Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Perintah Sang Ratu
Dengan tidak adanya selir lain selain Seo-Rin, suasana istana menjadi semakin tegang. Fokus perhatian para bangsawan serta kalangan istana sepenuhnya tertuju pada Seo-Rin, yang kini menjadi satu-satunya wanita yang secara resmi diakui dalam kehidupan Pangeran Ji-Woon. Keputusan ini tidak hanya mengejutkan para menteri yang berharap adanya lebih banyak kandidat demi keturunan kerajaan, tetapi juga menjadi sumber kecemburuan yang tak terselubung dari Kang-Ji, sang putri mahkota.
Seo-Rin, yang semula merasa kehadirannya di istana bagai bayangan dari sang putri, kini dihadapkan pada sorotan yang lebih besar. Tak hanya harus menjaga kehormatan sebagai satu-satunya selir, ia juga harus menyesuaikan diri dengan ekspektasi yang datang dari segala arah, termasuk dari Ratu dan para penasihat kerajaan yang mengamati setiap langkah dan kata-katanya.
Di tengah suasana yang berubah, Ji-Woon semakin sering terlihat di paviliun Seo-Rin, membuat rumor beredar cepat di kalangan istana bahwa ia begitu terpesona pada Seo-Rin hingga tak ingin membagi perhatiannya dengan wanita lain. Hubungan di antara mereka pun berkembang menjadi semakin mendalam, dan meski tidak dinyatakan terang-terangan, perasaan mereka mulai tumbuh lebih nyata.
Namun, dengan Kang-Ji yang terus mencermati setiap interaksi mereka, serta desakan para menteri pada Ratu untuk memastikan keturunan kerajaan, tekanan pada Pangeran Ji-Woon dan Seo-Rin pun semakin berat. Meski keduanya semakin dekat, mereka tak luput dari ancaman politik istana yang bisa sewaktu-waktu mengubah segalanya.
*
Pagi itu, Seo-Rin dipanggil untuk menghadap Ratu. Seo-Rin melangkah dengan hati penuh tanya, mencoba menebak apa maksud di balik panggilan mendadak ini. Saat memasuki ruangan, ia menemukan Ratu duduk anggun dengan sorot mata yang tajam, penuh kewibawaan. Seo-Rin segera memberi hormat, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang perlahan merayapi hatinya.
Tanpa basa-basi, Ratu menatapnya dalam-dalam. “Seo-Rin,” ucapnya pelan, “kau tentu memahami bahwa para menteri terus mendesak agar Pangeran segera memberikan keturunan. Dan sebagai putri mahkota yang sah, Kang-Ji adalah satu-satunya wanita yang diharapkan memenuhi tugas itu.”
Seo-Rin diam, merasakan hawa dingin yang seketika menyelimuti. Ia tahu betul posisi Kang-Ji, dan sebagai satu-satunya selir, Seo-Rin kini seperti berada di persimpangan jalan antara memenuhi harapan Pangeran atau tunduk pada permintaan Ratu.
Ratu melanjutkan dengan nada penuh penekanan, “Aku meminta kerjasamamu, Seo-Rin. Demi ketenangan istana dan kelangsungan kerajaan, untuk sementara waktu … hindarilah Pangeran Ji-Woon. Berikan kesempatan pada Putri Kang-Ji untuk menjalankan tugasnya.”
Seo-Rin menundukkan kepala, mendengar kata-kata Ratu yang disampaikan dengan halus namun penuh ketegasan. Ia tahu bahwa penolakannya bisa berakibat buruk, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Pangeran yang mungkin semakin mendapat tekanan dari para penasihat kerajaan. Dengan suara pelan, Seo-Rin menjawab, “Baik, Yang Mulia. Saya akan berusaha menjauhkan diri untuk sementara.”
Sejak saat itu, Seo-Rin mulai berusaha menjauh secara halus. Setiap kali Pangeran Ji-Woon datang ke paviliunnya, Seo-Rin selalu memiliki alasan untuk menolak. Kadang, ia berpura-pura lelah dan mengatakan butuh istirahat lebih awal, atau sengaja menjadwalkan latihan musiknya pada malam hari agar waktunya dihabiskan di ruang lain.
Namun, Pangeran Ji-Woon yang sudah mulai merasakan jarak ini, tak mudah menyerah. Sering kali, saat Seo-Rin dengan sopan menolaknya, ia malah semakin menunjukkan keinginan untuk tetap berada di sisinya, bahkan menunggu Seo-Rin menyelesaikan alasan-alasan kecil yang dibuatnya.
Ketegangan mulai terasa di paviliun Seo-Rin. Hatinya berperang, antara keinginannya untuk setia pada perintah Ratu dan perasaannya terhadap Pangeran yang semakin hari semakin sulit diabaikan. Meski berusaha keras menjauh, Seo-Rin tak bisa memungkiri bahwa hatinya terasa semakin kosong tanpa kehadiran Ji-Woon di sisinya.
*
Malam semakin larut, dan usaha Seo-Rin untuk menghindar mulai membebani hatinya. Di paviliunnya yang sunyi, Seo-Rin duduk termenung, memikirkan apa yang mungkin sedang dilakukan Pangeran Ji-Woon. Ia tahu, permintaannya untuk menjauh sebenarnya melukai hati sang Pangeran, namun ia tak punya pilihan lain.
Di sisi lain, Pangeran Ji-Woon mulai menyadari adanya perubahan yang mengganggu. Setiap kali ia mendekati Seo-Rin, wanita itu selalu punya alasan untuk menghindar, seolah-olah menghindari tatapannya, menolak sentuhannya. Merasa curiga, Pangeran mulai berpikir bahwa ada hal yang disembunyikan dari dirinya. Dengan tekad bulat, ia memutuskan bahwa malam ini ia akan meminta penjelasan langsung dari Seo-Rin.
Saat pintu paviliun Seo-Rin terbuka, wanita itu terkejut melihat Pangeran Ji-Woon berdiri di sana dengan sorot mata yang tak bisa disembunyikan — marah, terluka, dan penuh tekad.
“Seo-Rin, sudah cukup,” ujar Pangeran Ji-Woon, suaranya rendah namun tegas. “Aku tidak bisa lagi menerima alasan-alasanmu yang tak masuk akal. Apa sebenarnya yang kau sembunyikan dariku?”
Seo-Rin terdiam, menundukkan kepalanya. Ia tahu bahwa menghindari Pangeran adalah tugas yang diberikan sang Ratu, namun kali ini, menghadapi tatapan Ji-Woon yang begitu dalam, ia merasa semua kata-kata sulit keluar dari bibirnya.
Dengan suara pelan namun bergetar, ia berkata, “Pangeran ... aku hanya tidak ingin menjadi penghalang bagi masa depan kerajaan. Bukankah Putri Kang-Ji yang seharusnya berada di sisi Anda? Para menteri mendesak agar Anda segera memberikan keturunan, dan ... dan aku rasa aku bukanlah orang yang tepat untuk itu.”
Mata Ji-Woon mengeras mendengar kata-kata itu. Ia mendekat, memegang tangan Seo-Rin dan berkata, “Seo-Rin, ketahuilah satu hal. Aku tidak membutuhkan perintah Ratu, atau desakan menteri, untuk memutuskan siapa yang ingin kucintai. Jika aku menginginkanmu di sisiku, itu karena perasaanku, bukan karena peraturan istana atau harapan orang lain.”
Degup jantung Seo-Rin semakin berdebar. Ia ingin menjelaskan, namun kata-kata yang tersusun rapi di benaknya hilang seiring dengan sentuhan hangat Ji-Woon yang menggenggam tangannya erat. Sejenak, keheningan menyelimuti mereka, hingga akhirnya Ji-Woon melanjutkan, “Jika Ratu memintamu menjauhiku demi Putri Kang-Ji, maka aku akan menemui beliau. Aku takkan membiarkan siapa pun mengatur hubunganku denganmu, Seo-Rin.”
Seo-Rin terperangah. “Pangeran, tidak! Jangan lakukan itu. Ini hanya sementara. Aku hanya... hanya ingin membantu Anda, meski aku tahu aku mungkin melukai perasaan Anda.”
Ji-Woon menatapnya lama, seakan ingin memastikan bahwa Seo-Rin benar-benar memahami keinginannya. “Kalau begitu, jangan pernah menjauh dariku lagi, Seo-Rin. Karena yang kuinginkan hanya satu — kau tetap berada di sini, bersamaku.”
Seo-Rin tak kuasa menahan perasaannya. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ia merasakan genggaman Ji-Woon semakin kuat. Malam itu, tanpa alasan lagi untuk menghindar, Seo-Rin merasakan kehangatan yang begitu tulus dari pria yang kini mendekapnya dengan penuh kasih.
Bersambung >>>