Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Kesempatan Kedua
Malam itu, Aira duduk sendirian di taman kota yang sepi, pikirannya berkecamuk antara memaafkan dan melupakan. Beni, orang yang telah mengkhianatinya dengan begitu kejam, sekarang menghubunginya, memohon kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahan. Pesan terakhir dari Beni yang berisi permintaan maaf dan janji perubahan mengusik pikirannya, seolah ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Aira menoleh dan melihat Raka yang datang dengan ekspresi tenang, meski matanya memancarkan kekhawatiran.
"Aira, aku tahu ini berat buat kamu," kata Raka, duduk di sampingnya. "Tapi apakah kau benar-benar mempertimbangkan memberi Beni kesempatan lagi?"
Aira menghela napas panjang. "Aku bahkan tak tahu bagaimana perasaanku saat ini, Raka. Di satu sisi, aku marah dan terluka. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa sepenuhnya membencinya. Mungkin karena kita pernah begitu dekat."
Raka menatap Aira, lalu berkata dengan hati-hati, "Aira, pengkhianatan itu bukan hal sepele. Kau tak perlu merasa bersalah karena enggan memberinya kesempatan kedua. Terkadang, orang seperti Beni hanya akan mengulangi kesalahan yang sama."
Mendengar itu, Aira terdiam. Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya bahwa orang bisa berubah, tetapi ingatan tentang rasa sakit akibat pengkhianatan Beni masih membekas.
Di sisi lain, Adrian datang menghampiri mereka dengan ekspresi serius.
"Aira, aku tahu ini bukan tempatku untuk ikut campur, tapi kalau kau ingin memaafkannya, itu hakmu," kata Adrian, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Tapi, kau harus pastikan dia benar-benar tulus."
Aira mengangguk, walaupun di dalam hatinya masih ada keraguan besar. "Aku hanya... tidak tahu, Adrian. Mengapa dia tiba-tiba ingin meminta maaf sekarang? Kenapa tidak sejak awal?"
Adrian mengangkat bahu, seolah-olah dia sendiri tidak yakin. "Mungkin dia takut kehilangan kita. Mungkin dia akhirnya sadar bahwa tidak ada gunanya hidup dalam kebencian."
Tiba-tiba, suara notifikasi dari ponsel Aira memecah keheningan. Ia melihat layar dan membaca pesan dari Beni:
"Aku di taman ini, Aira. Aku ingin berbicara langsung denganmu. Tolong berikan aku kesempatan untuk menjelaskan."
Raka menghela napas panjang. "Dia di sini, kan? Aira, kau harus hati-hati. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam permainannya lagi."
Aira berdiri, menatap Raka dan Adrian dengan tegas. "Aku hanya ingin mendengar apa yang dia katakan. Aku tak janji akan memaafkannya. Aku perlu ini untuk diriku sendiri."
Raka dan Adrian hanya mengangguk, meski kekhawatiran masih terlihat jelas di wajah mereka.
---
Di sudut taman yang sepi, Aira akhirnya bertemu dengan Beni. Ia berdiri dengan ekspresi menyesal, wajahnya tampak lelah dan penuh penyesalan. Begitu melihat Aira, ia langsung menundukkan kepala, seakan tak berani menatap matanya.
"Aira, terima kasih sudah datang," ucap Beni dengan suara rendah. "Aku... aku hanya ingin meminta maaf. Aku tahu permintaan maaf ini tak akan bisa menghapus luka yang kuperbuat, tapi aku benar-benar menyesal."
Aira menatapnya tajam. "Menyesal? Kenapa baru sekarang, Beni? Apa kamu pikir aku hanya akan menerima permintaan maafmu begitu saja setelah semua yang kau lakukan?"
Beni menelan ludah, lalu berkata dengan suara gemetar. "Aku tahu aku tak pantas meminta kesempatan ini. Tapi, Aira, aku sungguh... Aku sungguh telah menyadari kesalahan besar yang kulakukan. Aku kehilangan kalian, dan itu adalah hukuman terbesar buatku."
"Hukuman terbesar?" Aira mengulang kata-katanya dengan nada sinis. "Kau kehilangan kepercayaan kami, Beni. Kepercayaan yang kau hancurkan sendiri. Apa kau benar-benar berpikir kata-kata ini bisa membalikkannya?"
Beni tampak tersentak, lalu menatap Aira dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku tahu aku salah, Aira. Aku tahu aku tak layak untuk dimaafkan. Tapi setidaknya, biarkan aku memperbaiki diriku. Aku tak ingin kehilanganmu sebagai teman, meski aku tahu itu mungkin sulit kau terima sekarang."
Aira terdiam, mencoba meraba perasaannya sendiri. Apakah ia benar-benar ingin memaafkan Beni, atau hanya berharap ada penjelasan yang bisa membuat rasa sakitnya mereda?
"Kau tahu, Beni," ucap Aira pelan, "Aku mungkin bisa memaafkanmu, tapi aku tak yakin bisa melupakan apa yang kau lakukan. Luka yang kau berikan terlalu dalam."
Beni mengangguk, terlihat pasrah. "Aku paham, Aira. Aku tak berharap bisa langsung diterima kembali. Aku hanya ingin kesempatan untuk memperbaiki diriku, meski itu berarti harus melakukannya tanpa kalian."
---
Setelah berbicara dengan Beni, Aira kembali menemui Raka dan Adrian, yang masih menunggunya dengan penuh perhatian. Melihat wajah Aira yang penuh kebimbangan, Adrian segera menanyainya.
"Bagaimana? Apa yang dia katakan?"
Aira menarik napas panjang, mencoba mencerna semua perasaan yang mengaduk dalam dirinya. "Dia meminta maaf. Dia bilang dia menyesal dan ingin kesempatan kedua. Tapi aku tidak yakin, Adrian. Aku takut dia hanya berpura-pura."
Raka meletakkan tangannya di bahu Aira, menatapnya dengan penuh empati. "Aira, memaafkan bukan berarti melupakan. Kalau kau merasa belum siap memberinya kesempatan, tak apa-apa. Jangan paksa dirimu."
Namun, di dalam hati Aira, ada suara kecil yang berbisik. Suara yang mengatakan bahwa mungkin, memberi Beni kesempatan kedua adalah cara terbaik untuk dirinya sendiri melangkah maju. Tapi ia juga tahu, ini bukan tentang Beni saja. Ini tentang batas-batas yang perlu ia bangun demi melindungi dirinya sendiri.
"Aku butuh waktu untuk memutuskan," kata Aira akhirnya. "Aku tak ingin terlalu terburu-buru."
Adrian mengangguk mengerti, lalu berkata dengan nada serius, "Yang terpenting, Aira, kamu harus ingat bahwa kami selalu ada di sini untukmu. Apa pun yang kamu putuskan, kami akan mendukungmu."
Aira tersenyum tipis, merasa sedikit lebih tenang mendengar dukungan dari teman-temannya.
---
Malam itu, Aira merenungkan semua yang terjadi. Ada ketegangan di antara keinginan untuk mempercayai bahwa orang bisa berubah dan keinginan untuk melindungi dirinya dari rasa sakit yang sama. Ia berjuang dengan pikirannya, mencoba menyeimbangkan antara logika dan perasaan.
Akhirnya, Aira memutuskan untuk bertemu Beni lagi. Ia ingin menegaskan satu hal penting.
Di tempat yang sama mereka bertemu sebelumnya, Aira menatap Beni dengan penuh ketegasan.
"Beni, aku telah memikirkan semua ini dengan matang," kata Aira. "Jika aku memberi kesempatan kedua, ini bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri. Aku ingin melangkah maju tanpa membawa dendam."
Beni tampak lega, meskipun Aira menyampaikan keputusan itu dengan tegas dan tanpa embel-embel emosi berlebih.
"Terima kasih, Aira," ucap Beni dengan suara bergetar. "Aku berjanji, aku akan membuktikan bahwa aku bisa berubah."
Aira menatapnya tajam, memberi pesan tanpa kata bahwa kepercayaan ini tidak bisa diambil ringan.
"Ingat, Beni, sekali kau berkhianat lagi, itu adalah akhir dari segalanya. Aku tak akan memberi kesempatan ketiga."
Beni mengangguk penuh keseriusan, merasa beban berat telah terangkat dari dirinya.
---
Saat mereka berpisah malam itu, Aira merasa sedikit lebih tenang, meski ia tahu tantangan masih menantinya. Memberi kesempatan kedua pada seseorang yang pernah mengkhianati adalah pertaruhan besar, dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.
Namun, dalam hati kecilnya, Aira tahu bahwa memberi kesempatan kedua ini adalah bentuk kekuatannya sendiri. Sebuah langkah untuk menunjukkan bahwa ia tak akan terus hidup dalam bayang-bayang pengkhianatan masa lalu.
Di balik langkahnya yang mantap meninggalkan taman, ponsel Aira bergetar lagi, kali ini dari nomor tak dikenal:
"Jangan pernah berpikir kau sudah menang, Aira. Ini baru permulaan."
Aira merasakan bulu kuduknya meremang, menyadari bahwa mungkin keputusannya akan membawa komplikasi baru yang tak pernah ia duga sebelumnya. Dengan perasaan yang bercampur.