NovelToon NovelToon
Feathers

Feathers

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Cinta Beda Dunia / Iblis / Dunia Lain
Popularitas:522
Nilai: 5
Nama Author: Mochapeppermint

Mereka bilang aku adalah benih malaikat. Asalkan benih di dalam tubuhku masih utuh, aku akan menjadi malaikat pelindung suatu hari nanti, setelah aku mati. Tapi yang tidak aku tahu adalah bahaya mengancam dari sisi manapun. Baik dunia bawah dan dunia atas sama-sama ingin membunuhku. Mempertahankan benih itu semakin lama membuatku mempertanyakan hati nuraniku.

Bisakah aku tetap mempertahankan benih itu? Atau aku akan membiarkan dia mengkontaminasiku, asal aku bisa menyentuhnya?

Peringatan Penting: Novel ini bisa disebut novel romansa gelap. Harap bijak dalam membaca.
Seluruh cerita di dalam novel ini hanya fiksi, sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mochapeppermint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 The Seed

Aku mendengar bisikan-bisikan pelan dan sesuatu yang ritmis. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum perlahan membuka kedua mataku. Langit-langit abu-abu menyambut pandanganku, namun saat aku ingin menggerakkan tubuhku, sesuatu mengikatku kuat. Aku tidak bisa menggerakkan tanganku lebih jauh hanya beberapa senti saja.

“Amy?” Wajah Suster Nadia masuk ke dalam pandanganku. Dia menatapku khawatir dari atasku.

“Apa ini?” Tanyaku sambil mengguncang tanganku. Aku berusaha bangkit, namun karena tanganku terikat ketat aku hanya bisa menaikkan kepalaku sedikit dan melihat pergelangan tanganku terborgol. Besi di pergelangan tanganku menekan kulitku saat aku berusaha menggerak-gerakkannya. “Kalian memborgolku?” Tanyaku terkejut bercampur takut. “Kenapa?”

Ya, Tuhan! Mereka bahkan mengikat kedua kakiku. Jantungku mulai berpacu cepat dan rasa panik mulai menguasaiku. Aku melihat dengan cepat ke sekelilingku. Suster Nadia, Kepala Biara Suster Theresia, Suster Brigitta dan beberapa Pastor dan Suster yang tidak aku kenal mengelilingi kasurku. Beberapa dari mereka menggerakkan mulutnya dan tangan mereka terlipat di dada. Tampaknya mereka sedang berdoa, rupanya suara itu yang aku dengar. Tatapan mereka yang intens semakin membuatku semakin menciut dan panik. Seolah mereka sedang mengusir sesuatu di dalam tubuhku.

Terlebih lagi ini ruangan yang berbeda. Bukan kamarku dan Suster Nadia dan juga bukan ruang kesehatan tempat dimana aku datang pertama kalinya. Langit-langitnya lebih rendah, penerangannya redup. Dinding abu-abu yang mengelilingi ruangan sempit ini terlihat lebih kotor dan suram. Tidak ada jendela hanya ada satu pintu dari kayu yang terlihat sangat berat dan kokoh. Bahkan udara disini terasa berat seolah udara pun juga terjebak disini. Selain itu bau jamur masih tercium di balik bau menyengat cairan pembersih. Aku sangat yakin ruangan ini sudah lama tidak terpakai dan kini mereka berbaik hati membersihkannya hanya untukku.

Suster Nadia mengulurkan tangannya padaku namun secara refleks aku menghindarinya sebisa mungkin. Aku melihat tatapan kecewa di kedua mata Suster Nadia sebelum dia menurunkan tangannya. “Tenanglah, Amy.” Kini yang bicara adalah Kepala Biara. Beliau mendekat berdiri di samping kasurku yang lain. Dia mengulas senyum lembut walau tidak sampai ke kedua matanya. “Maaf kalau kami mengikatmu, tapi kami tidak akan berbuat apa-apa selain itu.”

Aku menelan ludah yang terasa menggumpal di tenggorokanku. Aku ingin mengatakan sesuatu yang tajam namun aku tahu saat ini aku bukan di dalam situasi yang memungkinkan. Aku hanya mengerutkan dahiku, menatap mereka dengan mulut terkatup erat.

“Semalam kamu keluar lagi, Nak.” Kini Suster Brigitta yang bicara dan itu cukup membuatku terkejut.

“Nggak mungkin.” Bisikku dengan suara yang tersekat.

Aku ingat pintu kamar di kunci, bahkan ada beberapa Pastor berjaga di luar. Aku menoleh pada Suster Nadia, namun dia hanya menatapku dan terdiam seolah ini semua salahnya.

“Itu benar, Amy.” Ucap Kepala Biara.

“Tapi kalian nggak bisa mengikatku seperti ini.” Ini bodoh. Aku sendiri yang bilang pada Pastor Xaverius untuk mengikatku, tapi saat mereka benar-benar mengikatku aku malah penuh dengan amarah dan rasa takut.

“Maaf, Amy. Tapi kami tidak tahu harus berbuat apa denganmu.” Kata Kepala Biara lagi. Bibirnya yang berkerut membentuk garis tipis sebelum berkata lagi. “Kami sudah memberitahu Vatikan tentang keadaanmu tapi masih belum ada jawaban. Kami hanya bisa melakukan apa yang bisa kami lakukan untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.”

Aku mengerang kesal sambil menarik tanganku dan yang kudapatkan hanyalah tekanan keras dari borgol yang mengelilingi pergelangan tanganku. Sentuhan lembut menekan tanganku. “Hentikan, Amy. Nanti tanganmu sakit.” Kata Suster Nadia lembut berusaha menenangkanku.

Air mata frustrasi mulai mengembang di pelupuk mataku. “Mau sampai kapan kalian mengikatku?” Tanyaku di sela-sela geretakan rahangku. Sia-sia aku memperdalam suaraku untuk membuatku terdengar marah karena air mata panas mulai mengalir ke pelipisku dan bibirku bergetar.

Suster Nadia menatap pada Kepala Biara menandakan kalau jawaban itu hanya bisa dijawab olehnya. “Maaf, Amy-”

Aku mengerang keras dan mengangkat tubuhku sebisa mungkin seraya menatapnya tajam. Kepala Biara tersentak mundur, seolah aku benar-benar sedang kerasukan dan mereka sedang melakukan ritual pengusiran. “Lepaskan aku!” Aku membanting tubuhku di atas kasur dan menarik kedua tangan dan kedua kakiku sebisa mungkin.

Suster Nadia dan Suster Brigitta berusaha menekanku sekuat mungkin. Tubuhku mungkin lemah, aku tidak bisa memberontak terlalu lama dan nafasku sudah tersengal, namun aku tetap berteriak tanpa henti. Kepalaku rasanya hendak pecah karena amarah panas yang mengalir terlalu deras.

Wajah Kepala Biara masuk ke dalam penglihatanku, dia menunduk di atasku. Kedua matanya terlihat mengeras sedang bibirnya menipis. “Aku akan membiusmu lagi kalau kamu tidak bisa mengontrol emosimu.” Katanya tajam.

“Masa bodoh!” Ucapku sama tajamnya. Aku tidak peduli dengan obat itu lagi karena aku sangat yakin mereka akan tetap mengikatku dan mengurungku. Aku tahu aku tidak bisa berbuat banyak, hanya mulutku saja yang bisa bergerak. “Aku akan berbagi denganmu kalau kamu juga mau.”

“Amy.” Tegur Suster Brigitta pelan. Beliau menatapku dengan tatapan sedih namun tetap menahan bahuku dengan berat tubuhnya.

Suster Theresia menatapku sejenak sebelum melambai pada seseorang yang tidak bisa kulihat karena tubuh Suster Brigitta menutupi pandanganku. Seseorang beranjak ke sebelah Suster Nadia dan dia membawa apa yang dikatakan Suster Theresia. Suster itu menyuruh Suster Nadia memegangiku lebih erat karena aku terus berusaha melepaskan diri. Aku mengerang bukan karena merasakan jarum itu menusuk tanganku, namun aku mengerang karena kesal tidak bisa berbuat apa-apa.

Rasa dingin mulai menjalar dari bekas tusukan jarum itu. Perlahan gerakan tubuhku tidak sekuat tadi dan berhenti. Air mata panas mengalir ke pelipisku. Sekeras apa aku marah, memberontak, obat yang mengalir di darahku lebih kuat. Kelopak mataku mulai berat.

***

Samar-samar aku dengar suara-suara ritmis itu lagi walau aku belum membuka kedua mataku. Aku mengabaikannya dan berharap kembali kegelapan sebelum amarahku mulai kembali.

***

Sentuhan lembut di sisi wajahku terasa basah dan hangat. Aku berusaha membuka kedua mataku, namun terasa berat. Sekilas aku hanya bisa melihat sesosok orang di atas wajahku sebelum aku kembali tertidur.

***

Perlahan aku mulai merasakan seluruh tubuhku terbangun. Kedua mataku terbuka perlahan. Langit-langit abu-abu menghiasi pandanganku. Aku menghela nafas berat saat dadaku mulai diisi dengan perasaan yang membebani.

Pujian doa masih terdengar dan saat aku melihat sekelilingku, ada beberapa Pastor dan Suster yang berlutut tak jauh dari kasurku. Melihat mereka aku benar-benar merasa seperti sedang kerasukan setan.

“Aku ingin ke toilet." Suaraku terdengar serak. Doa itu tidak berhenti bahkan tidak goyah sedikit pun. “Halo? Kalian dengar aku?” Aku mengeraskan suaraku. Aku menarik tanganku yang terborgol dan rasa sakit mulai menusuk kulit pergelanganku. Itu cukup membuatku menyadari kalau aku tidak sedang bermimpi dan aku tidak sedang berbicara dalam tidurku. “Haloooo….” Aku yakin suaraku sudah melebihi suara doa mereka, namun tidak ada yang bergerak sedikit pun.

Aku mengerang kesal. “Apa aku harus buang air disini?” Aku menarik-narik tanganku lagi dengan keras karena borgol yang lain tersemat di ranjang besi dan membuat bunyi-bunyian nyaring. “Apa kalian tidak peduli kalau aku berkubang dalam kotoranku sendiri? Hah?!” Teriakku semakin kesal.

Sebenarnya aku tidak terlalu butuh ke toilet, aku hanya ingin keluar dari sini. Di ruangan sempit ini, gumaman doa mereka yang terdengar memantul-mantul membuat bulu kudukku meremang.

“HEI!” Aku berteriak lebih keras, barangkali ada yang mendengarku di luar sana. “KALIAN DENGAR TIDAK? KELUARKAN AKU DAR-” Aku terbatuk-batuk. Tenggorokan sialan!

Kepalaku mulai penuh dengan amarah yang menggelegak. Aku semakin menarik kedua tanganku dengan kuat, bunyi borgol semakin keras juga. Aku tidak peduli pergelanganku sakit, aku hanya ingin keluar dari sini.

“KELUARKAN AKU DARI SINI!” Teriakku lagi. “ATAU AKU AKAN MEMANGGILNYA!”

Gumaman doa itu mulai goyah dan suaranya semakin pelan. Salah seorang Pastor bangkit dari duduknya. Kedua matanya membulat lebar tampak panik hingga tampaknya kerutan di sisi matanya ikut mengencang. “Jangan memanggilnya.”

Jantungku mulai berdetak lebih kencang mengetahui rencanaku berhasil. “Lepaskan aku!” Aku menggoyangkan tubuhku dengan kencang membuat kasur di bawahku berderit. “Atau aku akan benar-benar memanggilnya kemari!”

Kalimat terakhir terbukti ampuh. Pastor itu langsung mendatangiku dengan tergopoh-gopoh. “Jangan! Tu- Tunggu!” Ucapnya panik.

“Pastor!” Seorang Suster bangkit dengan cepat tampak ingin menghentikan Pastor yang ada di hadapanku. “Jangan!” Tegurnya namun Pastor itu tetap berbicara padaku.

“Aku tidak membawa kuncinya. Kepala Biara yang membawanya.”

Suster itu berusaha menarik Pastor itu menjauh dariku. “Kita tidak bisa melepaskannya!”

“Jadi kalian berencana mengikatku selamanya?” Ucapku ketus membuat Suster itu berjengit ngeri. “Astaga! Aku ini tidak kerasukan setan!” Aku mengguncang lenganku lagi. “Lepaskan aku!”

Pastor tadi mulai beranjak tapi Suster itu kembali mencegahnya. “Kalau gadis itu memanggilnya, doa-doa kita sudah tidak akan ampuh lagi.”

“Tap-”

“LEPAS!” Potongku. “SEKARANG!”

Punggung Pastor itu melenting tegak dan dia langsung beranjak ke pintu seolah barusan aku melecutnya. Sejenak aku merasa kasihan padanya. Pastor itu tampak sudah berumur, aku takut kalau-kalau jantungnya tidak kuat. Tapi apa daya? Aku tidak mau terikat di kasur ini lebih lama lagi.

Suster itu menatapku sejenak tampak bimbang sebelum ikut menghilang di balik pintu. Aku mengerang kesal dan kembali menatap langit-langit. Suara gumaman doa masih terdengar walau tidak sekeras tadi karena pendoanya sudah berkurang dua orang. Aku lihat masih ada tiga yang tersisa. Mereka masih menunduk dan melipat tangannya di dadanya. Aku akui mereka sangat hebat masih tetap fokus setelah keributan barusan.

1
🌺Ana╰(^3^)╯🌺
cerita ini benar-benar bisa menenangkan hatiku setelah hari yang berat.
Yue Sid
Gak sabar nunggu kelanjutannya thor, semoga cepat update ya 😊
Mochapeppermint: Thank you 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!