Dina yang baru beberapa hari melahirkan seorang bayi laki-laki dan menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, harus menghadapi kenyataan saat suaminya tiba-tiba saja menyerahkan sebuah surat permohonan cerai kepadanya lengkap dengan keterangan bahwa hak asuh anaknya telah jatuh ke tangan suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Cepat tanda tangan" titahnya.
Selama ini, dirinya begitu buta dengan sikap kedua orang yang sangat dia percayai. Penyesalan atas apa yang terjadi, tidak merubah kenyataan bahwa dirinya kini telah ditelantarkan sesaat setelah dia melahirkan tanpa sepeser pun uang.
Putus asa, Dina berusaha mengakhiri hidupnya, namun dirinya diselamatkan oleh seorang wanita tua bernama Rita yang juga baru saja kehilangan putrinya akibat kecelakaan.
Seolah takdir, masih berbelas kasih padanya, Dina menyusun rencana untuk merebut kembali anaknya dari tangan Ronny suami beserta selingkuhannya Tari, serta bertekad untuk menghancurkan mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Malam itu, setelah hari pertama bekerja yang panjang, Dina tidak langsung pulang ke rumah. Tanpa memberi tahu siapapun, Dina memutuskan untuk mengunjungi Johan di rumah sakit,menjenguk Johan. Dia ingin memastikan bahwa tidak ada orang di sekitar kamar Johan, lalu diam-diam masuk.
Dina tertegun di ambang pintu saat melihat kondisi Johan yang mengenaskan. Tubuh pria yang dulu terlihat kuat dan penuh semangat itu kini terbaring lemah, dikelilingi oleh berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya. Tanpa sadar, air mata Dina mulai menggenang di pelupuk matanya.
Dia ingin sekali memeluk Johan, meminta maaf dan merasakan sedikit kenyamanan dalam dekapan ayah mertuanya. Namun, dia menahan perasaannya. Dina menghela napas dan mendekatkan dirinya ke ranjang Johan.
Dina menunduk, suaranya serak menahan tangis."Bagaimana semua ini bisa terjadi pa?" lirihnya.
“Maafkan aku pa, jika aku tidak bisa berada di sini lebih lama, jika masalahku dengan Ronny membuat semuanya semakin rumit.” Lanjutnya.
Untuk beberapa saat Dina menetap sedikit lama sambil sesekali mengusap tangan Johan lembut, sampai akhirnya dia mendengar bisikan kasak-kusuk di luar kamar mengisyaratkan seseorang ada di luar.
Dina berjalan cepat keluar dari kamar Johan, hatinya berdebar kencang. Dia tahu waktunya tidak banyak, dan dia tidak ingin Ronny atau siapapun yang mendekatinya.
Dengan langkah tergesa, Dina berhenti sejenak di pintu kamar, menoleh sekali lagi ke arah Johan yang terbaring, tubuhnya penuh dengan alat medis, wajahnya yang tak lagi menunjukkan kekuatan, dengan suara pelan, hampir seperti berbisik, Dina mengucapkan perpisahan pada ayah mertuanya yang tengah terbaring koma.
“Selamat tinggal, Papa... Terima kasih sudah menjaga aku selama ini,” katanya, suaranya bergetar
Dina menundukkan kepalanya, meremas tangannya. Ada begitu banyak kata yang ingin dia ucapkan, tetapi semuanya terasa begitu berat. “Aku berjanji akan menyelesaikan masalahku dengan Ronny. Aku... aku akan berusaha, meski aku tahu prosesnya tidak mudah. Maafkan aku jika nanti lebih banyak orang yang akan tersakiti, terutama Papa.”
Dina menarik napas dalam-dalam, menatap wajah Johan sekali lagi. Dina melangkah mundur, meninggalkan kamar itu. Pintu tertutup perlahan di belakangnya, meninggalkan dia dengan janji yang belum terpenuhi dan kenyataan yang harus dihadapi.
Teddy yang duduk di lorong rumah sakit tiba-tiba menangkap bayangan seseorang yang dikenalnya. Dari kejauhan, dia melihat sosok Dina melangkah cepat keluar dari kamar Johan. Mata Teddy menyipit, memastikan penglihatannya, namun begitu dia hendak memanggil, Dina sudah menghilang di balik belokan koridor.
Dengan penuh rasa ingin tahu dan sedikit kaget, Teddy mencoba memanggil, suaranya hampir serak, “Dina? Dina!” Tapi suaranya terhenti di tenggorokan, dan langkah Dina sudah terlalu jauh untuk bisa dia kejar.
Teddy mengerutkan kening. "Apa yang Dina lakukan di sini? Apa dia baru saja mengunjungi papa?" tanyanya dalam hati. Rasa penasaran membuncah, apalagi melihat bagaimana Dina seperti berusaha menghindar.
...****************...
Di rumah Ronny, Tari mondar-mandir dengan wajah kesal. Tangisan Gio, bayi berusia satu bulan itu, memenuhi seluruh ruangan. Tari mengerutkan dahi, kepalanya serasa mau pecah mendengar tangisan yang tak kunjung berhenti.
"Apa kamu nggak bisa bikin dia diam?!" teriak Tari pada babysitter yang tampak panik mencoba menenangkan Gio.
Si babysitter menggendong Gio dengan penuh kasih, berusaha menenangkannya, namun bayi itu terus menangis tak henti-henti. "Gio, tidak cocok dengan susu formula nyonya. Sepertinya dia membutuhkan ASI ibunya" kata baby sitter tersebut.
Tari semakin uring-uringan, berjalan cepat menghampiri mereka. "Kamu benar - benar nggak becus ya? Aku bayar kamu mahal-mahal buat apa, kalau anak ini masih saja berisik! Cari akal dong, supaya anak ini diam"
Babysitter itu menggigit bibirnya, menunduk penuh ketakutan. Sementara Tari merengut, menatap Gio dengan tatapan marah. Dia tidak tahu bagaimana menghadapi situasi ini. Dalam hatinya, dia merasa kesal karena harus mengurus bayi yang bukan darah dagingnya.
"Sudah bagus - bagus dirumah kakeknya, kenapa Ronny harus membawanya lagi kesini sih" geramnya.
Saat dirinya dan Ronny menikah nanti, Tari berencana untuk menyerahkan Gio ke panti asuhan. Dia merasa tidak ada alasan untuk mempertahankan anak yang hanya mengganggu kehidupannya. Apalagi Johan juga tidak mungkin mengganggunya sekarang dengan keadaannya yang koma di rumah sakit.
“Apa sih untungnya aku mengurus dia? Dia bukan anakku, cuma beban. Ronny juga tidak akan peduli,” pikir Tari dalam hati, senyum dingin terulas di wajahnya.
Dia sudah mengambil keputusan. Saat waktunya tiba, Gio tidak akan menjadi bagian dari hidup mereka. Bayi itu akan disingkirkan, dan dia tidak akan berpikir dua kali untuk melakukannya.
"Ronny mencintaiku, dia akan lebih bahagia kalau kami punya anak sendiri. Gio hanya akan menghalangi," pikir Tari sambil memandangi bayi itu dengan tatapan dingin.
Dia membayangkan masa depan di mana Ronny menggendong bayi mereka sendiri, anak yang lahir dari hubungan mereka. Tari yakin bahwa saat itu tiba, Ronny tidak akan lagi peduli pada Gio. Di matanya, Gio hanyalah pengingat masa lalu Ronny dengan Dina—masa lalu yang ingin dia hapus sepenuhnya.
Tari menghela napas kesal, wajahnya memerah oleh amarah saat mendengar tangisan Gio semakin keras. Dengan nada tajam, ia memerintahkan baby sitter untuk segera menenangkan bayi itu.
"Apa susahnya menenangkan satu bayi? Kalau kamu nggak bisa juga, aku akan cari orang lain yang lebih becus!" teriaknya, nada ancaman terdengar jelas dalam suaranya.
Baby sitter itu berusaha menenangkan Gio, tetapi tangis bayi tersebut malah semakin keras, membuat Tari merasa semakin tidak sabar. Ronny baru saja memasuki rumah ketika dia mendengar suara Tari berteriak marah-marah di lantai atas. Wajahnya langsung mengerut penuh penasaran. Terdengar samar-samar suara tangisan Gio yang memekik semakin keras diiringi bentakan Tari yang penuh amarah. Ronny, dengan langkah cepat, langsung menaiki tangga menuju ke arah suara itu.
Begitu tiba di kamar bayi, dia melihat Tari berdiri di depan baby sitter yang tampak ketakutan. Wajah Tari merah, dan dia terus memarahi baby sitter yang tengah berusaha menggendong Gio, meski bayi itu masih menangis keras.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Ronny dengan nada dingin, matanya menyipit menatap Tari dan baby sitter.
Tari menoleh cepat ke arahnya, mencoba meredam amarahnya. "Mas" panggilnya manja.
"Ini, Mas, Gio nggak berhenti-berhenti menangis, dan baby sitter ini nggak becus menenangkannya. Aku jadi pusing! Bayi itu benar-benar membuatku stres!"
Ronny diam sejenak, matanya beralih ke Gio yang terus menangis. Raut wajahnya sulit ditebak, namun jelas dia merasa tidak nyaman di sana. Dia tidak pernah mengurus bayi—apalagi dengan jika mendengar tangisan sekeras ini.
Tanpa berkata banyak, Ronny mendekati baby sitter dan menepuk pundaknya.
"Bawa Gio ke ruang lain," ucapnya singkat pada baby sitter itu, yang segera menurut dan pergi membawa Gio menjauh dari kamar dengan langkah tergesa-gesa.
Setelah baby sitter dan Gio keluar, Ronny berbalik menatap Tari. "Kenapa kamu harus marah-marah begitu? Kamu tahu kan, ini sementara. Kita cuma butuh sedikit waktu sampai akhirnya aku bisa menyelesaikan semuanya,Bersabarlah." katanya, mencoba menenangkan Tari, meskipun dirinya sendiri terlihat jengah.
Tari mendengus pelan. "Aku harap 'sementara' itu nggak lama, Mas. Aku nggak tahan melihat bayi itu, dia mengingatkanku dengan Dina" ujarnya sambil melipat tangan di dada, menatap Ronny dengan tajam.
Ronny tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sambil melangkah keluar kamar, meninggalkan Tari yang masih terlihat kesal.
Ronny menarik napas dalam dan mendekati Tari, berusaha lebih tenang. "Sayang, dengar," ucapnya lembut, "Aku tahu Gio membuatmu stres, tapi percayalah, dia nggak akan jadi masalah besar buat kita. Semua ini cuma sementara." Ronny berusaha meyakinkan Tari dengan nada yang lebih lembut, meski di matanya tetap terbersit ambisi yang kuat.
Tari menatapnya dengan keraguan di wajah, tetapi tidak berkata apa-apa. Dia tampak ragu apakah benar yang dikatakan Ronny, apalagi melihat betapa repotnya mengurus bayi yang bukan darah dagingnya sendiri.
"Gio nggak akan menghalangi rencana kita ke depan," lanjut Ronny, semakin yakin. "Aku sudah punya rencana matang. Sinar Grup akan jadi milikku sepenuhnya. Aku satu-satunya penerus yang pantas, apalagi dengan kondisi Papa sekarang... semua sudah berjalan sesuai rencana."
Tari masih terdiam, meskipun kemarahan di wajahnya mulai mereda sedikit. Dia mendengarkan.
"Kita udah berjuang sampai sejauh ini, kan? Kita berhasil menyingkirkan Teddy, dia tidak bisa lagi bersaing sama aku. Dan Mitha..." Ronny tersenyum licik, "Dia tidak punya hak apa-apa dalam keluarga ini. Semua orang tahu dia cuma anak angkat. Jadi, tidak ada yang bisa mengancam posisiku."
Ronny lalu mendekatkan diri ke Tari, meraih tangannya dengan lembut. "Kita cuma perlu sabar sedikit lagi, Sayang. Sebentar lagi, semua yang aku janjikan bakal jadi kenyataan. Kamu tahu aku tidak akan membiarkan apa pun—termasuk Gio—menghalangi jalan kita."
Tari akhirnya menghela napas panjang, sedikit tenang dengan janji Ronny. "Kamu yakin, Mas?"
Ronny mengangguk mantap. "Aku yakin. Percaya sama aku. Semua ini bakal jadi milik kita."
...****************...
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina