Desi 25th, wanita hamil 7 bulan yang menjalani kehidupan sederhana namun penuh kasih bersama suaminya, Bima, kapten pemadam kebakaran.
Suatu hari, nasib mempertemukan Desi dengan tragedi besar. Ketika ia terjebak di dalam reruntuhan sebuah bangunan, ia menelfon suaminya untuk meminta pertolongan.
Namun, harapannya pupus saat Bima lebih memilih menolong cinta pertama dan anak nya 5th.
Hati Desi hancur saat melihat suaminya memprioritaskan orang lain, meskipun ia sendiri berada dalam bahaya.
Di tengah derita fisik dan emosional, tragedi semakin besar. Saat dilarikan ke rumah sakit, Desi mengalami pendarahan hebat. Bayinya meninggal dalam kandungan, dan Desi koma selama tiga hari.
Ketika Desi membuka matanya, ia bukan lagi wanita yang lemah dan penuh luka. Jiwa baru telah memasuki raganya, jiwa seorang perempuan kuat dan pemberani.
Dengan kenangan Desi yang masih melekat, ia bertekad menjalani hidup baru dan meninggalkan suami nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penthouse Hunian Milik Desi
Di parkiran Kafe Bintang, Desi melangkah keluar dari mobilnya. Saat itu, matanya menangkap sosok wanita yang sangat dikenalnya, Mila, teman baiknya. Mereka saling tersenyum sebelum Mila memanggilnya.
"Desi!" seru Mila ceria, Mila melambaikan tangan, senyumnya lebar, sambil berjalan cepat mendekatinya.
"Mila!" Desi membalas dengan nada antusias. Tanpa pikir panjang, mereka berpelukan erat.
"Kau... kenapa berubah jadi lebih ceria, hah? Biasanya kamu kalem-kalem aja." tanya Mila sambil tertawa kecil.
"Bukan berubah, tapi kembali ke semula, bukan?" jawab Desi santai.
"Tentu saja, aku senang akan perubahanmu! Dulu kau asyik, tapi sempat berubah jadi... yah, terlalu kalem setelah menikah." Mila mengedipkan matanya iseng.
Desi tersenyum lebar. "Karena itu aku kembali, Mil. Kau siap untuk versi lamaku?"
"Selalu siap!" sahut Mila. "Tapi ayo kita masuk, di sini panas."
Desi mengangguk, lalu menggandeng tangan Mila menuju pintu kafe.
Mereka memilih tempat duduk dekat jendela, sinar matahari menerobos lembut ke dalam ruangan. Mila meletakkan tasnya di kursi. Mila membuka percakapan. "Oh ya, tunggu sebentar. Pengacaraku belum datang. Dia akan bergabung nanti."
"Baiklah," jawab Desi sambil memanggil pelayan. "Kita pesan minum dulu, ya. Kamu mau apa?"
Seorang pelayan menghampiri dengan buku menu dan buku catatan kecil. Desi memandang Mila. "Kamu mau pesan apa?"
Mila melihat menu sambil berpikir. "Aku mau es kopi latte, nggak terlalu manis."
"Oke, aku teh hijau panas saja," kata Desi sambil tersenyum. "Oh iya, jangan lupa pesan minuman dan makanan untuk pengacaramu."
Mila mengangguk. "Tambahkan satu jus jeruk dan croissant 3, ya," katanya kepada pelayan.
Pelayan mencatat pesanan itu, tersenyum sopan, lalu pergi.
Sambil menunggu pesanan datang, Mila menatap Desi penuh perhatian. "Des, apakah kau benar-benar sudah baik-baik saja? Bukankah baru-baru ini kau keluar dari rumah sakit?"
Desi mengangguk pelan. "Ya, sehat walafiat sekarang. Hanya saja…" ia berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. "Aku mengalami keguguran karena kejadian itu."
Mila terkejut. "Apa? Bagaimana bisa?"
"Pendarahan hebat," jawab Desi, suaranya sedikit lebih pelan.
Mila menggenggam tangan Desi. "Aku turut berduka, Des. Aku tahu ini pasti berat bagimu. Tapi ayo, kita nggak usah larut dalam kesedihan. Aku nggak mau pertemuan kita jadi acara sedih-sedihan."
Desi tersenyum. "Iya, iya. Jadi, gimana kabarmu, Mil?"
"Baik banget! Tapi, Des, kenapa kamu tiba-tiba mau jual rumah peninggalan orang tuamu ke aku?"
Desi mengangkat bahu. "Aku ingin suasana baru. Dan aku percaya kamu akan menjaga rumah itu dengan baik."
"Des, aku senang banget kamu akhirnya mau jual rumah itu ke aku. Dulu aku kan sering banget nawarin, tapi kamu selalu nolak." ucap Mila senang.
Desi terkekeh. "Yah, waktu itu aku masih terlalu terikat dengan kenangan. Sekarang, aku lebih memilih untuk move on."
"Move on kenapa? Apakah kamu baik saja?" tanya Mila penasaran.
"Ah aku telah mengajukan perceraian," jawab Desi enteng.
"Apa? Kamu beneran mau cerai dari Bima? Bukannya kamu dulu sangat mencintainya?" tanya Mila tak percaya.
Desi mendesah panjang. "Itu dulu, Mil. Sekarang aku nggak peduli lagi. Sudahlah, cerita ini panjang. Nanti aja aku ceritain."
"Baiklah. Tapi, kamu udah nemu tempat tinggal baru?"
"Belum. Tapi nanti aku mau lihat apartemen yang aku incar. Kalau cocok, aku langsung pindah."
Mila tersenyum. "Jangan lupa kasih tahu alamatnya ya. Aku mau main ke tempat barumu."
Desi tertawa kecil. "Iya, iya."
Tak lama kemudian, seorang pria berjas masuk ke kafe dengan langkah terburu-buru. Ia tersenyum meminta maaf saat tiba di meja mereka.
"Maaf, saya terlambat. Tadi ada kemacetan di jalan," katanya sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman.
Mila menyambut tangannya. "Nggak apa-apa, Pak Herman. Kami baru pesan minuman."
Desi tersenyum sopan. "Silakan duduk, Pak."
Pelayan datang membawa pesanan mereka, meletakkan satu per satu makanan dan minuman di atas meja.
Setelah minuman dihidangkan, Pak Herman membuka tas kerjanya dan mengeluarkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk proses balik nama. Ia meletakkannya di atas meja dan mulai menjelaskan dokumen yang diperlukan untuk transaksi jual beli dan pembalikan nama.
Pak Herman kemudian melihat ke arah Desi. "Bu Desi, apakah dokumen-dokumen ini sudah disiapkan?"
Desi mengeluarkan map dari tasnya dan menyerahkannya pada Pak Herman. "Ini sertifikat tanah, foto copy KTP saya, dan surat pernyataan jual beli yang sudah saya tanda tangani, dan yang lainnya silahkan di cek."
Pak Herman memeriksanya dengan teliti. "Baik, semua sudah lengkap."
Mila langsung merogoh tasnya dan menyerahkan foto copy KTP serta tanda bukti pembayaran pajak dan lainnya yang telah disiapkan sebelumnya. "Ini dokumen saya, Pak Herman. Semua sudah saya cek."
Pak Herman mengangguk puas. "Bagus. Kita hanya perlu tanda tangan di sini, dan proses balik nama akan segera diajukan ke notaris."
Desi dan Mila menandatangani dokumen yang diperlukan, sementara Pak Herman mencatat detail pembayaran.
Setelah urusan di kafe selesai, Desi melangkah keluar dengan hati yang sedikit lebih ringan. Ia menatap Mila, mengucapkan salam perpisahan sambil melambaikan tangan. "Jaga rumah itu baik-baik ya, Mil."
"Tentu saja, Des! Jangan lupa kabari aku soal apartemenmu nanti!" jawab Mila dengan senyum lebar.
Desi mengangguk sebelum masuk ke mobilnya dan menghubungi seseorang.
"Halo, Pak Adit. Aku sedang dalam perjalanan ke lokasi. Tapi aku ingin merubah unit yang kupilih. Apakah bisa?" ucap Desi.
"Tentu saja Bu, unit hunian yang mana yang akan Anda inginkan?" tanya Aditya diseberang. Salah satu agen properti terpercaya yang menangani klien VIP, menjawab dengan nada profesional.
"Aku ingin fasilitas mewah dan lengkap serta dekat di pusat kota. Harga berapapun tak masalah. Kalau ada penthouse. Apakah ada?" tanya Desi.
"Ada Bu, silahkan langsung ke lokasi. kebetulan saya sedang berada di sini. Saya akan share lokasi nya." jawab Aditya.
"Oke. Pastikan unit yang kubicarakan sudah siap untuk ditinjau." ucap Desi.
"Tentu, Bu Desi. Unitnya sudah siap, dan saya akan menemani Anda disini. Saya tunggu." jawab Aditya.
Setelah telfon di tutup, Desi memacu mobilnya menuju Grand Celestial Towers, gedung apartemen termewah di kota itu, sesuai yang dikirim oleh Aditya.
Sesampainya di Grand Celestial Towers, Desi langsung disambut pemandangan gedung megah dengan desain modern. Gedung ini memiliki dua penthouse eksklusif di lantai teratas, yang menjadi highlight dari properti tersebut.
Aditya, pria muda berpakaian rapi, melangkah menghampirinya. "Selamat siang, Bu Desi. Mari saya antar Anda ke penthouse yang sudah Anda inginkan."
"Terima kasih, Pak Adit. Aku sudah tidak sabar melihatnya," balas Desi dengan senyuman kecil, berjalan berdampingan dengannya menuju pintu utama.
Lobi apartemen terlihat luar biasa, seperti hotel bintang lima dengan lantai marmer putih, chandelier megah, dan staf resepsionis yang menyambut hangat. Setelah menyelesaikan proses registrasi tamu, mereka menaiki lift menuju lantai 50, tempat kedua penthouse berada.
Lift berhenti dengan lembut, dan Aditya mempersilakan Desi keluar. "Penthouse di gedung ini hanya ada dua, masing-masing memiliki luas 300 meter persegi. Unit Anda adalah yang sebelah kiri."
Desi mengikuti Aditya menuju unit yang dimaksud. Aditya membuka pintu dengan kartu akses dan memperlihatkan bagian dalam penthouse.
"Selamat datang di rumah baru Anda, Bu Desi."
Begitu masuk, Desi langsung disambut oleh ruang tamu luas dengan jendela kaca besar yang menawarkan pemandangan kota 360 derajat. Dekorasi modern minimalis, dengan dinding berwarna krem lembut, sofa kulit putih, meja kaca elegan, dan lampu gantung berbentuk geometris, menciptakan suasana mewah sekaligus nyaman.
"Ini luar biasa," gumam Desi sambil berjalan perlahan ke tengah ruangan.
Aditya mengangguk. "Penthouse ini memiliki tiga kamar tidur, ruang tamu yang luas, dapur modern, ruang kerja pribadi, dan balkon besar yang membentang di sepanjang sisi utara dan timur."
Desi melangkah menuju dapur. "Desain dapurnya benar-benar mengesankan," katanya sambil melihat peralatan dapur premium yang sudah tersedia, seperti kulkas dua pintu, oven modern, dan mesin pembuat kopi otomatis.
Aditya tersenyum. "Semua peralatan menggunakan merek premium dan sudah termasuk dalam pembelian. Selain itu, penthouse ini memiliki fitur smart home. Anda bisa mengontrol pencahayaan, suhu ruangan, dan keamanan melalui aplikasi di ponsel."
Desi berjalan menuju kamar utama. Kamar itu sangat luas, dengan tempat tidur king size berlapis linen mewah, jendela penuh dari lantai ke langit-langit, dan sofa kecil di dekat sudut baca. Di sisi lain kamar, pintu geser terbuka ke arah kamar mandi pribadi yang dilengkapi bathtub besar di dekat jendela, pancuran hujan modern, dan cermin pintar.
"Ini benar-benar cocok untukku," katanya dengan senyum puas.
Setelah selesai berkeliling, mereka berdua duduk di balkon besar yang menghadap langsung ke pusat kota. Balkon itu dilengkapi kursi rotan nyaman dan meja kecil, sempurna untuk menikmati waktu santai.
"Jadi, apa pendapat Anda, Bu Desi?" tanya Aditya.
"Aku suka semuanya. Aku tidak perlu pikir panjang, penthouse ini sempurna. Tapi aku ingin tahu lebih banyak tentang penthouse yang satunya lagi. Apakah sudah ada pemiliknya?"
Aditya mengangguk. "Penthouse yang di sebelah kanan sudah terjual, tapi pemiliknya sangat misterius. Unit itu sedikit berbeda dalam desain, namun memiliki luas dan fasilitas yang sama."
"Baiklah. Kalau begitu, aku tidak ada masalah," kata Desi.
Aditya mengeluarkan dokumen dari tasnya. "Untuk pembelian unit ini, Anda hanya perlu menandatangani kontrak dan menyelesaikan pembayaran awal." ucap Aditya lalu memberitahukan dokumen yang dibutuhkan.
Desi membuka tasnya dan menyerahkan dokumen yang sudah ia persiapkan sebelumnya. "Semua sudah ada di sini. Mari kita selesaikan sekarang juga."
Aditya memeriksa dokumen itu satu per satu. Setelah memastikan semuanya lengkap, ia menyerahkan kontrak untuk ditandatangani Desi.
Desi membaca kontrak dengan teliti sebelum menandatangani. Kemudian, ia mentransfer uang muka melalui aplikasi perbankan di ponselnya.
"Selamat, Bu Desi. Mulai hari ini, penthouse ini resmi menjadi milik Anda," kata Aditya sambil menyerahkan kunci unit.
Setelah Aditya pergi, Desi berdiri di balkon, menikmati pemandangan kota yang indah di siang hari. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, memberikan sensasi tenang sekaligus semangat baru.
"Aku tidak hanya memulai hidup baru. Aku juga memulai hidup sebagai diriku yang sebenarnya," gumam Desi.
Setelah langit berubah jingga, Desi menyadari sudah waktunya pulang. Ia berdiri di balkon penthouse barunya, menikmati angin sore untuk terakhir kalinya hari itu.
"Hah, waktunya pulang," gumamnya dengan nada malas sambil meregangkan tubuh. "Saat nya menghadapi para bekicot dan telur-telurnya lagi," tambahnya, setengah tertawa.
Sebelum benar-benar pergi, ia merogoh tas tangannya, mengambil ponsel, dan mengecek layar. Banyak pesan di sana, dari Bima si bekicot dan telur telur nya pada memenuhi ponselnya. Desi mengabaikan pesan dari mereka.
Sebuah pesan dari nomor tak dikenal juga muncul di sana. Ternyata pesan itu adalah pesan tadi pagi yang belum sempat ia lihat dan baca. Alis Desi terangkat sedikit saat membukanya.
Isi Pesan:
"Halo Mbak Desi, saya Maya. Saya hanya ingin mengabarkan bahwa Mas Bima dan keluarganya saat ini sedang bersama saya, membahas pernikahan kami yang akan dilangsungkan lusa. Jangan lupa datang ya, Mbak, untuk memberikan restu dan ucapan selamat kepada kami."
Desi membaca pesan itu sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding balkon. Bibirnya tertarik ke atas. Ia mengetik balasan dengan santai.
"Tentu saja. Aku akan datang."
Setelah mengirim pesan itu, ia mendengus kecil sambil tertawa. "Tentu saja, kejutan untuk kalian akan datang lusa. Aku sudah tidak sabar, Bima. Kamu, keluarga bekicotmu, dan calon pengantin barumu itu pasti akan suka," gumamnya dengan nada geli, sebelum memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.
Dengan langkah ringan namun penuh keyakinan, Desi meninggalkan penthouse-nya. Aura santai namun tajam itu menjadi ciri khas Gendis, yang kini menguasai tubuh Desi. Karena bagi Gendis, urusan Bima, Maya, dan keluarga mereka sudah tidak lebih penting dari angin yang berlalu.
skg d kmr.
msh sama yg banting pintu
semangat Thor
/Determined//Determined/