BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia
Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Mobil Bikin Cemas
Akbar menjemput Ibu Sekar dan Enin dengan kendaraan Alphard. Cocok untuk kenyamanan perjalanan jarak jauh. Jam tujuh pagi, ia sudah berada di rumah Rama. Sesuai permintaan Ibu Sekar kemarin, akan berangkat pagi.
"Nitip Ibu sama Enin ya, Bar!" Rama mengantar sampai ke teras bersama dengan Puput.
"Oke, Bro." Akbar mengacungkan satu jempolnya. Ia beralih menyaksikan Ibu Sekar dan Enin yang berpelukan, perpisahan dengan Rama dan Puput. Waktunya pergi.
"Bar, Enin mau di belakang aja sendirian. Biar bisa tiduran." Enin menolak duduk di jok baris tengah.
Akbar menurut. Kebetulan ada satu bantal yang biasa ia pakai bila perjalanan jauh. Rencana mau duduk di samping sopir, berubah menjadi duduk di baris tengah bersama Ibu Sekar. Tersenyum samar. Ada bagusnya bisa semakin dekat dengan ibunya Ami, pikirnya.
"Bar, ke Tasik ada acara apa? Kok sendiri, tidak sama gantungan kunci?" Tanya Enin memecah kesunyian saat mobil sudah melaju di jalan raya.
Ibu Sekar mengerutkan kening. Menoleh ke belakang dan bertanya, "Gantungan kunci apa, Enin?"
Akbar terkekeh. "Enin bisa aja ngasih istilah, Bu. Maksudnya Enin itu Leo." Ia yang mewakili menjawab. Membuat Ibu Sekar ikut terkekeh dan geleng-geleng kepala.
"Gini nih efek gaul sama Ami. Dia tuh kalau nginep ada aja lawakannya. Itu juga istilah dari Ami. Enin harus banyak humor biar awet tua, katanya." Enin pun sama terkekeh-kekeh.
Akbar tersenyum simpul. "Ami, kamu memang mood booster untuk semua orang," ucap batinnya penuh bangga.
"Akbar ke Tasik mau sidak hotel, Nin. Leo nggak bisa ikut karena ada acara dengan istrinya." Akbar beralasan menjawab pertanyaan Enin.
"Oh, kirain ada gadis Tasik yang mau diapelin malam minggu." Sahut Enin.
Akbar hanya menanggapi dengan kekehan. Padahal ucapan Enin hampir tepat. Cuma salah kota.
Sementara di Ciamis, Ami dan Aul baru tiba di rumah, pulang lari pagi. Keringat bercucuran tidak hanya di badan, tetapi juga di wajah kedua gadis cantik itu. Mempunyai skil beladiri silat mengharuskannya selalu menjaga kebugaran tubuh. Biar tetap prima.
"Ibu sama Enin udah berangkat, Mi. Jadinya numpang bareng di mobilnya Kak Akbar." Aul menyampaikan pesan yang diterimanya dari Ibu. Ia baru sempat mengecek ponsel.
Ami yang sedang minum langsung tersedak. Terbatuk-batuk sampai matanya berair. Kaget.
"Makanya minum tuh jangan sekali teguk. Harus sesuai sunnah. Ambil nafas tiga kali waktu minum." Tegur Aul yang baru bersiap minum.
"Iya sesuai sunnah kok. Barusan barengan tiba-tiba tenggorokan gatel, jadinya keselek air." Kilah Ami menutupi alasan sebenarnya. Mengelap bibir dan hidungnya dengan tisu sambil menenangkan jantung yang masih berdetak cepat usai olahraga lari.
Ami naik ke kamarnya untuk mengecek ponsel. Ada banyak pesan dari grup kelasnya tapi tidak ada pesan dari Panda.
Kak Akbar kok nggak bilang sama aku ya.
Ami termenung dengan pipi menggembung. Daripada menduga-duga, ia memilih bertanya langsung pada orangnya.
[Kak, katanya Ibu pulang sama Kak Akbar. Benarkah?]
Sambil menunggu pesannya dibalas, Ami membaca pesan di grup kelasnya yang menumpuk puluhan. Tidak ada informasi yang penting. Hanya postingan kegiatan beberapa orang di sabtu pagi ini yang saling berbalas pesan.
[Iya, Mi. Kak Akbar mendadak ada urusan pekerjaan di Tasik. Jadi sekalian aja ajak Ibu n Enin pulang bareng]
Ami tersenyum membaca balasan dari Panda. Tapi juga mendadak deg degan membayangkan nanti bakalan ketemu.
Ami : [Oh gitu. Pakai mobil or pesawat, Kak?]
Akbar: [Mobil]
Ami : [Duh, mobil itu kendaraan yang bikin aku cemas 🤧]
Akbar: [Why? 🤔]
Ami: [Mobilang cinta tapi takut ditolak 🤪🤭]
Mobil Akbar mulai antri memasuki gerbang tol. Ia baru sekali tegukan meminum air mineral, dengan mata tak lepas menatap layar ponsel yang dipegang di tangan kiri. Dan balasan dari Ami sukses membuat dirinya tersedak dan Terbatuk-batuk. Uhuk-uhuk.
"Perlu tisu, nak?" Ibu Sekar mengeluarkan kemasan tisu dari dalam tasnya. Mengulurkannya kepada Akbar yang belum berhenti terbatuk-batuk.
"Makasih, Bu. Duh, maaf. Lagi minum tiba-tiba gatel tenggorokan." Akbar beralasan. Ia menarik selembar tisu untuk mengelap bibir dan sudut mata yang berair.
"Ini gara-gara anak Ibu." Alasan yang hanya diucapkan Akbar di dalam hati.
Sudah reda batuknya. Akbar membalas pesan Ami dengan emoji senyum pipi merona.
Ami salahmu sendiri mancing-mancing mulu. Awas aja kamu akan jatuh pada pesonaku.
Monolog dalam hati Akbar, membuat senyum tipis terbit menghiasi wajah tampannya.
***
Sudah pukul satu siang. Ami sudah dua kali memantau perjalanan dengan bertanya pada Ibu, posisi sudah sampai mana.
[Duhur dulu di masjid Babussalam]
Ami membaca balasan dari ibunya dengan mata melebar. "Satu jam an lagi nyampe dong," gumamnya. Ia mematut diri di depan cermin. Menilai keseluruhan penampilan.
"Kerudung harus ganti deh. Hmm....baju juga. Ini udah sering dipakai." Ami bermonolog menatap pantulan dirinya di cermin. Bergegas membuka lemari baju. Memilih dari tumpukan baju yang dilipat juga menilik yang berderet di gantungan.
Sementara mobil Akbar kembali melaju keluar dari parkiran masjid Babussalam. Setelah sebelumnya istirahat makan siang di rumah makan khas sunda dengan menu khas nasi liwet. Padahal tadi bisa saja sekalian sholat di mushola rumah makan. Namun Enin memilih masjid itu karena ada rindu dengan keindahan arsitektur serta kenyamanannya.
Jalan raya yang dilalui mulai menurun dan berkelok-kelok. Perlu kewaspadaan sopir jika ingin salip menyalip kendaraan di depannya. Karena dari arah berlawanan akan sering berpapasan dengan truk-truk pengangkut pasir juga bus-bus antar kota antar provinsi. Mengisi waktu perjalanan dengan berbincang santai, hingga tak terasa mobil tiba di depan rumah Enin.
"Bar, nanti tidur di sini aja ya!" Pinta Enin yang masuk ke dalam pekarangan dan sampai di teras dengan diantar oleh Ibu Sekar dan Akbar.
"Liat sikon nanti ya, Nin." Akbar belum bisa memberi jawaban pasti. Ia dan Ibu Sekar pamit usai bertemu Panji yang membukakan pintu rumah.
Giliran mobil berbalik arah menyusuri jalan menurun. Keluar dari jalan desa. Hanya dalam waktu lima belas menit melaju di jalan raya, mobil pun tiba di depan rumah Ibu Sekar.
"Alhamdulillah." Ibu Sekar tersenyum lega. Perjalanan jauh akhirnya tiba di rumah dengan selamat. "Akbar masuk dulu ya! Istirahat di rumah Ibu," sambungnya begitu sliding door terbuka otomatis.
"Baik, Bu." Sahut Akbar sigap. Tentu tidak akan menolak. Kedatangannya memang sebagai jawaban dari pertanyaan jebakan Ami tentang spelling huruf A dan U (I miss you).
Di dalam rumah, Ami mengintip dari jendela ruang tamu ke arah luar. Mendadak jantungnya berdebar-debar melihat Panda nya memasuki pekarangan bersama Ibu.
"Huft. Bismillah...bismillah." Ami menggosok-gosok kedua telapak tangan yang mendadak dingin. Menarik nafas dari hidung, menghembuskan dari mulut secara perlahan, sebelum membukakan pintu.
Pintu pun dibuka oleh Ami dengan lebar. Pandangan mata langsung bersirobok dengan Akbar yang berjalan di belakang Ibu Sekar. Sama-sama tersenyum dengan ekspresi wajah yang berbeda. Jika Akbar terlihat tenang, lain halnya dengan Ami yang kentara grogi dan malu-malu dengan wajah merona.
"Assalamu'alaikum." Ucapan salam Ibu menyelamatkan Ami dari salah tingkahnya. Ia segera mencium punggung tangan sang ibu. Kemudian beralih menyalami Akbar dengan menyentuhkan tangan sang coach ke keningnya.
"Mangga masuk, Kak." Ami senyum-senyum sambil bergeser memberi jalan. Kedua tangan meremas kain rok plisket yang dikenakannya. Ibu lebih dulu ke dalam sambil mengambil alih tas pakaian yang dibawakan oleh Akbar.
Akbar tersenyum dan mengangguk. Namun ia masih bergeming berdiri di teras, menunggu dulu Ibu Sekar sampai ke ruang tengah.
"Ami kayaknya abis lari siang, ya?" Ucap Akbar pelan dan tenang. Ia menatap intens wajah Ami yang berdiri di samping kusen pintu.
Ami menggeleng. "Siang nggak kemana-mana, di rumah aja. Sengaja nungguin Ibu pulang. Lari mah tadi pagi sama Teh Aul," jawabnya jujur.
"Oh, kirain abis lari. Soalnya wajah putih Ami merah banget kayak tomat. Makin cantik." Akbar menatap lembut dan tersenyum simpul. Waspada juga sekilas melihat ke dalam.
"Masa sih." Ami tersipu. Ia menangkup kedua pipinya yang kini terasa memanas.
"Akbar, kenapa masih di luar? Ayo masuk!" Seru Ibu Sekar dari arah ruang tengah. Posisi Ami tidak terlihat dari dalam. Hanya terlihat Akbar yang berdiri dengan kepala menoleh ke sebelah kiri.
Akbar meluruskan pandangan ke dalam. Padahal ia sedang menikmati kepolosan Ami yang wajahnya semakin memerah dan salah tingkah. Ia mengangguk ke arah Ibu Sekar. Mulai melangkahkan kaki sambil melirik Ami dengan iringan kedipan mata. Mengajak masuk.