HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yg gamodal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Hamil, bagi Kanaya itu adalah berita paling buruk dari bencana sekalipun untuk saat ini.
"Ibra aku tidak main-main!! Menjauhlah dariku dan biarkan aku pulang sendiri," pinta Kanaya dengan sorot tajam tak terima akan perlakuan Ibra yang begitu posesif terhadapnya.
"Akan kuantar sampai ke rumahmu, orang tuamu perlu tau, Kanaya," tutur Ibra yang semakin membuat Kanaya takut saja, entah kenapa sejak tadi Ibra justru bertindak sedalam ini padanya.
"Kau gila?!! Kau pikir mereka akan senang mendengarnya? Bisa jadi mereka mengusirku saat itu juga!"
Mana mungkin mereka akan menerima, bisa dipastikan Widya akan murka. Belum lagi Abygail yang selalu menekankan Kanaya untuk menjaga diri sejak kecilnya.
Akan sebesar apa kecewa dan murka yang dia hadapi nanti. Dan kini, Ibra dengan santainya mengambil peran seakan menjadi garda terdepan untuk melindungi Kanaya.
"Lalu kau mau bagaimana? Merahasiakan kehamilanmu sampai anak itu lahir?" tanya Ibra menatap Kanaya begitu intens mata yang kini mengembun di depannya.
"Aku tidak berpikir anak ini akan lahir."
Jantung Ibra seakan dihujam habis-habisan. Ucapan Kanaya membuatnya terluka dan batinnya tersiksa. Sungguh, demi apapun ini menyakitkan bagi pria seperti Ibra.
"Kau gila?!! Jangan berani berpikir macam-macam, Kanaya."
Pria itu mengguncang pelan pundak Kanaya, wanita itu menggeleng pelan sembari berusaha menyingkirkan tangan Ibra dari tubuhnya. Tak peduli meski kini air mata Kanaya berurai dan memperlihatkan kesedihannya.
"Kau yang gila!! Kau tidak berada di posisiku, bagaimana Mama bisa kembali menerimaku jika mengetahui anaknya hamil di luar nikah!!" sentak Kanaya dengan suara tangis yang tak jua mereda, wajahnya benar-benar mendefenisikan bagaimana itu hancurnya batin wanita.
Melihat kacaunya Kanaya, batin Ibra terguncang tentu saja. Pria itu menarik Kanaya dalam pelukannya, sedikit memaksa meski sulit sebenarnya. Setidaknya dia ingin Kanaya tak sesesak ini.
"Maaf, semua ini karena aku."
Untuk pertama kali dalam sejarah setelah 29 tahun hidupnya, Ibra meminta maaf. Pria itu mencoba menenangkan diri Kanaya yang kini tengah berusaha berontak.
"Pertahankan anak itu meski kau tak menginginkannya, kau boleh mengutukku tapi jangan benci anak itu."
Sebuah kalimat yang sama sekali tak terdengar manis. Melainkan ancaman yang harus Kanaya hadapi saat ini. Pria itu tak memperlihatkan senyum sama sekali, wajah datar dengan pandangan tajam yang tak dapat Kanaya defenisikan.
"Aku tidak bisa, hidupku sudah cukup berat sebelum masalah ini ada," tutur Kanaya mendorong tubuh Ibra dan memaksa lepas dari pelukan pria itu.
Jawaban Kanaya masih sama, meski Ibra sudah meminta maaf namun tetap saja dia seakan sulit menerima kenyataan bahwa anak itu seharusnya dipertahankan.
"Dia bukan masalah, Kanaya." Entah kenapa Ibra benci jika anak itu dianggap seakan masalah dalam hidup Kanaya.
"Bagimu, tapi bagiku dia masalah," ucap Kanaya dengan napas yang terasa kian sulit, dadanya seakan sakit.
-
.
.
.
Banyak faktor yang membuatnya semakin berat menerima anak ini, Ibra adalah pria yang ia kenal beberapa minggu lalu dan hanya sebatas nama saja, selebihnya dia tidak begitu yakin siapa sebenarnya Ibra.
Belum lagi kehidupannya masih terpantau jelas oleh Gibran yang kini menjadi adik iparnya, malu dan rasanya ingin menghilang tentu saja ada. Bagaimana tanggapan pria itu jika mengetahui fakta bahwa Kanaya lebih murah bahkan sangat amat murah setelah berpisah darinya.
"Aku tekankan padamu jangan berani macam-macam terhadapnya," ancam Ibra menatap tajam Kanaya, wajahnya kembali menyeramkan dan tidak ada sisi lembutnya sama sekali saat ini.
"Apa hakmu melarangku." Jemarinya bergetar, semakin terasa bagaimana kini Ibra mengungkungnya dalam kekuasaan.
"Aku papanya!! Dia darah dagingku dan aku berhak mempertahankan hidup anak itu," sergah Ibra dengan napasnya yang kian menggebu.
Manik Ibra mengatakan dengan jelas betapa dia menginginkan kehadiran sosok malaikat kecil dalam hidupnya. Bertolak belakang dari Kanaya yang justru menganggap kehadiran bayi itu sebagai bencana.
"Tapi dia berada dalam rahimku dan aku berhak melakukan apapun atas tubuh yang menjadi milikku," sentak Kanaya tak mau kalah, tak peduli seberapa menakutkannya Ibra saat ini.
"Hentikan pikiran picikmu, jika kau nekat melakukannya maka kau tidak lebih baik dari seorang pembunuh, Kanaya," lirih Ibra semakin pelan, sangat pelan namun terndengar menakutkan.
Perdebatan mereka cukup panas, perbedaan pendapat dan ini menyangkut hak hidup insan tak berdosa yang tercipta karena ketidaksengajaan. Andai saja mereka berdebat masih di rumah sakit, sepertinya akan diperlukan pihak penengan untuk menghentikan mereka.
Hingga setelah sedikit tenang, pria itu melajukan mobilnya pelan dan menuju kediaman Kanaya. Sepanjang perjalanan, Kanaya hanya diam dan tak berpikir untuk bicara pada Ibra. Wanita itu terlalu lelah dan berselimut duka bahkan kini pipinya terasa masih membasah.
"Berhenti, terima kasih untuk hari ini."
Sebelum turun Kanaya mengucapkan hal itu meski hatinya luar biasa dongkol.
"Aku ingin mengantar hingga kau tiba di hadapan kedua orang tuamu," ucap Ibra menahan Kanaya turun lebih dulu, meski sejak tadi Kanaya menolak keberadaannya, Ibra tetap menerobos batasnya.
"Mereka pergi dan belum kembali, jadi tidak perlu."
Kanaya tidak berbohong, Widya dan sang suami pergi di waktu yang sama dengan dirinya ketika hendak menemui Ibra, bahkan sang papa mengantar Kanaya lebih dulu ke kafe tempat janji temunya dengan Ibra.
"Kau tidak berbohong?" selidik Ibra penuh kecurigaan, pria itu benar-benar menduga Kanaya berbohong padanya.
"Tidak, memamg kenyataannya begitu."
Baiklah, Ibra mengalah untuk saat ini. Walau sebenarnya batinnya berkata bahwa ini hanya cara Kanaya menolak dirinya. Mungkin Kanaya butuh waktu untuk membuka semuanya, Ibra tak bisa memaksakan kehendak terlalu dalam sepertinya.
"Kanaya!!" teriak Ibra dari dalam mobil, wanita itu baru melangkah memasuki pintu gerbang namun Ibra sudah seperti seseorang yang kehilangan istri.
"Nanti malam aku akan datang," ujar Ibra dan membuat Kanaya hanya menghela napas perlahan, bingung harus menjawab apa lantaran janjinya pada Widya dan harap Mahatma tadi sore begitu nyata.
Namun di sisi lain Kanaya sangat takut Ibra akan mengatakan hal yang sesungguhnya, bukan hanya malam malam melainkan lamaran. Bukan kepedean akan tetapi jujur saja Kanaya memiliki ketakutan terharap hal itu.
"Sialan, dia tetap saja mengabaikanku," umpat Ibra kala Kanaya hanya berbalik sebentar dan tidak mengucapkan apa-apa.
TBC
monmaap, gabisa gak suujon ama si Widya..