Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Ketukan beserta panggilan seorang pria terdengar semakin kencang.
Aku tahu itu suara mas Juna, tapi kenapa tidak mencoba membukanya? Padahal pintu tidak terkunci.
Apa dia sengaja mencelakaiku? Membiarkanku lebih lama merasakan sakit ini? Apakah dia sengaja memasukkan hewan peliharaannya ke kamarku?"
Husnuzan, Yura!! Mungkin dia tidak berani membuka pintu tanpa seizinku karena takut lancang, atau mungkin khawatir jika aku sedang memakai baju terbuka.
Ah.. Apapun itu, plis, buka pintunya!!
Aku menjerit dalam hati, rasanya sudah tidak punya tenaga untuk menyerukan suaraku.
"Mamah! Mas Angga!!" Teriak mas Juna yang masih bisa ku dengar.
Tak berapa lama, mas Angga menyahut dengan nada panik.
"Ada apa, Jun?"
"Mas, coba buka pintu kamar Yura, tadi ku dengar ada benda yang jatuh"
"Kenapa kamu tidak membukanya?" Kesal mas Angga, lalu pintu kamarku tiba-tiba terbuka.
"Astaghfirullah, Yura!" Pekiknya ketika mendapatiku meringkuk di lantai.
Karena kondisiku masih setengah sadar, aku bisa melihat kalau mas Angga langsung menghampiriku, lalu membopongku dan merebahkan tubuhku di atas kasur.
Sementara mas Juna sibuk menangkap Iguana besar miliknya.
"Ada apa, Jun, Angga?" Tanya mama begitu memasuki kamarku.
"Yura kenapa?" Tambahnya saat tahu aku terbaring dengan kondisi darah mengalir dari telapak tangan kiriku, dan juga di dahi.
"Jatuh, mah" Jawab mas Angga.
"Ada apa?" Giliran mbak Tita yang bertanya.
"Tolong ambilkan air bening, bun" Perintah mas Angga pada istrinya. Mbak Tita langsung bergegas menuju dapur.
"Astaga, kenapa bisa sampai seperti ini si?" Mama membantuku menata bantal supaya aku bisa tiduran lebih nyaman.
Ku coba mengatur nafas, berprasangka buruk pada mas Juna yang ternyata masih suka menjahiliku. Bisa jadi Iguana itu adalah ulahnya.
Dan melihat mas Juna berhasil menangkap hewan piaraannya, seketika hatiku dongkol, aku ingin marah. Jika benar ini perbuatan mas Juna yang di sengaja, aku sungguh mengutuknya.
Mas Juna!! Kenapa kamu begitu membenciku? dan kenapa kamu masih belum bisa berubah? Aku ingin sekali memarahimu!!
"Cepat amankan iguanamu, Jun. Beri Yura pertolongan pertama" Titah mas Angga, membuyarkan fokusku.
"Iya, mas" Mas Juna lalu keluar dari kamar.
Setelah aku berbaring dengan nyaman, ku sentuh luka di dahiku. Mendadak ada rasa mual dari perut, dan rasanya aku ingin sekali memuntahkan semua isi yang ada dalam perutku.
"Air putihnya mana ini, lama banget Tita ngambilnya"
Baru saja mama mengatakan itu, mbak Tita datang dan langsung menyerahkan segelas air putih kepada mas Angga.
"Ini, yah"
Mas Angga menerimanya. "Minum dulu, Ra!"
Aku menggeleng tanda menolak, sebab rasanya ingin sekali muntah.
"Minum sedikit, nak" Pinta mamah.
Aku kembali menggeleng dengan mulut terkatup rapat.
"Ya sudah di taruh sini dulu, ya" Kata mas Angga sambil meletakkan gelas di atas nakas.
"Juna mana si, lelet banget?!"
Mbak Tita yang sedang menyapu pecahan gelas merespon ucapan mama.
"Lagi nyiapin alat medis, mah. Sebentar lagi kesini"
Benar saja, tak kurang dari satu menit, mas Juna masuk dengan mengenakan masker menutupi mulut serta hidung, tangannya yang sudah memakai sarung tangan membawa sekotak alat medisnya.
"Biar ku tangani, mas"
Mas Angga menyingkir, memberikan ruang pada mas Juna.
"Duduk, Jun" Kata mas Angga yang tahu-tahu menarik kursi rias ke samping tempat tidur.
Mas Juna duduk.
Entah seperti apa ekspresinya, wajahnya hanya tampak sebagian karena di halangi oleh masker.
"Sini tangannya!" Mas Juna berupaya meraih tanganku, tapi aku menolaknya.
"Itu ada pecahan gelas menancap di tanganmu, harus segera di keluarkan, Ra"
Aku masih bergeming, akan tetapi mas Juna seolah menarik paksa pergelangan tanganku.
"Di obatin dulu lukanya, sayang" Bujuk mama.
"Itu darahnya ngalir terus, nanti kehabisan darah malah tambah sakit" Ucap mas Juna. Nadanya benar-benar sangat lembut, seperti sedang bicara dengan si kembar.
"Apa mau minum dulu?" Imbuh mas Juna.
"Coba di dudukin dulu Yuranya!" Kali ini mas Angga yang memerintahkan.
"Duduk dulu ya nak"
Aku mengangguk merespon mama.
Dengan cepat mas Juna menyingkir, membiarkan mas Angga yang membantuku duduk.
Mama menata bantal agar aku bisa menyandarkan punggungku pada headboard.
Setelah duduk dengan benar, mas Juna menjulurkan tangannya, menempelkan gelas di mulutku.
Mau tak mau akupun meneguknya.
Dalam kondisi seperti ini aku malah terserang rasa gugup.
"Sudah?" Tanya mas Juna saat aku menjauhkan mulutku dari gelas.
Aku mengangguk.
"Di bersihin dulu pecahan gelasnya ya"
Aku memilih bergeming tak menyahut.
"Yura harus di obatin, nak. Jangan bikin mamah sedih karena melihat Yura seperti ini"
Apalah dayaku, jika mamah sudah memelas begini, aku tak mampu menolaknya.
Akhirnya ku biarkan mas Juna melakukan tugasnya sebagai dokter.
"Maaf, ya" Mas Juna memegang tangaku dan menariknya pelan.
Aku membuang muka, ingin menunjukkan bahwa aku murka padanya.
"Lukanya dalam, Ra. Ini perlu di jahit" Gumam mas Juna lirih. Memantik sepasang netraku untuk meliriknya yang begitu fokus menjapit pinset dan mengeluarkan pecahan beling.
Aku menghela napas ketika rasa perih tiba-tiba menyeruak.
Ku lihat dia tampak serius mengobati lukaku. Tapi awas saja jika mas Juna melakukan tindakan di luar batas, aku pastikan Allah yang akan membalasnya.
"Aku keluar dulu ya mah" Mas Angga tiba-tiba bersuara di sela-sela konsentrasi mas Juna.
Tanpa menunggu jawaban mama, pria beranak dua itu keluar. Menyusul sang istri yang juga sudah keluar dari beberapa menit lalu.
Selang sekian menit kemudian, mama kembali bersuara.
"Perlu di bawa ke rumah sakit enggak, Jun?"
"Nggak perlu mah, ini beling-belingnya sudah ku keluarkan semua, darahnya juga sudah berhenti ngalir, insya Allah baik-baik saja"
"Terus luka di dahi gimana?"
Mas Juna melirik dahiku sesaat.
"Cuma tergores sedikit, nanti di kasih plaster"
"Pelan-pelan, Jun"
"Ini juga pelan, mah"
Setelah pecahan gelas sudah tercabut seluruhnya, mas Juna melepas masker lalu tersenyum padaku.
Senyuman yang membuatku detik itu juga langsung memalingkan wajahku.
"Ini semua gara-gara kamu, Jun. Kan sudah di bilang nggak usah bawa pulang itu si iguana, kenapa ngeyel. Jadi gini, kan?" Mama menatap kesal pada mas Juna yang mulai sibuk menyiapkan peralatan untuk menjahit lukaku.
"Iya mah, maaf"
"Sekali kalau mama bilang, harusnya langsung nurut dong, jangan sampai ada kejadian seperti ini dulu baru di iyain mau nurut"
"Iya, mamah... Sebentar lagi Gerry kesini buat ambil dia kok"
"Ya harus dong, udah nggak ada ijin buat si igu tinggal di sini"
"Udah habis visa ya mah" Seloroh mas Juna, sambil mengulas senyum.
Heran, dalam situasi mencekam begini masih sempat-sempatnya bercanda.
Detik berlalu, mas Juna kembali memegang tanganku, duduk lebih dekat di sampingku.
Karena kesadaranku sudah mulai terkumpul sepenuhnya, aku bisa mengendus aroma wangi dari tubuh mas Juna.
Wangi yang menyegarkan...membuat jantungku malah kebat-kebit seolah tak tahu aturan.
Andai tidak ada kepentingan, ingin ku tendang saja mas Juna menggunakan kakiku.
"Kita mulai jahit luka, ya"
Kalimat mas Juna barusan membuatku mendadak tegang, membayangkan rasanya, pasti akan sakit sekali.
"Mama keluar dulu, ya. Mama nggak tega lihat tangan Yura di tusuk-tusuk jarum"
Wanita paruh baya itu malah keluar. Otomatis hanya aku dan mas Juna saja di dalam kamar.
"Hei, kok tegang banget? Rilex aja, Ra. Aku janji nggak akan bikin kamu tambah sakit" Ujar mas Juna saat mamah sudah berhasil keluar. Dari nadanya terdengar sangat tulus, tapi tak membuatku langsung percaya.
"Di kasih obat bius, kan?" Tanyaku ragu-ragu.
"Iya, sudah di kasih kok, tadi"
"Banyakin lagi biar nggak sakit"
"Ya nggak bisa dong, ini sudah sesuai dosis, nggak boleh berlebihan"
Lalu hening, alih-alih menjahit, mas Juna malah diam dengan fokus menatap tanganku.
Masih belum melakukannya?
"Kenapa masih tegang? Takut?" Dia lantas menatapku penuh intens.
Ah.. Aku benci di tatap seperti itu.
Bersambung.