Kehidupan Alexa dibuat berubah sejak kedatangan lelaki yang berhasil membuat setetes air matanya jatuh dipertemuan pertama mereka. Dalam kekosongan hidupnya, Alexa menemukan Elio lelaki yang mengubah segalanya. Bersama Elio, ia merasakan kebebasan dan kenyamanan yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Meskipun banyak yang memperingatkannya tentang sisi gelap Elio, hatinya menolak untuk percaya. Namun, ketika sebuah peristiwa mengguncang dunia mereka, keraguan mulai merayap masuk, memaksa Alexa untuk mempertanyakan pilihannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhea Annisa Putri Sofiyan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Elevate
Setelah puas berjalan-jalan di sekitar pasar malam, Alexa dan Elio berdiri di depan wahana bianglala yang menjulang tinggi. Lampu-lampu neon yang menghiasi kerangka bianglala berkilauan dalam berbagai warna, berputar perlahan, mengundang setiap pengunjung untuk naik dan menikmati pemandangan dari ketinggian. Alexa memandang ke atas, agak ragu, sementara Elio menatapnya dengan senyum kecil.
“Lo punya phobia takut ketinggian?” goda Elio.
Alexa melirik Elio, lalu mengangkat dagunya dengan bangga. “Enggak, siapa bilang?”
Elio tertawa pendek. "Ya..ya..ya oke kita lihat"
Tanpa banyak berpikir, Elio menarik tangan Alexa, menggenggamnya erat saat mereka berjalan menuju antrean bianglala. Sentuhan tangannya terasa hangat, menembus dingin malam yang menyelimuti, membuat jantung Alexa berdegup sedikit lebih cepat. Alexa tidak menarik tangannya, membiarkan jari-jarinya berada dalam genggaman Elio, meskipun rasa gugup mulai merayapi tubuhnya.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya mereka masuk ke dalam kabin bianglala yang kecil tapi nyaman. Ketika pintu tertutup dan wahana mulai bergerak perlahan, Alexa menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Di luar, lampu-lampu pasar malam semakin terlihat kecil dan berpendar indah.
“Gue gatau pasar malam bisa bagus banget dari atas sini,” bisik Alexa sambil menatap keluar jendela. Angin dingin menyentuh wajahnya, tapi pemandangan di bawah sana benar-benar memukau.
Elio tersenyum tipis, namun pandangannya tertuju bukan ke bawah, melainkan ke wajah Alexa yang diterangi oleh lampu-lampu yang berpendar dari kejauhan. Ia menatapnya dengan perasaan yang semakin sulit disembunyikan.
“Bukan cuman pasar malamnya yang indah,” kata Elio pelan, suaranya rendah dan dalam, membuat Alexa tersentak dan menoleh.
Alexa merasa pipinya memanas. Ia terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Tapi sebelum ia bisa membalas, bianglala berhenti di titik tertinggi. Kabin mereka terhenti, menggantung di udara dengan angin malam yang berembus lembut. Suara keramaian di bawah mereka terdengar samar, seolah hanya mereka berdua yang ada disini.
Alexa menatap ke bawah, jantungnya berdetak lebih cepat, tapi kali ini bukan karena ketinggian.
“Lo tau Al...” Elio memulai, suaranya lebih pelan, seolah menahan perasaannya. “Gue nggak pernah ngerasa kaya gini sebelumnya. Rasanya... semua hal berubah sejak Lo ada di hidup Gue.”
Alexa menoleh, matanya bertemu dengan mata Elio. Ada kejujuran dalam tatapan Elio yang membuatnya tak bisa berpaling. Dadanya terasa sesak, campuran antara gugup, bahagia, dan perasaan yang belum sepenuhnya Ia mengerti.
Angin malam terus berhembus, menyelubungi mereka dalam keheningan yang nyaman. Lalu tanpa banyak kata lagi, tangan Elio perlahan meraih tangan Alexa, menggenggamnya lebih erat dari sebelumnya. Alexa tak menariknya. Malam itu, di ketinggian bianglala, di tengah keramaian pasar malam, perasaan mereka akhirnya menemukan tempatnya.
Makan malam baru saja selesai beberapa menit yang lalu, seperti biasa tidak ada yang bangkit dari kursi meninggalkan meja makan, karena kini mereka sedang melakukan rutinitas mereka mengobrol setelah makan malam, karena ada aturan dilarang mengobrol saat makan. Kedua orang tua Alexa, Alex dan Alana baru saja pulang dari perjalanan bisnis.
"Gimana dengan sekolahmu Axel?" tanya Alex membuka pembicaraan.
"Baik seperti biasa Pa"
"Kamu sudah tau mau melanjutkan kuliah dimana, dan apa jurusannya?" Alana ikut bergabung dalam pembicaraan.
"Sudah Ma, Axel juga akan pertimbangin saran Kalian"
"Gimana sekolahmu Alexa?" kini perhatian Alex beralih pada putrinya.
"Baik juga Pa"
"Bagus, tetap pertahankan nilai kamu kalau bisa tingkatkan"
Alex bangkit dari kursi meninggalkan ruang makan disusul dengan Alana Mamanya. Kini tersisa Alexa dan Axel yang masih berada diruang makan, keduanya belum terlibat percakapan sejak beberapa hari yang lalu, alexa bangkit terlebih dahulu meninggalkan Axel sendrian diruang makan.
Di sudut perpustakaan GIS yang sepi, senja perlahan merayap masuk melalui jendela kaca besar, menyinari rak-rak buku yang berjajar rapi. Di meja dekat jendela, Alexa duduk dengan kepala tertunduk di atas buku latihan soal yang dipenuhi coretan. Kantung matanya terlihat karena kurang tidur, tetapi tangannya masih bergerak cepat, menulis rumus-rumus matematika yang harus dihafalnya.
Alexa sudah menghabiskan berjam-jam di perpustakaan hari ini jam kosong para guru sedang rapat, Ia menggunakan waktunya dengan belajar. Meski tubuhnya lelah, pikirannya menolak berhenti. Ia selalu merasa perlu menjadi yang terbaik, dan hari ini, seperti biasa, ia memaksa dirinya melampaui batas.
Tiba-tiba, rasa pusing menyerang. Dunia di sekitarnya mulai berputar. Alexa menutup matanya, berharap pusing itu segera hilang. Namun, saat ia membuka mata, titik-titik hitam masih menari-nari di penglihatannya. Ia mencoba berdiri untuk mencari udara segar, tapi tubuhnya goyah.
"Gue kenapa si?" gumamnya, merasa lemas.
Belum sempat ia melangkah keluar dari kursinya, sesuatu yang hangat mulai mengalir dari hidungnya. Ia terdiam, matanya melebar. Saat tangannya menyentuh hidungnya, darah segar mengalir, jatuh di atas buku catatan yang terbuka.
"Mimisan?" bisiknya, kaget.
Elio yang sedang bersantai dibeanbag tak jauh dari tempatnya melihat Alexa terhuyung-huyung, dengan darah yang terus mengalir dari hidungnya. Tanpa pikir panjang, Elio berlari mendekatinya.
"Lo kenapa?" Elio memegang bahunya dengan hati-hati, membantu Alexa duduk kembali.
Alexa menggeleng pelan, merasa malu dan bingung. "Gue..mimisan" katanya dengan suara bergetar, matanya mulai kabur karena kelelahan dan syok.
Elio mengambil sapu tangan dari dalam saku, dan menekannya di bawah hidung Alexa, berusaha menenangkan gadis itu. "Gue bawa Lo ke uks ya?"
Di tengah rasa lelah dan pusing, Alexa sempat menatap Elio dengan pandangan yang belum pernah ia berikan sebelumnya. Ada perasaan nyaman di sana, perasaan bahwa dia tidak sendirian.
"Gapapa Gue bisa sendiri" Alexa bangkit dari duduknya.
Alexa merasa pusing semakin parah. Jantungnya berdebar cepat, dan sepertinya seluruh dunia berputar di sekitarnya. Setelah beberapa detik berusaha menahan diri, pandangannya menjadi kabur, dan sebelum ia bisa berkata apa-apa, kakinya terasa lemas, dan ia jatuh ke samping.
"Al!" Elio panik melihatnya terjatuh. Tanpa ragu, ia segera berlutut di sampingnya, memeriksa keadaan Alexa. Wajahnya pucat, dan Elio bisa merasakan kegelisahan menyelimuti dirinya. "Al bangun! aish sial"
Namun, Alexa tidak memberikan respon. Elio tahu dia tidak punya waktu untuk menunggu. Dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat tubuh Alexa ala bridalstyle, membawanya ke pelukannya. Tangan Alexa terkulai lemas di sisi, sementara kepalanya bersandar di bahu Elio.
Dengan hati-hati, Elio membawa Alexa keluar dari perpustakaan, melangkah cepat menuju UKS. Sesampainya di UKS, Elio membuka pintu dengan satu tangan sambil tetap menggendong Alexa. Di dalam, perawat khusus GIS sedang duduk di meja, tampak terkejut melihat kedatangan mereka.
"Bu, tolong teman saya pingsan!" Elio berkata terbata-bata, terlihat cemas.
Perawat segera bangkit dan bergegas ke arah mereka. “Letakkan dia di ranjang, saya akan memeriksanya,” perintahnya dengan suara tegas.
Elio dengan hati-hati menurunkan Alexa ke ranjang. Dia memperhatikan wajah Alexa yang tampak tenang, meskipun masih pucat. Dalam hatinya, Elio merasa campur aduk antara khawatir dan marah akibat Ia gagal menjaga Alexa.
Setelah beberapa saat, perawat memeriksa Alexa, mengambil stetoskop dan memastikan tidak ada yang serius. “Temanmu cuman kelelahan. Beri dia waktu untuk istirahat. Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja,” jelas perawat.
Elio merasa lega mendengar itu, tetapi saat dia menatap Alexa yang masih tertidur, ada perasaan yang lebih dalam yang mulai tumbuh di hatinya. Dia ingin melindungi Alexa, bukan hanya saat ini, tetapi setiap saat.
Suara langkah kaki perlahan mendekat Axel mendobrak pintu UKS berjalan menghampiri Alexa.
"Lo boleh pergi!.., biar Gue yang jagain Alexa" ucap Axel tegas seolah tak mau dibantah.
Elio yang merasa urusannya tak ada lagi ditempat itu berlalu pergi membiarkan Axel yang berada disana Kakaknya yang lebih berhak menjaga Alexa.