Nia tak pernah menduga jika ia akan menikah di usia 20 tahun. Menikah dengan seorang duda yang usianya 2 kali lipat darinya, 40 tahun.
Namun, ia tak bisa menolak saat sang ayah tiri sudah menerima lamaran dari kedua orang tua pria tersebut.
Seperti apa wajahnya? Siapa pria yang akan dinikahi? Nia sama sekali tak tahu, ia hanya pasrah dan menuruti apa yang diinginkan oleh sang ayah tiri.
Mengapa aku yang harus menikah? Mengapa bukan kakak tirinya yang usianya sudah 27 tahun? Pertanyaan itu yang ada di pikiran Nia. Namun, sedikit pun ia tak berani melontarkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon m anha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Akhir
Pagi hari saat sarapan, mereka semua sarapan bersama dan hanya terus terdiam. Pak Seno sama sekali tak membahas masalah pernikahan yang dibahasnya semalam, membuat Dita dan Nia pun merasa lega. Mungkin ayah mereka sudah menyadari kesalahannya dengan menjadikan Faris menjadi calon menantunya.
Kini Dita yang sudah selesai dengan sarapannya pamit untuk pergi bekerja, begitupun dengan Nia. Ia juga sudah mulai bekerja dan baru saja lulus kuliah.
Mereka berdua masing-masing bekerja di kantor yang berbeda. Pak Seno awalnya meminta mereka untuk bekerja di perusahaan keluarga mereka. Namun, keduanya menolak karena memiliki perusahaan tujuan mereka masing-masing.
Dita yang suka dengan elektronik memilih untuk bekerja perusahaan di bidang elektronik. Sedangkan, Nia sangat suka dengan hal-hal berbau desain perhiasan ia pun memilih untuk bekerja di perusahaan sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan, perusahaan ayahnya berbeda dengan tujuan mereka berdua.
Pak Seno sama sekali tak memusingkan hal itu, ia membebaskan anak-anaknya untuk bekerja di mana saja yang mereka inginkan.
Pak Seno dan Intan melihat anak-anaknya keluar dari pintu utama. Pak Seno melihat ke arah istrinya.
"Mengapa kamu tak mengungkapkan kesepakatan kita semalam? Pak Septian ingin mendengar jawaban langsung dan cepat dari kita. Kita hanya mempunyai waktu seminggu untuk menyetujui pernikahan itu, jika tidak Ayah harus memulangkan semuanya dalam satu minggu sedangkan, Ibu sudah tahu, Ayah sudah menggunakannya saat itu juga. Sekarang perusahaan kita sudah stabil," ucap Seno memijat pelipisnya. Sang istri hanya menghela nafas.
"Beri aku waktu, Yah! Untuk memberitahu Nia. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk berbicara padanya. Pagi ini bukanlah waktu yang tepat," ucap Intan memohon pada suaminya, membuat Pak Seno pun hanya mengangguk. Kemudian, ia juga memutuskan untuk pergi ke kantor.
Siang hari Intan mengirim pesan kepada putrinya Nia untuk pulang saat makan siang. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan, membuat Nia yang memang tak terlalu sibuk hari ini mengiyakan permintaan ibunya. Siang hari Nia meminta izin kepada atasannya untuk pulang lebih dulu, saat perjalanan pulang perasaan ia tak enak.
Apakah yang akan di bicarakan ada oleh ibunya adalah pembahasan tentang semalam, pikiran itu sangat mengganggu. Namun, ia berusaha untuk menepis fikirannya sendiri. Ibunya tak mungkin memaksa jika ia tak mau menikah.
"Assalamualaikum." Nia mengucap salam begitu sampai dirumah. Ia langsung menghampiri ibunya yang sudah duduk di ruang tengah, sepertinya ibunya sudah menunggunya di sana.
"Waalaikumsalam," jawab Intan yang melihat putrinya sudah datang dan langsung meminta putrinya itu untuk duduk di sampingnya. Intan berbasa-basi menanyakan bagaimana pekerjaannya hari ini.
"Pekerjaanku baik, Bu. Seperti biasanya. Ada apa Ibu memanggilku pulang lebih dulu?" tanya Nia walau ada perasaan curiga di hatinya, jika ibunya akan membahas masalah semalam dengannya. Namun, ia berusaha untuk tetap diam dan membiarkan ibunya untuk menjelaskan apa maksud dan tujuan ibunya memanggilnya.
Setelah beberapa lama terdiam dan seperti menyusun kata-kata, Intan pun mengambil kedua tangan putrinya dan menggenggamnya dengan erat.
"Ibu minta maaf jika apa yang Ibu sampaikan ini akan menyakitimu, Nak," ucapnya menatap putrinya. Mendengar kata-kata itu, Nia langsung menegang. Apakah apa yang ada di pikirannya itu benar.
"Ibu?" lirih Nia.
Intan pun mulai menceritakan semua yang terjadi, sama halnya dengan yang diceritakan oleh suaminya semalam. Bagaimana kondisi perusahaan mereka dan kesepakatan yang sudah disepakati oleh Pak Septian.
"Apa Ibu ingin menyerahkanku pada mereka?" tanya Nia yang kini sudah berkaca-kaca. Bahkan setetes air mata sudah jatuh dari sudut matanya.
"Maafkan Ibu, Nia. Ibu tak punya pilihan lain, ayahmu tak mungkin memaksa Dita, begitupun dengan Ibu,"
"Lalu, mengapa denganku, Bu? Aku juga tak mau menikah dengannya, mengapa Ibu memaksaku dan menjadikanku sebagai penebus syarat dari mereka?" Lirih Nia yang kini sudah terisak, ia tak menyangka ibunya mengatakan hal seperti itu. Ia mengorbankan dirinya demi kehidupan keluarga mereka.
"Ibu juga seharusnya menolak keinginan ayah, Bu," ucapnya di sela isak tangisnya. Intan menghapus air putri kesayangannya itu dan menariknya kepelukannya. Ia memeluk putrinya dan membiarkan Nia terisak di sana. Begitu Nia sudah mulai tenang, ia pun mulai melepas pelukan mereka.
"Sayang, kamu tahu kan kondisi Ibu sebelum Ibu menikah dengan ayah dari Dita, Ibu bahkan tak mampu membelikanmu makanan yang enak. Tapi, lihat apa yang diberikan Ayah Dita pada kita, Nak. Dia memberikanmu makanan yang enak, pakaian yang indah, mainan yang banyak, menyekolahkanmu hingga setinggi ini. Apa kamu pernah merasa jika ayahmu membeda-bedakan mu dengan Dita? Tidak kan, karena dia menyayangi kalian berdua dan tak ada salahnya kamu mengurangi beban ayahmu dengan menerima perjodohan ini," ucap Ibu. Ia juga merasa tak ikhlas membiarkan putrinya itu menikah dengan duda yang berusia matang, belum lagi sifatnya yang dingin dan juga kejam. Namun, Ibu tak punya pilihan lain, ia juga merasa sangat bersyukur menjadi istri dari Seno yang menyayangi mereka lebih dari yang diinginkannya.
Setelah mendapat bujukan dari Intan, akhirnya Nia pun mengiyakan apa yang diinginkan ibunya, walau dengan berderai air mata. Nia berlari ke kamarnya, menguncinya dan menangis sejadi-jadinya di dalam sana. Intan hanya mendengar dari balik pintu kamar, Intan hanya bisa berdoa jika putrinya akan bahagia dan memiliki rumah tangga yang bahagia dengan Faris.
Malam hari saat makan malam, mereka semua kembali berkumpul dan makan malam bersama dalam diam. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari keempat orang yang duduk di meja makan, mereka semua fokus pada makanannya. Dita sekali melirik ke arah Nia yang terlihat sesekali mengusap air matanya dan juga melirik ke arah ayah dan ibunya yang terlihat aneh. Pikirannya langsung tertuju kepada pembahasan mereka kemarin malam, apakah Nia yang terpilih untuk menikah dengan Faris. Ia ingin bertanya. Namun, ia berusaha untuk menahan pertanyaannya dan membiarkan salah satu dari mereka yang akan menjelaskannya.
Makan malam pun selesai, ibu pun mulai membuka suara dan memberitahu kepada mereka semua jika Nia bersedia untuk menikah dengan Faris. Mendengar itu, ayah bernafas dengan lega. Namun, tidak dengan Dita, juga merasa kasihan melihat Nia yang sejak tadi hanya menunduk.
"Nia, terima kasih dan maafkan Ayah," hanya itu yang bisa diucapkan oleh Seno membuat Nia pun mengangguk dan berdiri dari duduknya.
"Aku sudah selesai, aku ke kamar dulu," ucapnya berlari menuju ke kamarnya. Suasana di meja makan kembali diam, mereka hanya terus menunduk. Dita yang juga menyayangi Nia merasa kasihan. Namun, ia juga tak mau menikah dengan Faris dan menggantikan Nia.
Di saat keheningan terjadi di meja makan, suara deringan ponsel dari Seno membuat mereka semua melihat ke arah ponsel yang ada di meja makan. Seno pun mengangkat dan mengatakan jika salah satu putrinya sudah setuju. Mereka bisa bertemu besok malam, ucapan Seno membuat mereka semua mengerti siapa yang sedang berbicara dengan pemimpin di rumah itu. Itu pasti dari keluarga yang akan datang untuk meminang Nia, yaitu keluarga Pak Septian.