Jesika terpaksa menggantikan adik angkatnya untuk menikah dengan pria kaya, tapi mentalnya sakit. Namun, keterpaksaan itu membawa Jesi tahu akan seberapa tersiksanya kehidupan Jonathan dengan gangguan mental yang dia alami.
Mampukah Jesi menyembuhkan sakit mental sang suami? Lalu, bagaimana jika setelah sakit mental itu sembuh? Akankah Jona punya perasaan pada Jesi yang sudah menyembuhkannya? Atau, malah sebaliknya? Melupakan Jesi dan memilih menjauh. Temukan jawabannya di sini! Di Suamiku Sakit Mental.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Episode 18
Ucapan itu langsung membuat papa Jona melirik Jesi yang kini masih diam dengan wajah tertunduk.
"Apa yang terjadi, Jesi?"
"Maafkan aku, Pa. Aku teledor dalam menjaga putra papa," ucap Jesi lirih.
Papa Jona langsung menyentuh pundak Jesi dengan lembut.
"Bukan salah kamu. Ini adalah kecelakaan yang .... "
"Apa kamu bilang? Ini adalah kecelakaan?" Mama Jona langsung memotong ucapan suaminya dengan cepat. Dengan wajah penuh amarah, dia menatap suaminya.
"Anak kita hampir mati karena percobaan bunuh diri yang dia lakukan, Pa. Kamu bilang ini hanya kecelakaan? Apa kamu sudah tidak waras lagi sekarang, hah!"
"Ma. Semua ini juga tidak bisa kita salahkan pada Jesi seorang. Mama tahu bagaimana Jona selama ini, bukan?"
"Mama tahu, Pa. Karena itu mama bicara dengan menyalahkan dia." Mama Jona kembali menuding, Jesika.
"Jona itu tidak akan kambuh jika tidak ada yang membangkitkan perasaan sedih yang dia pendam. Dan mama yakin, perempuan ini sudah membangkitkan perasaan sedih itu," kata mama Jona lagi sambil menatap tajam ke arah Jesi.
"Ma. Semua sudah berlalu. Jesi mungkin melakukan kesalahan itu karena dia belum mengetahui semuanya tentang Jona. Jadi, tolong mama jangan marah-marah lagi sekarang."
"Hah? Papa tetap membela perempuan ini?" Mama Jona berucap dengan nada tinggi karena sangat kesal.
"Bukan begitu, Ma."
"Jadi, kalau bukan begitu, lalu seperti apa, Pa? Hah? Seperti apa?"
Papa Jona langsung memberi kode pada dokter Dana untuk membantunya. Si dokter muda sungguh pintar membaca isyarat. Dia pun langsung ambil alih dengan menjadi penengah.
"Mm ... tante. Sekarang tante tenang dulu ya. Jona butuh istirahat yang baik, jadi tante jangan terbawa emosi. Tante juga harus istirahat agar emosi tante bisa stabil lagi." Dana berucap sambil menyentuh kedua bahu mama Jona dengan lembut.
"Kamu juga sama. Kalian sama saja," kata mama Jona kesal. Tapi, dia melakukan apa yang dokter Dana katakan.
Dia meninggalkan kamar tersebut dengan langkah yang sepertinya sedikit di hentak-hentakkan. Tapi sebelum itu, dia sempat menatap tajam Jesika.
Setelah kepergian mama Jona, papa Jona langsung menghampiri Jesika kembali.
"Kamu jangan ambil hati apa yang mamamu katakan ya, Jes. Dia seperti itu karena sedang cemas dan terlalu panik dengan keadaan Jona saja. Dia akan kembali normal nanti setelah hatinya dingin."
"Aku gak ambil hati kok, Pa. Aku tahu, kalau apa yang Jona alami memang kesalahan dari diriku sendiri. Aku yang memang sangat teledor dalam menjaga Jona. Aku tidak bisa menjaga dia dengan baik." Jesi berucap dengan nada yang tenang.
Tapi sebenarnya, dalam hati, dia sangat sedih juga terluka. Dia di salahkan lagi dan lagi oleh orang terdekat yang dia kenal. Terutama, orang yang bergelar mama. Sama seperti mama angkat yang selalu membenci dirinya.
Papa Jona pun mengajak Jesi untuk duduk agar lebih tenang. Kini, tinggal mereka bertiga di kamar itu.
"Apa yang sebenarnya terjadi tadi, Jes? Kenapa Jona bisa sampai kambuh seperti ini?" tanya papa Jona memulai obrolan setelah mereka sama-sama duduk.
"Itu ... aku mengajaknya nonton lewat ponsel ...." Jesi tiba-tiba mengantungkan kalimatnya saat ingat dengan gawai yang Jona lempar.
Dia pun melihat ke arah gawai nya yang rusak dan tak tertolong lagi. Hatinya sungguh sangat sedih. Ingin rasanya dia berlari ke arah ponsel tersebut. Tapi sekuat tenaga dia tahan. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan papa Jona.
"Oh, kalian melihat ponsel tadi? Apa kalian melihat berita soal pewaris nomor satu yang sedang bahagia karena kelahiran anak pertama mereka?" tanya dokter Dana ikut bicara.
"Iy-- iya. Aku tidak sengaja saat membuka ponsel langsung terputar berita itu."
"Pantas saja sakitnya kambuh," ucap dokter Dana pelan.
"Ke-- kenapa memangnya?" Jesi berucap dengan nada gelagapan karena bingung sekaligus penasaran.
"Jesi, kamu lihat kamar ini, bukan? Di sini tidak ada televisi. Jona juga tidak punya ponsel. Itu karena kita selalu berjaga-jaga dengan sangat baik. Kita menjaga perasaan Jona supaya jangan dapat kabar tentang Sean dan Marisa." Papa Jona pula angkat bicara.
Penjelasan itu semakin membuat Jesika bingung. Dia tatap wajah Dana dan papa Jona secara bergantian. Berharap, mereka bisa memberikan penjelasan yang lebih jelas agar hatinya tidak merasa penasaran lagi.
"Dana, tolong jelaskan pada Jesika agar dia paham. Om akan menemui tante mu untuk bicara," ucap papa Jona sambil bangun dari duduknya.
Setelah kepergian papa Jona, dokter Dana pun langsung memulai pembicaraan mereka berdua. "Aku teman Jona. Teman baik, tapi terpisah karena study luar negeri yang aku ambil," ucap dokter Dana malah menceritakan tentang dirinya.