Hidup Nicho Javariel benar-benar berubah dalam sekejap. Ketenaran dan kekayaan yang dia dapatkan selama berkarir lenyap seketika akibat kecanduan obat-obatan terlarang. Satu per satu orang terdekatnya langsung berpaling darinya. Bukannya bertobat selepas dari rehabilitas, dia malah kecanduan berjudi hingga uangnya habis tak tersisa. Dia yang dulunya tinggal Apartemen mewah, kini terpaksa pindah ke rumah susun lengkap dengan segala problematika bertetangga. Di rumah susun itu juga, ia mencoba menarik perhatian dari seorang perempuan tanpa garis senyum yang pernah menjadi pelayan pribadinya. Dapatkah ia menemukan tempat pulang yang tepat?
"Naklukin kamu itu bangganya kek abis jinakin bom."
Novel dengan alur santai, minim konflik penuh komedi sehari-hari yang bakal bikin ketawa-ketawa gak jelas tapi tetap ada butterfly effect.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Ekspresi mantan suami Sera berubah seketika begitu Nicho memberi tahu kediaman wanita itu berada di lantai paling akhir gedung ini.
"Tapi, di sini dibilang berada di unit lantai empat," ucapnya sedikit ragu sambil membuka kembali gawainya untuk melihat chat.
Apa dia yang ngundang nih orang ke sini?
"Itu pasti yang ngasih tahu itu typo! Mungkin dia mau nulis lantai sepuluh tapi malah nulis lantai empat. Hunian dia sebelumnya!" tandas Nicho yang lagi-lagi dengan gaya meyakinkan.
Wajah pria yang pernah menjadi suami Sera itu masan seketika. Kepalanya mendongak ke atas seakan tak sanggup untuk menjelajahi tangga-tangga gedung ini untuk sampai ke sana. Jangankan ke lantai sepuluh, untuk sampai di lantai empat ini saja, sudah terasa ngos-ngosan.
"Kalo gitu makasih banyak, ya?" ucap pria itu sambil berlalu di hadapan Nicho. Kalau bukan karena sesuatu yang hendak ia bicarakan pada Sera, belum tentu ia mau ke tempat seperti ini.
Sebaliknya, Nicho yang masih berdiri di depan rumahnya, terus memerhatikan pria itu.
"Habis anaknya, sekarang mantan suaminya. Jangan-jangan bentar lagi mereka bertiga bakal kumpul bareng di sini!" celetuknya dengan nada sewot. Namun, sesaat kemudian ia langsung tersadar dan bergumam sendiri, "kenapa juga gua jadi mikirin mereka!"
Berusaha masa bodoh, nyatanya baru saja hendak membuka pintu, ia mendadak mematung dengan pikiran-pikiran melayang tak keruan.
"Jangan-jangan ... bener lagi mereka bertiga bakal reunian di sini ... terus ...." Nicho tak melanjutkan kalimatnya, tetapi prasangka negatifnya sudah menjadi-jadi.
Di kepalanya saat ini, ia bahkan sudah membayangkan Sera dan pria itu saling berpelukan, saling meluapkan kerinduan dan penyesalan yang mendalam, seperti di film-film romansa yang pernah dibintanginya.
Hanya sesaat, khayalan itu langsung buyar ketika ia langsung menggeleng-gelengkan kepala. Ia pun buru-buru masuk ke rumah, berharap tak memedulikan apa pun tentang mereka. Baru saja hendak masuk ke kamar, jiwa penasarannya kembali membuncah untuk membuat tubuhnya kembali berbalik dan menengok lambat ke arah jendela yang sejajar dengan arah pintu rumah Sera.
Terpantau masih aman!
Ia pun masuk ke kamarnya. Namun, tak cukup semenit ia kembali keluar dan berlalu lalang di dalam ruang tamu yang sempit sambil sesekali membungkuk ke jendela. Jelas, ia mengkhawatirkan jika mantan suami Sera benar-benar menemukan alamat yang asli. Ia sampai mengambil lap dari bekas kancut Ucup yang sudah bolong, lalu berpura-pura membersihkan kaca jendela hanya untuk terus memantau rumah Sera.
Sepuluh menit berlalu, kediaman Sera masih terlihat sepi. Nicho kini duduk di kursi andalannya sambil merogoh rengginang lanut yang tersimpan dalam kotak kaleng bekas biskuit legendaris.
"Ini kue apaan, sih, Anjiir! Kok lengket-lengket mulu di gigi gua!" cerocosnya kesal sambil melepeh kembali rengginang tersebut dari mulutnya. Tanpa dia tahu, rengginang itu ternyata sudah bersemayam selama setahun lebih di kaleng tersebut.
Matanya masih tak berhenti memantau, terus mengawasi kediaman Sera seolah dirinya adalah anggota intelejen. Setelah merasa aman, dia pun memutuskan tidur siang dengan damai. Sayangnya, hal itu tak bisa terwujud kala pintu rumahnya mendadak tergedor-gedor dari luar.
Kaget mendengar suara ketukan yang beruntun, Nicho pun buru-buru keluar dari kamarnya dan membuka pintu. Ia mendengus kesal tatkala melihat Cemong berada di depan pintu sambil memamerkan giginya.
"Ngapain lu gedor pintu orang siang-siang, hah?"
"Mau ngasih tahu, Cemong punya berita penting, Bang!"
"Apaan?"
"Eits, kasih duit pelicin dulu, Bang. Biar mulut Cemong lancar ngomongnya!"
"Eh, eh, dasar lu! Masih anak-anak dah punya bibit-bibit korupsi. Bahaya nih kalo jadi pejabat!"
"Yakin nih, gak penasaran? Ini tentang kak Sera, loh!"
Mendengar Cemong menyebut nama Sera, Nicho pun penasaran tapi sedikit gengsi mengakuinya.
"Kagak! Kagak penasaran!"
"Yakin, nih, Bang? Ntar nyesel loh," goda Cemong.
"Ya, udah, cepetan kasih tahu!"
Cemong malah menengadahkan telapak tangan seolah hendak menagih uang pelicin yang baru saja ia katakan. Dengan kesal, Nicho merogoh celananya dan mengambil uang bernilai dua puluh ribu rupiah.
"Dikit amat, Bang! Tapi gak papa, deh. Anggap Cemong lagi kasih diskon untuk berita sepenting ini!"
"Buruan kasih tahu hal penting apa yang lu mau bilang!" cetus Nicho dengan tak sabar.
"Gini, bang, tadi kan, pas Cemong lagi main PS di rumah teman yang ada di lantai paling atas, Cemong ketemu orang yang lagi nyariin alamat kak Sera!"
Tahu yang dimaksud Cemong adalah mantan suami Sera, Nicho lantas berkata, "Terus ... terus, lu kasih tahu gak?"
"Enggak, Bang!"
"Bagus!" Nicho menghela napas lega.
"Iya, soalnya langsung Cemong anterin aja ke rumah kak Sera!" imbuh Cemong lagi dengan wajah tak bersalah.
"Hah?" Mata Nicho melotot seketika diikuti pandangan yang langsung mengarah ke rumah Sera. Terlihat pintu rumahnya yang selalu tertutup itu, kini tengah terbuka tanda dia sedang menerima tamu.
"Kenapa lu anterin ke sana, Botak?" geram Nicho.
"Eits, tenang, Bang! Kayaknya kak Sera juga gak suka sama tuh orang. Ini bisa jadi kesempatan Abang buat unjuk gigi ke kak Sera!"
Bertepatan dengan itu, Ucup yang baru saja pulang terbengong melihat Nicho dan Cemong yang tampak sedang membicarakan sesuatu yang serius.
Sepertinya yang dikatakan Cemong benar. Di dalam sana, Sera tengah berhadapan dengan mantan suaminya. Tampak dari ekspresi wajahnya, Sera tak begitu menginginkan kehadiran lelaki yang pernah mengisi hidupnya itu.
"Bisa-bisanya kamu betah tinggal di tempat kayak gini," cibir lelaki itu setelah masuk ke rumah petak mungil tersebut.
"Mau apa kamu datang ke sini?" tanya Sera dengan nada dingin. Ia bahkan langsung mengajak Nesha masuk ke kamar.
"Jangan bertindak seolah aku bukan ayah kandungnya."
"Bukannya keluarga kamu meragukan anak ini sebagai darah daging kamu?" tandas Sera dengan nada sinis.
"Itu karena ...."
"Karena keturunan kalian tidak ada yang cacat!" potong Sera dengan dengan cepat, "bukankah itu yang ibu kamu bilang saat itu? Kamu ingat, kan?"
.
.
.
Like dan komeng
😁😁