"Kalau kamu tetap enggak izinin aku menikah lagi, ... aku talak kamu. Kita benar-benar cerai!"
Dwi Arum Safitri atau yang akrab dipanggil Arum, terdiam membeku. Wanita berusia tiga puluh tahun itu benar-benar sulit untuk percaya, Angga sang suami tega mengatakan kalimat tersebut padahal tiga hari lalu, Arum telah bertaruh nyawa untuk melahirkan putra pertama mereka.
Lima tahun mengabdi menjadi istri, menantu, sekaligus ipar yang pontang-panting mengurus keluarga sang suami. Arum bahkan menjadi tulang punggung keluarga besar sang suami tak ubahnya sapi perah hingga Arum mengalami keguguran sebanyak tiga kali. Namun pada kenyataannya, selain tetap dianggap sebagai parasit rumah tangga hanya karena sejak menikah dengan Arum, pendapatan sekaligus perhatian Angga harus dibagi kepada Arum hingga keluarga Angga yang biasa mendapat jatah utuh menjadi murka, kini Arum juga dipaksa menerima pernikahan Angga.
Angga harus menikahi Septi, kekasih Andika-adik Angga yang memilih minggat setelah menghamili. Yang mana, ternyata Septi mau dinikahi Angga karena wanita muda itu juga mencintai Angga.
Lantas, salahkah Arum jika dirinya menolak dimadu? Dosakah wanita itu karena menjadikan perceraian sebagai akhir dari pengabdian sekaligus kisah mereka? Juga, mampukah Arum membuktikan dirinya bisa bahagia bahkan sukses bersama bayi merah tak berdosa yang telah Angga dan keluarganya buang hanya karena ia tetap memilih perceraian?
🌿🌿🌿
Follow Instagram aku di : @Rositi92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30 : Kematian, Kehilangan yang Paling Menyakitkan
Tubuh Kalandra terguncang pelan akibat tangis yang ditahan. Pria itu menatap Arum dengan mata nanar sekaligus basah.
“Ikhlas, yah, Mas. Pelan-pelan. Saya tahu Mas sangat mencintai istri Mas. Bahkan enggak hanya istri Mas yang berterima kasih, saya yang hanya tahu pun sangat berterima kasih. Terima kasih banyak sudah menjadi suami yang sangat mencintai istri. Terima kasih banyak karena Mas sudah jadi suami yang sangat bertanggung jawab!” Arum sampai tersedu-sedu. Ia sadar, Kalandra sedang ada di titik nadir yang juga membuat pria itu sangat sensitif.
“Sekarang Mas ambil wudu, bacakan doa. Ayo kita bacakan surat yasin buat istri Mas biar semuanya dilancarkan. Biar istri Mas diberi tempat lapang, tempat terbaik di sisi Tuhan.”
Kalandra menggeleng, dan menjadi kesibukan barunya menepis semua yang Arum katakan.
“Istigfar, Mas. Kalau kayak gini enggak hanya istri Mas yang kasihan. Namun juga Mas, keluarga kalian khususnya keluarga istri Mas.”
“Mas tahu, kan? Rasa cinta sekaligus tanggung jawab seorang suami kepada istri maupun kebalikannya akan berbeda cara jika kita sudah tidak bersama?” sergah Arum masih bertutur lembut sekaligus berhati-hati. Ia sungguh tidak tega kepada Kalandra.
“Mbak ....” Kalandra tersedu-sedu. “Dia beneran enggak sakit. Hanya bilang capek dan mau istirahat, mau tidur agak lama makanya saya selalu ragu buat bangunin.”
Arum mengangguk-angguk paham bersama rasa sesak yang ia tahan. “Sudah, yuk. Ambil wudu. Kita bacakan doa. Kasihan istri Mas. Istri Mas pasti sudah sangat menunggu doa dari Mas.” Ia beranjak berdiri kemudian menunggu di depan Kalandra dan membuatnya agar berjongkok.
Kalandra menunduk dalam bersama tangisnya yang benar-benar pecah.
“Istigfar, Mas. Istigfar.”
Setelah bujuk rayu terbilang sangat berat yang Arum lakukan, dengan berat Kalandra beranjak. Pria itu sempoyongan, dan Arum yang masih mengemban Aidan sampai membimbingnya. Arum menggenggam erat sebelah pergelangan tangan Kalandra dengan tenaganya yang tentu saja tidak seberapa mengingat tubuh Kalandra saja lebih besar sekaligus lebih tinggi darinya.
Semalaman, doa bersama mereka lakukan disertai pula oleh ibu Kalsum yang akhirnya bangun. Namun Arum yakin, ibu Kalsum melakukannya karena terpaksa. Bukan karena wanita itu memiliki masalah khusus dengan Bilqis atau malah Kalandra, melainkan karena kenyataan ibu Kalsum yang sangat penakut. Saat duduk di sebelah Arum dan itu di lantai sebelah tempat tidur Bilqis berada yang Arum alasi tikar saja, ibu Kalsum terus mendekap erat sebelah lengan Arum yang menyangga kepala Aidan. Karena selama itu juga, Arum tetap mengemban Aidan.
Sekitar pukul setengah empat pagi, Arum ke dapur dan menyiapkan teh hangat untuk Kalandra maupun ibu Kalsum. Mereka benar-benar tidak ada yang tidur apalagi Kalandra yang tampak sangat terpukul bahkan hancur. Sepanjang melantunkan doa, tatapan Kalandra kosong dan butiran bening kerap berjatuhan dari kedua sudut matanya. Masalahnya, ibu Kalsum tetap tidak mau ditinggal dan akan mengikuti ke mana pun Arum pergi.
Baru Arum ingat dirinya melupakan satu hal. Sebagai orang paling netral bahkan waras di sana karena selain Kalandra sedang sangat berduka dan tak mungkin berpikir normal, ibu Kalsum yang harusnya bisa diandalkan malah sangat penakut. Akhirnya, Arum menyarankan ibu Kalsum untuk mengabarkan kematian Bilqis kepada pihak keluarga.
“Ya ampun, Mbaak, kok saya enggak kepikiran ke situ, ya? Saya bahkan belum mengabari suami saya kalau saya enggak pulang.”
“Dari awal Ibu takut terus. Gini yah, Bu. Saya bukannya bermaksud kurang ajar. Namun, di posisi sekarang, Mas Kala sangat butuh dukungan. Mas Kala sangat butuh dukungan Ibu terlebih Ibu, merupakan ibu Mas Kala.” Arum bertutur dengan makin sangat hati-hati apalagi ia sadar, di sana dia bukan siapa-siapa. Dia hanya kebetulan ada, dan memang memiliki hubungan baik dengan Kalandra sebagai rekan kerja.
“Paling perlu ditekankan, jangan menganggap apa yang Mas Kala lakukan ini enggak waras. Cukup dikasih arahan saja, itu pun pelan-pelan karena kita enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun saya yakin, Mas Kala begini karena beliau sangat menyayangi istrinya.” Arum meyakinkan terlebih ia sadar bahkan mengalaminya.
Di mana-mana, posisi paling gampang memang nyawang atau itu melihat. Iya, melihat kemudian menilai, padahal kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi termasuk proses yang sudah orang yang kita nilai lalui. Namun jangankan orang lain, orang terdekat termasuk orang tua saja, kadang bisa semena-mena kepada anaknya. Kebanyakan alasan tersebut terjadi karena para orang tua merasa lebih tahu dalam segala hal hanya karena mereka lebih tua dan otomatis lebih banyak mengenyam asam garam kehidupan dari anak-anak mereka.
Terlepas dari semuanya, ada satu pembelajaran penting yang Arum dapatkan dari kejadian sekarang. Ini mengenai luka paling menyakitkan dan Arum pikir adalah dibuang. Nyatanya, ditinggal orang yang kita sayangi sekaligus tulus menyayangi kita untuk selama-lamanya jauh lebih menyakitkan dari semua luka yang ada di kehidupan. Kendati demikian, Arum percaya, bahwa ketika kita dibuang oleh orang yang selama ini kita sayang dengan tulus, mungkin Tuhan memang sengaja mengadakannya lantaran kita terlalu berharga untuk mereka. Sedangkan alasan Tuhan menjadikan maut sebagai perpisahan kita dengan orang yang kita sayang, Arum berpikir karena Tuhan memiliki takdir yang jauh lebih indah melebihi cinta tulus yang sudah ada.
Sabar yah, Mas Kala. Setelah ini meski enggak mudah, segala sesuatunya pasti lebih baik, batin Arum.
Sebelum pukul empat pagi, Arum pamit karena ia harus kembali ke kantin rumah sakit. Siangnya setelah membagikan jatah makan siang kepada setiap pasien, Arum sengaja izin sebentar untuk ke rumah Kalandra. Ia tak datang dengan tangan kosong karena ia membawa kue basah sekaligus gorengan yang ia buat secara khusus di tengah kesibukannya bekerja di kantin.
Tak jauh dari rumah Kalandra, Arum mendapati beberapa perwakilan dari orang pasar yang akan turut menyampaikan belasungkawanya kepada Kalandra. Ada ibu Nur dan sang suami, juga pak Kusno dan istri selain beberapa warga lainnya. Mereka datang bersamaan ke rumah Kalandra meski ternyata, jenazah Bilqis sudah dimakamkan dan rombongan yang menguburkan pun mulai berdatangan. Mereka hanya bertemu dengan pihak keluarga Kalandra dan Bilqis di tengah bau busukk yang tak semenusuk saat terakhir kali Arum meninggalkannya. Mungkin selain karena sumber bau bussuknya sudah tidak ada, sisa-sisanya pun sudah dibersihkan.
Desas-desus mengenai jasad Bilqis yang sudah bau busuk ternyata sudah sampai menyebar. Karena orang pasar juga sudah sampai mendengarnya. Sementara kini, kenyataan Kalandra yang masih terjaga di sisi nisan Bilqis juga tengah menjadi bahan omongan.
Sungguh kehilangan yang sangat menyakitkan. Sudah kehilangan, di luar itu pun turut disertai simpang siur yang lebih menyakitkan.
Yang sabar, yah, Mas. Dalam hatinya, Arum terus mendoakan yang terbaik untuk Kalandra dan luka-luka pria itu akibat kehilangan sang istri. Terlebih di hari pertama pemakaman, Kalandra sampai tidak pulang ke rumah. Di hari kedua pun, Kalandra hanya pulang sejenak untuk mengganti pakaiannya yang kuyup akibat hujan yang terus mengguyur.
“Sehat, Mas?” sapa Arum ketika di hari keempat dari pemakaman istrinya, Kalandra datang mengunjunginya.
Di tengah wajahnya yang masih pucat dan tubuh pun menjadi kurus, Kalandra mengukir senyuman. Ia memilih duduk di salah satu kursi yang kosong sekaligus jauh dari keramaian. Ia meletakan dua berkas yang dibawa, di meja.
Arum yang tak mengemban Aidan, bergegas menghampiri Kalandra sesaat setelah ia meletakan nampan berisi gelas kosong bekas pembeli.
“Aidan mana?” sergah Kalandra karena di pagi menjelang siang, ia tak melihat tanda-tanda Aidan di sana.
“Lagi dibawa ibu Nur sama Rani. Mereka mau pengambilan rapot Rani dan memang sengaja mampir, Mas,” jelas Arum yang juga sudah langsung menyuguhkan satu gelas besar teh manis kepada Kalandra. Karena daripada kopi layaknya minuman laki-laki pada kebanyakan, Kalandra jauh lebih menyukai teh manis.
“Oh ... kirain. Soalnya empat hari enggak urus kasus Mbak, takutnya pihak sebelah ngamuk dan macam-macam ke Mbak atau malah ke Aidan, Mbak,” jelas Kalandra yang memang khawatir. Ia sampai beberapa kali meminta maaf.
Arum tersenyum masam. “Baru kemarin sore, Mas. Septi sama orang tuanya datang. Namun alhamdullilah, orang rumah sakit sama pembeli yang kebetulan sedang di sini, langsung kompak bantu saya.”
“Kan bener ....” Kalandra merasa kecolongan terlebih Septi dan keluarganya memang sangat bar-bar.