Di puncak Gunung Kunlun yang sakral, tersimpan rahasia kuno yang telah terlupakan selama ribuan tahun. Seorang pemuda bernama Wei Xialong (魏霞龙), seorang mahasiswa biasa dari dunia modern, secara misterius terlempar ke tubuh seorang pangeran muda yang dikutuk di Kekaisaran Tianchao. Pangeran ini, yang dulunya dipandang rendah karena tidak memiliki kemampuan mengendalikan Qi surgawi, menyimpan sebuah rahasia besar: dalam tubuhnya mengalir darah para Dewa Pedang Kuno yang telah punah.
Melalui sebuah pertemuan takdir dengan sebilah pedang kuno bernama "天剑" (Tian Jian - Pedang Surgawi), Wei Xialong menemukan bahwa kutukan yang dianggap sebagai kelemahannya justru adalah pemberian terakhir dari para Dewa Pedang. Dengan kebangkitan kekuatannya, Wei Xialong memulai perjalanan untuk mengungkap misteri masa lalunya, melindungi kekaisarannya dari ancaman iblis kuno, dan mencari jawaban atas pertanyaan terbesarnya: mengapa ia dipilih untuk mewarisi teknik pedang legendaris ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia di Balik Kabut 迷雾背后的秘密
Lorong rahasia di bawah perpustakaan istana ternyata jauh lebih dalam dan kompleks dari yang Xialong bayangkan. Dinding-dinding batunya yang lembab dihiasi ukiran-ukiran kuno yang tampak berpendar setiap kali Tian Jian melewatinya. Tianfeng memimpin di depan dengan Huang Jin terhunus, sementara Xialong mengikuti di belakang, matanya yang keperakan masih menyesuaikan dengan kegelapan.
"Kau merasakannya?" Tianfeng berbisik, menghentikan langkahnya. "Getaran di udara... mereka tidak hanya menyerang dari luar istana."
Xialong mengangguk. Tian Jian bergetar lebih kuat dalam genggamannya, resonansinya menciptakan pola-pola cahaya yang menerangi lorong. "Para Pemburu Bayangan... mereka sudah ada di dalam sistem terowongan ini sejak lama."
"Bagaimana mungkin?" Tianfeng mengernyitkan dahi. "Terowongan ini adalah rahasia tertua keluarga Wei."
"Karena..." Xialong terdiam sejenak, matanya terpaku pada salah satu ukiran di dinding, "mereka juga bagian dari sejarah kita. Lihat ukiran ini."
Di dinding batu, terpahat sebuah adegan pertempuran kuno. Para ksatria berjubah putih—yang mereka kenali sebagai para Dewa Pedang—berhadapan dengan sosok-sosok berkudung hitam. Namun yang mengejutkan, di antara para sosok berkudung itu, ada yang mengenakan emblem klan Wei.
"Pengkhianatan," Tianfeng mendesis. "Tapi siapa?"
Sebelum Xialong bisa menjawab, suara langkah kaki bergema dari kegelapan di depan mereka. Tian Jian mendadak berdengung keras, cahayanya membentuk perisai energi di sekeliling kedua bersaudara itu.
Dari kegelapan, muncul sosok yang tidak mereka duga—Panglima Besar Zhao, mentor mereka sejak kecil.
"Akhirnya," Panglima Zhao tersenyum, tapi senyumnya tidak mencapai matanya, "kedua Pangeran yang terhormat tepat seperti yang diperkirakan."
"Guru Zhao?" Tianfeng mengacungkan Huang Jin. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Menunaikan tugas yang telah menunggu selama ribuan tahun," Panglima itu menjawab sambil mengeluarkan sebilah pedang hitam yang memancarkan aura mencekam. "Membersihkan kesalahan masa lalu."
Xialong merasakan Tian Jian bereaksi violent terhadap pedang hitam itu. "Pedang itu... itu Mowen, pedang yang konon ditempa dari air mata Para Iblis."
"Tepat sekali, Pangeran Muda," Zhao mengambil posisi bertarung. "Sama seperti Tian Jian ditempa dari air mata para Dewa, Mowen adalah keseimbangannya. Dan malam ini... keseimbangan itu akan dipulihkan."
Pertarungan pecah dalam hitungan detik. Zhao menyerang dengan kecepatan yang tidak masuk akal untuk ukuran manusia biasa. Tianfeng, dengan pengalaman bertarungnya, mampu mengimbangi untuk sementara, tapi bahkan Huang Jin tampak kewalahan menghadapi aura kegelapan dari Mowen.
"Xialong! Lari!" Tianfeng berteriak sambil menahan serangan Zhao. "Temukan Kuil Pedang Berkabut! Cari kebenarannya!"
"Tapi—"
"PERGI!"
Dengan berat hati, Xialong berbalik dan berlari ke lorong cabang lainnya. Di belakangnya, suara dentingan pedang dan ledakan energi bergema, berbaur dengan tawa dingin Zhao yang menggema di sepanjang terowongan.
Setelah berlari entah berapa lama, Xialong akhirnya sampai di sebuah ruangan bundar yang dikelilingi tujuh pintu. Di tengah ruangan, terdapat altar batu dengan tulisan kuno yang tampak familiar.
"Para Pemburu Bayangan..." Xialong membaca tulisan itu perlahan, "dulunya adalah pengawal rahasia klan Wei, ditugaskan untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan Dewa dan Iblis. Tapi ketika para Dewa Pedang memutuskan untuk berevolusi menjadi manusia... sebagian dari mereka menolak perubahan itu."
Tian Jian berdengung, seolah mengkonfirmasi pembacaannya. Xialong melanjutkan, "Mereka percaya bahwa kekuatan para Dewa terlalu berbahaya untuk dibiarkan mengalir dalam darah manusia. Maka..." ia terhenti, matanya melebar, "mereka menciptakan ritual untuk memurnikan darah keturunan Dewa, mengubahnya menjadi... wadah kosong."
Mendadak semuanya menjadi masuk akal. Ketidakmampuannya mengendalikan Qi selama ini bukanlah kutukan alamiah—itu adalah hasil dari ritual kuno yang dilakukan Para Pemburu Bayangan terhadap garis keturunannya.
Suara ledakan dari lorong tempatnya datang menyadarkan Xialong dari pemikirannya. Dengan cepat ia memilih salah satu dari tujuh pintu—pintu dengan ukiran naga yang identik dengan tato di punggungnya.
Di balik pintu itu, sebuah terowongan menurun curam menuju kegelapan. Tapi belum sempat ia melangkah masuk, suara familiar memanggilnya.
"Xialong..."
Ia berbalik dan melihat Tianfeng terhuyung ke arahnya, tubuhnya penuh luka dan Huang Jin retak di beberapa bagian.
"Kakak!" Xialong bergegas menopang tubuh kakaknya. "Di mana Guru Zhao?"
"Dia..." Tianfeng terbatuk, darah menetes dari sudut bibirnya, "terlalu kuat. Tapi aku berhasil menghancurkan bagian terowongan untuk menghambatnya." Ia merogoh bajunya yang berlumuran darah dan mengeluarkan sebuah kalung jade. "Ini... milik Ayah. Dia memberikannya padaku sebelum meninggal, tapi aku tidak pernah mengerti fungsinya sampai sekarang."
Xialong menerima kalung itu dengan tangan gemetar. Di permukaannya terukir simbol yang sama dengan yang ada di altar—simbol keseimbangan antara Dewa dan Iblis.
"Kakak... aku tidak bisa meninggalkanmu di sini."
"Kau harus," Tianfeng tersenyum lemah. "Aku akan menahan mereka selama mungkin. Tapi Xialong... ada yang harus kau tahu." Ia menarik nafas dalam, menahan rasa sakit. "Ibu... dia bukan hanya selir biasa. Dia adalah keturunan langsung Dewi Pedang Perak, pemimpin faksi yang mendukung evolusi para Dewa menjadi manusia."
"Apa? Tapi kenapa—"
"Karena itulah Para Pemburu Bayangan sangat menginginkanmu. Kau... kau adalah manifestasi sempurna dari apa yang mereka takutkan—perpaduan darah Dewa dan manusia."
Sebelum Xialong bisa mencerna informasi itu, suara runtuhan dan teriakan marah Zhao terdengar semakin dekat.
"Pergi!" Tianfeng mendorong adiknya ke arah terowongan. "Dan ingat... tidak semua yang terlihat sebagai musuh adalah musuh sejati. Carilah wanita bernama Lin Huifang di Kuil Pedang Berkabut. Dia... dia tahu lebih banyak dari yang kita semua kira."
Dengan air mata mengalir, Xialong akhirnya berbalik dan berlari masuk ke dalam terowongan. Di belakangnya, ia bisa mendengar Tianfeng membacakan mantra kuno—mantra yang sama yang digunakan para pendeta di Kuil Pedang Surgawi.
Terowongan itu membawanya semakin dalam ke perut bumi. Tian Jian terus bergetar, cahayanya kini membentuk pola-pola yang semakin kompleks di dinding. Dan setiap kali cahaya itu menyentuh dinding, Xialong bisa melihat kilasan-kilasan memori yang bukan miliknya—memori para Dewa Pedang, memori leluhurnya.
Ia melihat awal mula segalanya: bagaimana para Dewa Pedang memutuskan untuk meninggalkan keabadian mereka, memilih untuk hidup sebagai manusia agar bisa lebih memahami makhluk yang mereka lindungi. Ia melihat perpecahan yang terjadi, pengkhianatan pertama, dan lahirnya Para Pemburu Bayangan.
Tapi yang paling mengejutkan adalah kilasan terakhir—sosok ibunya, jauh lebih muda, berdiri di sebuah altar dengan Tian Jian di tangannya. Di sampingnya, seorang wanita cantik berkimono putih—yang pasti adalah Lin Huifang yang disebut Tianfeng—membacakan sumpah dalam bahasa kuno.
"Rahasia harus terjaga," Xialong berbisik, mengulang kata-kata yang ia ucapkan dalam tidurnya, "sampai pewaris sejati siap menerimanya."
Mendadak, terowongan bergetar hebat. Dari kegelapan di belakangnya, aura mencekam Mowen semakin mendekat, berbaur dengan teriakan murka Zhao yang bergema:
"Kau tidak bisa lari, Pangeran Muda! Takdir ini sudah tertulis bahkan sebelum kau lahir!"
Xialong menggenggam erat Tian Jian dan kalung jade pemberian kakaknya. Dalam benaknya, suara-suara masa lalu dan masa depan berbaur menjadi satu: peringatan ibunya, pengorbanan kakaknya, misteri Lin Huifang, dan di atas segalanya—rahasia besar yang tersegel dalam darahnya sendiri.
"Mungkin takdir memang sudah tertulis," ia bergumam sambil terus berlari, matanya yang keperakan berkilau dalam kegelapan, "tapi bukan berarti tidak bisa diubah."
Di belakangnya, pertarungan antara Tianfeng dan Zhao masih berlanjut, suara dentingan Huang Jin melawan Mowen menggema di sepanjang terowongan. Dan jauh di depan, dalam kegelapan yang pekat, Kuil Pedang Berkabut menunggu dengan rahasianya yang dalam.