Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman dan Penyesalan
Selama melayani pelanggan, Hana merasa gelisah. Kendati ia sudah mengabari ibu Alin untuk segera datang ke kota tempat putri semata wayangnya melanjutkan studi, hati Hana masih saja tidak tenang. Firasatnya akan keadaan Alin semakin buruk saja dari hari ke hari.
Tiga hari setelah Alin diketahui menghilang dari rumah tua yang diyakini sebagai tempat penyekapan, polisi menggeledah kediaman lama keluarga Jackson Lim. Ditemukan beberapa bukti kuat yang mengarah pada pelaku, yakni kalung salib, pecahan batu giok, serta patahan kacamata. Tak hanya itu saja, benda kecil seperti sehelai rambut pirang pun dikumpulkan untuk dijadikan barang bukti.
Hana yang menyaksikan berita tentang penemuan mayat misterius lewat layar televisi di kafe, hanya bisa termangu sambil meneteskan air mata. Sekujur tubuhnya semakin lemas, setelah diketahui bahwa jenazah itu merupakan seorang mahasiswi fakultas manajemen bisnis bernama Alin Aliza. Ia pun bergegas ke toilet di sela-sela waktu kerjanya. Kesedihan yang menyesakkan dadanya, tak bisa dibendung lagi.
Tersedu-sedu Hana di dalam bilik toilet menangisi kematian Alin yang begitu tragis. Paras Alin yang cantik dipandanginya di layar ponsel, sembari mengucapkan kata maaf berkali-kali atas penyesalannya yang kian mengendap di rongga dada.
Ketika hendak menggeser layar ponsel, tampak panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Hana segera mengangkatnya sambil menyeka air mata dari pipi.
"Halo," sapa Hana sesenggukan.
"Gimana? Apa sekarang kamu sudah benar-benar menyesal karena menuruti ego kamu?" tanya Yudis dari seberang telepon.
"Brengsek! Kamu bilang, kamu nggak akan menghabisi Alin kalau aku diam saja, tapi nyatanya apa? Dasar licik! Pengkhianat!" gerutu Hana, tersengal-sengal.
"Astaga, Hana. Kenapa kamu masih saja menyalahkan aku atas keegoisan kamu sendiri? Jika saja kamu menerima aku dan mau menghabiskan malam berdua, Alin pasti masih hidup sampai detik ini. Sayang sekali, ya," tutur Yudis dengan nada mengejek.
"Sialan! Berhenti menyalahkan aku! Setidaknya aku sudah berusaha buat mencari Alin dan membebaskan dia dari cengkeraman iblis kayak kamu," tukas Hana gusar.
"Begitu, ya? Kamu ini masih menganggap diri sebagai pahlawan, tapi orang yang kamu tolong tetap saja meregang nyawa. Dasar payah," sindir Yudis sambil terkekeh-kekeh.
"Diam atau aku robek mulutmu!" ancam Hana dengan suara tinggi.
"Silakan saja kalau bisa. Masalahnya, sebelum menuduh aku lebih sering, ada baiknya kamu bercermin dulu. Bukannya kamu juga nggak kalah kejam dari aku? Membiarkan teman menderita dalam waktu lama sampai meregang nyawa. Astaga!" ejek Yudis.
Terdiam Hana mendengar perkataan pria di seberang telepon. Pikirannya benar-benar kacau dan belum sepenuhnya pulih setelah kematian Satria dan Arum. Sekarang ditambah dengan kematian tragis Alin, membuat mentalnya semakin tertekan oleh manipulasi Yudis yang tiada henti.
"Sekarang begini saja, kamu nggak usah ikut campur dalam kasus kematian teman kamu. Cukup diam, dan lihatlah permainanku. Sekali saja kamu sok-sokan jadi pahlawan, aku bakal bikin kamu jadi tersangka utama. Ngerti?"
"Apa maksud kamu bilang begitu? Aku bakal berusaha menuntut keadilan atas kematian Alin sebagai penebusan kesalahanku," bantah Hana dengan tegas.
"Baiklah. Itu artinya, kamu siap dijadikan tersangka dalam kasus ini. Begitu, kan, mau kamu?"
"Apa?! K-Kenapa justru aku yang jadi pelakunya? A-Aku justru ingin--"
"Diam atau masuk bui? Cuma itu pilihan kamu." Yudis menyela.
Hana menelan ludah. Dadanya semakin sesak menyadari tipu daya Yudis semakin ganas.
"Gimana? Apa kamu sudah memikirkannya dengan baik?"
Hana menghela napas sejenak, sampai akhirnya menggetarkan bibirnya. "Kali ini, aku memang nggak bisa memutuskan hal yang pasti. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat! Cepat atau lambat, kamu bakal mendapatkan balasan yang setimpal atas kekejaman kamu."
"Balasan? Balasan setimpal macam apa yang akan aku dapat? Katakan!"
Rahang Hana mengeras. Ia tampak geram dengan reaksi Yudis yang terdengar semakin menantangnya.
"Sudahlah, jangan bicarakan hukum tabur tuai denganku. Sebaiknya kamu istirahat yang cukup, tidur nyenyak, dan mimpikan aku. Oke? Sampai jumpa, sayang. Love you," ujar Yudis, kemudian mengakhiri panggilannya.
Hana menggenggam ponselnya dengan erat. Betapa pedih sekaligus marah hatinya setelah menghadapi Yudis yang bersikap biasa saja, seolah tak melakukan kesalahan apa pun. Sungguh apes nasib Hana sejak Yudis datang ke kafe dan menyatakan cinta padanya.
***
Keesokan pagi, sebuah kabar baik mengenai penangkapan para pelaku ditayangkan di layar kaca dan disebarkan di media sosial. Hana yang sedang membuka akun media sosialnya, termangu memandangi wajah para pelaku satu per satu. Dalam video yang ditontonnya, tampak lima terduga pelaku berdiri di belakang polisi.
Hana menyaksikan wawancara pihak kepolisian itu dengan saksama. Andra, Kevin, dan Viktor tampak tertunduk lesu. Yudis terlihat lebih tenang dari yang lainnya, bahkan tak sedikit pun raut penyesalan tergambar di wajahnya. Adapun Anwar hanya membuang muka, seakan tak terima dirinya ikut terseret dalam kasus yang tidak pernah ia lakukan.
"A-Apa? Kenapa Anwar jadi ikut terseret dalam kasusnya Alin? Anwar, kan, yang paling gigih nyariin Alin. Kenapa jadi gini?" gerutu Hana, merasa gusar.
Setelah wajah para pelaku ditayangkan, kabar diantarkannya jenazah Alin ke kampung halaman pun muncul. Tampak ibu Alin menangis terisak-isak dalam acara pemakaman putri semata wayangnya. Hana pun ikut menangis, meratapi kepergian Alin untuk selama-lamanya.
Menjelang siang, gadis itu memutuskan untuk mengambil cuti. Ia pergi ke kampung halamannya untuk mengunjungi pusara Alin yang baru saja dikebumikan. Hatinya benar-benar rapuh setelah semua usaha menyelamatkan Alin ditekan oleh ancaman Yudis yang bertubi-tubi.
Sepanjang perjalanan, air mata Hana meluncur deras membasahi pipinya. Sesekali ia mengusapnya, sambil memandang kosong ke luar jendela bus. Sekilas penyesalan atas keegoisannya mengganggu benak gadis itu. Lambat laun, ia berpikir mungkin perkataan Yudis ada benarnya. Jika saja dulu Hana bersedia menerima Yudis dan mengorbankan harga diri, Alin mungkin baik-baik saja hari ini.
Setibanya di kampung halaman, Hana mengunjungi kediaman Alin lebih dulu. Suasana duka masih terasa di rumah yang memiliki toko kelontong di sebelahnya itu.
Hana memasuki rumah Alin dan mengucapkan salam. Tampak ibu Alin yang sedang melamun, seketika menoleh ke arah Hana. Wanita paruh baya itu beranjak dari tikar dan menghampiri teman masa kecil putrinya itu.
"Hana," ucap ibu Alin memandangi gadis seusia putrinya.
Hana kembali meneteskan air mata tatkala mendapati semburat kehilangan di wajah wanita itu. Dipeluknya ibu Alin, sambil menangis tersedu-sedu. Pun dengan wanita paruh baya berkerudung itu, ikut menangis ketika teringat kembali pada wajah pucat putrinya untuk terakhir kali.
"Hana turut berduka cita sedalam-dalamnya, Bu. Maafin Hana yang nggak bisa jagain Alin di perantauan, ya," ucap Hana dengan suara gemetar.
"Ini bukan salah kamu, Hana. Mungkin takdir yang Allah kasih buat Alin memang seperti ini," sanggah ibu Alin.
Hana melepaskan pelukannya di tubuh ibu Alin, sambil mengusap air mata. Ingin sekali ia membantu wanita paruh baya itu menuntut keadilan bagi Alin. Akan tetapi, ketakutan akan ancaman Yudis lagi-lagi menahan ambisinya. Terbukti dari terseretnya Anwar, sudah dipastikan Yudis sedang memulai permainannya.