🔥Bocil dilarang mampir, dosa tanggung masing-masing 🔥
———
"Mendesah, Ruka!"
"El, lo gila! berhenti!!!" Ruka mendorong El yang menindihnya.
"lo istri gue, apa gue gak boleh pakek lo?"
"El.... kita gak sedekat ini, minggir!" Ruka mendorong tubuh El menjauh, namun kekuatan gadis itu tak bisa menandingi kekuatan El.
"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!"
———
El Zio dan Haruka, dua manusia dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang terpaksa diikat dalam sebuah janji suci pernikahan.
Rumah tangga keduanya sangat jauh dari kata harmonis, bahkan Ruka tidak mau disentuh oleh suaminya yang merupakan Badboy dan ketua geng motor di sekolahnya. Sementara Ruka yang menjabat sebagai ketua Osis harus menjaga nama baiknya dan merahasiakan pernikahan yang lebih mirip dengan neraka itu.
Akankah pernikahan El dan Ruka baik-baik saja, atau malah berakhir di pengadilan agama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Diego berhenti di sudut koridor belakang sekolah yang sepi. Tempat itu jauh dari pengawasan guru dan murid lainnya. Dia melepaskan pegangannya pada lengan Ruka, lalu berbalik untuk menghadap gadis itu.
“Jadi, lo mau ngomong apa, Diego? Ini penting banget sampe lo harus nyulik gue dari kelas?”
"Ruka, gue… gue gak bisa terus begini. Gue butuh tahu, apa yang sebenarnya lo rasain soal gue," ucap Diego, tatapannya mengunci mata Ruka, berharap gadis itu akan memberinya jawaban yang selama ini ia tunggu.
Ruka tertegun, matanya melebar sesaat. "Maksud lo apa, Di?" tanyanya dengan nada bingung, meskipun hatinya sudah mulai bisa menebak arah pembicaraan ini.
"Perasaan lo ke gue," ulang Diego. "Sebenarnya lo anggap gue ini apa, Ruka?"
Diego menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Seminggu lo gak ada kabar, gue gak tahu harus ngapain. Gue kelimpungan, Ruka. Gue gak bisa berhenti mikirin lo. Sekarang, gue cuma pengen tahu, apa gue berarti buat lo atau gue cuma ngarep sendirian?"
Kata-kata Diego membuat Ruka sejenak kehilangan kata-kata. Dia memalingkan wajah, berusaha menghindari tatapan Diego yang begitu intens. Hatinya berkecamuk, perasaan yang selama ini ia pendam seolah mendesaknya untuk berbicara, tapi sekarang bukan waktu yang tepat.
Diego memegang kedua lengan Ruka, "please Ruka, tolong kasih gue kepastian, hm?" tuntut Diego membuat Ruka makin tak nyaman. Diego yang dia kenal tidak pernah memaksa dan menuntut, kini seolah berubah menjadi orang lain.
"Di…gue," suara Ruka bergetar, "gue...."
Menyadari kebimbangan Ruka, Diego memilih bersabar, jika dia memaksa bukan tidak mungkin, Ruka akan menolaknya. Ia lantas tersenyum, lalu mengacak puncak kepala Ruka. "kamu pikirin dulu saja Ruka, aku bisa tunggu jawabannya nanti. Ayo, kita masuk kelas."
***
Selama jam pelajaran Ruka tidak bisa fokus, kata-kata pengakuan dari Diego yang selama ini ia impikan berputar-putar di kepalanya.
Bukankah itu yang Ruka inginkan? Tapi entahlah, dia merasa ada yang salah.
"Haruka!" suara tegas Pak Fery membuyarkan lamunannya. Guru matematika itu berdiri di depan kelas dengan tangan bersedekap, tatapannya tajam seperti elang yang menangkap mangsanya.
Ruka tersentak, kepalanya mendongak dengan mata yang masih sedikit bingung. "I-iya, Pak?"
"Sejak tadi saya jelaskan soal di papan, tapi kamu malah melamun. Kalau kamu tidak mau belajar, lebih baik keluar saja!" tegur Pak Fery.
Seluruh perhatian kelas kini tertuju pada Ruka. Beberapa teman sekelasnya menahan tawa, sementara yang lain hanya memandangnya dengan rasa ingin tahu.
Ruka menarik napas dalam-dalam, mencoba menguasai dirinya. "Maaf, Pak. Saya hanya sedikit kurang fokus," ujarnya pelan, menundukkan kepala.
Pak Fery mendengus pelan. "Kalau begitu, Haruka, tolong maju ke depan dan selesaikan soal nomor tiga ini. Buktikan kalau kamu memang mendengarkan."
Ruka menelan ludah. Ia bangkit perlahan dari kursinya dan berjalan menuju papan tulis. Sepanjang jalan, dia bisa merasakan tatapan teman-temannya dari bangku belakang, menusuk punggungnya.
Saat berdiri di depan papan, pikirannya justru semakin kacau. Soal di hadapannya tampak seperti tulisan alien, sama sekali tidak masuk akal. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri karena terlalu sibuk memikirkan Diego—dan sekarang, entah kenapa, El juga ada dalam pikirannya.
"Ayo, Haruka, waktunya tidak banyak," desak Pak Fery.
Ruka menggigit bibir bawahnya, mencoba mencari solusi, tapi otaknya terasa buntu. Seketika, suara Hana terdengar dari belakang kelas. "Pak, mungkin Haruka butuh sedikit petunjuk, biar nggak salah langkah."
Pak Fery menoleh ke arah Hana, mengerutkan alis. "Haruka sudah cukup besar untuk menyelesaikan soal sendiri, Hana. Apa kamu mau menyelesaikan soal ini untuk Haruka?"
Glek!
Hana menelan ludahnya kelu, "T-tidak pak."
"Ayo Ruka, bapak tunggu!"
Ruka merasa semakin kikuk. Dalam kepanikannya, ia hanya bisa mencoretkan angka-angka acak di papan, berharap itu terlihat seperti usaha yang nyata.
"Sudah selesai?" tanya Pak Fery dengan nada skeptis.
"Ya… mungkin," jawab Ruka ragu.
Pak Fery menghela napas panjang, melipat tangan di dadanya. "Duduk kembali, Haruka. Lain kali, pastikan pikiranmu tetap di kelas selama pelajaran saya. Untung kamu cukup pintar dan cepat nalar, jika tidak bapak sudah suruh kamu lari keliling lapangan tiga putaran."
"Baik, Pak. Maaf..."
"Sudah-sudah, kita lanjut pelajaran."
***
Bunyi bel istirahat menggema di seluruh sekolah, disambut sorakan gembira dari para murid. Tas-tas ditutup dengan cepat, beberapa siswa sudah bersiap berhamburan ke kantin, sementara yang lain tetap di tempat, menikmati waktu bebas di kelas.
Ruka mendesah lega. Akhirnya dia bisa keluar dari suasana tegang yang diciptakan Pak Fery. Tanpa menunggu lama, dia mulai merapikan bukunya ke dalam tas.
"Ruka, ke kantin, yuk!" Hana sudah muncul di sampingnya, senyum ceria menghiasi wajah sahabatnya itu.
"Kayaknya gue mau di kelas aja deh, Han. Lo duluan aja," jawab Ruka tanpa semangat.
"Yakin? Apa lo masih kepikiran Diego?"
"Enggak!" sahut Ruka cepat, tapi pipinya memerah.
Hana terkikik. "Ayolah Ruka, anterin gue ke kantin. Lo bisa kan cuma minum es teh doang. Gue traktir deh!"
"Gue gak haus Hana."
"Ya udah temenin gue aja, lo tega gue ke kantin sendirian, hm?" Hana memelas dengan puppy eyes nya. "Haruka...."
***
Akhirnya, karena terus dipaksa Hana, Ruka menyerah. Dia membereskan bukunya dengan malas sebelum beranjak keluar kelas. Namun, langkah mereka baru saja melewati ambang pintu ketika suara gaduh menyeruak dari koridor.
Ruka menghentikan langkah, matanya menyipit melihat segerombolan anak-anak dari Speed Demon — geng yang terkenal di sekolah — berlarian menuju gerbang. El, seperti biasa, berada paling depan, memimpin kelompoknya dengan ekspresi serius dan penuh determinasi.
Hana menepuk bahu Ruka. "Lihat itu, pasti bakal ada yang seru."
Ruka menatap sahabatnya dengan tatapan tak percaya. "Seru? Maksud lo apa?"
"Biasanya kalau mereka udah lari gitu, ujung-ujungnya pasti tawuran," jawab Hana sambil mengangkat bahu, seolah itu adalah hal yang biasa.
"Tawuran?" ulang Ruka, suaranya meninggi.
"Yap," sahut Hana santai. "Lo gak tau? Anak-anak Speed Demon itu sering bentrok sama geng dari sekolah lain. Kadang karena alasan sepele, kadang karena gengsi. Pokoknya, kalau mereka udah kayak gini, sekolah jadi heboh."
Ruka mengernyit, matanya kembali tertuju pada sosok El yang sudah hampir mencapai gerbang. Meski tidak ingin terlibat, ada rasa khawatir yang perlahan merambati pikirannya. El... apa lagi yang lo lakuin sekarang?
"Ruka, lo kenapa?" Hana bertanya, menyadari temannya itu tampak melamun.
"Ah, gak apa-apa," jawab Ruka cepat. Tapi dia tidak bisa mengabaikan perasaan tidak enak yang tiba-tiba muncul.
Dari kejauhan, terdengar suara motor meraung-raung. Beberapa anak lain yang tidak termasuk dalam geng Speed Demon mulai berkumpul di koridor, menonton dengan penuh rasa ingin tahu.
"Kita lihat aja yuk," ajak Hana, menggenggam tangan Ruka.
"Eh, Han, gue—"
Terlambat. Hana sudah menarik Ruka mengikuti kerumunan ke arah gerbang sekolah.
***
Di depan gerbang, suasana semakin panas. Anak-anak Speed Demon berdiri dengan angkuh, berhadapan dengan sekelompok anak dari sekolah tetangga. Sorot mata mereka saling membakar, seolah-olah bentrokan hanya tinggal menunggu hitungan detik.
El berdiri di tengah, tangannya dikepal di sisi tubuhnya. Tatapannya tajam, penuh dengan kemarahan yang sulit ditutupi.
"Kalau lo punya masalah sama anak-anak gue, hadapin gue langsung. Jangan main keroyokan di luar sekolah!" seru El dengan suara tegas, membuat kerumunan semakin riuh.
Anak-anak dari geng lawan mendengus, salah satu dari mereka maju selangkah. "Masalah ini bukan cuma soal lo, El. Anak buah lo udah main kotor. Jangan harap kita bakal diem aja!"
Ruka berdiri di tepi kerumunan, menatap pemandangan itu dengan jantung berdebar. Meski dia tahu El sering terlibat masalah, dia tidak menyangka akan melihatnya dalam situasi seperti ini.
"Han, kita harus panggil guru atau siapa kek buat hentikan ini," bisik Ruka cemas.
"Kalau guru tahu, mereka semua bisa kena skors," jawab Hana pelan. "Mungkin lebih baik kita biarin aja. Toh mereka udah biasa kayak gini."
"Tapi—"
Sebelum Ruka sempat menyelesaikan kalimatnya, suara benturan keras terdengar. Salah satu anggota Speed Demon dan anak dari geng lawan mulai saling dorong, memancing yang lain untuk ikut terlibat.
Ruka menahan napas saat situasi berubah kacau, dengan pukulan dan teriakan yang menggema di udara. Dia tidak tahu harus apa, tapi satu hal yang pasti—ini bukan sesuatu yang bisa dibiarkan.
Bentrokan pun tak terhindarkan. Kedua belah pihak saling serang, suara pukulan bertemu kulit dan teriakan memenuhi udara. Debu dari tanah yang terinjak menambah suasana menjadi semakin mencekam. El berada di tengah kekacauan, memimpin kelompoknya dengan gerakan yang tegas dan terukur. Namun, Ruka tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok itu.
"Han, gue gak bisa diam aja," bisik Ruka, memutuskan.
Hana menarik lengannya, mencoba menghentikannya. "Ruka, lo gila? Jangan ikut campur, ini urusan mereka."
"Tapi El bisa celaka!" sergah Ruka, suaranya sedikit bergetar. Dia tahu ini bukan tempatnya, tapi dia juga tidak bisa melihat El terluka tanpa berbuat apa-apa.
Dengan hati-hati, Ruka melewati kerumunan yang menonton. Dia berdiri di tepi lingkaran perkelahian, berteriak memanggil nama El, "El, udahan! Ini gak ada gunanya!"
El menoleh sebentar ke arah Ruka, wajahnya tampak memerah dengan amarah. "Balik, Ruka! Ini bukan urusan lo!"
Namun, sebelum El sempat berbuat lebih, sebuah pukulan melayang ke pipinya, membuatnya terhuyung ke belakang. Ruka terpekik, langkahnya maju tanpa berpikir panjang.
"El...."
Bersambung....