang jelas.
"Kali ini saya gak mau diganggu, silakan kamu keluar dari ruangan saya," perintah Davin, dengan nada yang sedikit lebih keras.
"T-tapi Pak..." Ceza mencoba bertahan, namun Davin menatapnya tajam, membuat Ceza meneguk salivanya ketakutan.
"Ceza," kata Davin sekali lagi, kali ini lebih tegas, membuat Ceza cepat-cepat keluar dari ruangan dengan langkah tergesa-gesa.
Davin menghela napas panjang, merasa sedikit lega, lalu segera masuk kembali ke dalam ruangan.
"Udah ngobrolnya? Bentar banget," ucap Valerie, sambil menatap suaminya yang baru saja masuk dan berjalan mendekat.
"Kamu sudah makan?" tanya Davin, sedikit menunduk untuk menatap Valerie.
"Udah, makan sama Jena tadi di kantin," jawab Valerie singkat.
"Lo nanti malam mau tidur di sini lagi atau pulang ke rumah?" tanya Valerie, membuat Davin sedikit curiga.
"Kenapa? Mau keluar malam?" tanya Davin terus terang.
"Curigaan banget sih lo," jawab Valerie ketus.
"Kamu tidur di sini aja, nemenin saya," ucap Davin, menatap Valerie.
"Kalau tidur di rumah, kamu gak mau kan tidur seranjang sama saya?" tanya Davin, dengan nada sedikit menggoda.
"Modus banget sih lo," balas Valerie.
"Sekali ini saja. Mau ya?" Pinta davin.
"Gue mau dikasih apa?" Valerie menaikkan alisnya.
"Apapun yang kamu mau, asal gak ada hubungannya sama Jean, saya turutin," jawab Davin dengan nada serius.
"Kerjaan lo masih banyak ya?" tanya Valerie, melihat Davin yang terlihat sedikit stress.
"Wajah lo udah kayak orang stress Vin,"
"Lo gak bisa senyum gitu? Biar karyawan lo gak pada kabur kalau lihat muka lo itu," tambahnya, membuat Davin tersenyum kecil.