Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Perjalanan Bisnis
Pagi itu, Adara menatap dirinya di cermin dengan perasaan campur aduk. Hari ini ia akan berangkat ke luar kota bersama Arga, sang bos, untuk menghadiri pertemuan bisnis penting. Bagi Adara, perjalanan bisnis ini membawa semacam kegugupan yang tidak biasa. Entah kenapa, perasaan itu berbeda dari biasanya. Mungkin karena ini adalah perjalanan pertama mereka yang akan berlangsung selama beberapa hari. Tentu saja, ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya urusan profesional. Tetapi, entah mengapa, ada sedikit rasa gugup yang tak bisa ia abaikan.
Pukul 7 pagi, Adara sudah tiba di bandara. Ia mengenakan blus putih sederhana dengan blazer hitam, dipadukan dengan celana panjang yang membuat penampilannya terlihat profesional dan rapi. Ia tak mau tampil mencolok dan memilih pakaian yang biasa ia kenakan untuk bekerja. Sesaat kemudian, ia melihat Arga yang berjalan ke arahnya dengan langkah tenang. Mengenakan setelan abu-abu, Arga tampak berwibawa dan memancarkan aura dingin khas seorang CEO yang sukses. Namun, hari itu, tatapannya terlihat sedikit lebih lembut.
“Sudah lama menunggu?” tanyanya sambil tersenyum tipis.
“Tidak, Pak. Baru saja tiba,” jawab Adara, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia tetap menjaga formalitas meskipun mereka hanya berdua di sini.
Perjalanan dengan pesawat berlangsung cukup tenang. Adara mencoba fokus pada materi yang sudah ia siapkan untuk presentasi nanti, tetapi sekali-sekali tatapannya mencuri pandang ke arah Arga yang duduk di sampingnya, sibuk dengan laptopnya. Ia tidak pernah menyangka bahwa bekerja dengan Arga akan membawanya pada berbagai pengalaman baru dan perasaan yang sulit ia definisikan. Arga adalah sosok yang misterius, terkadang dingin, tetapi tak jarang ia menunjukkan sisi yang hangat dan perhatian, terutama pada Adara.
Setelah beberapa jam, mereka tiba di kota tujuan. Dengan sopir perusahaan yang sudah menjemput mereka, mereka langsung menuju hotel tempat pertemuan itu akan diadakan. Adara baru sadar bahwa mereka hanya memesan dua kamar berdekatan, bukan di lantai terpisah. Meskipun ini hal yang biasa dalam perjalanan bisnis, entah mengapa Adara merasa sedikit gugup dengan kenyataan itu.
Di hotel, setelah mengurus proses check-in, Arga mengingatkan Adara tentang jadwal pertemuan yang dimulai pukul tiga sore. "Kita punya beberapa jam untuk beristirahat. Pastikan kamu siap untuk pertemuan nanti," katanya sambil tersenyum.
Adara mengangguk, namun ia merasa ada yang berbeda dalam cara Arga berbicara padanya. Sesuatu yang sulit ia jelaskan tetapi terasa hangat. Ia pun berpisah untuk masuk ke kamarnya sendiri dan beristirahat sejenak.
Tepat pukul tiga, Adara dan Arga tiba di ruang pertemuan. Pertemuan itu dihadiri oleh beberapa pemimpin perusahaan dari berbagai kota. Arga langsung memimpin pembicaraan, dan Adara mengagumi caranya membawa diri di depan para profesional tersebut. Arga adalah pembicara yang karismatik, pandai menjaga alur diskusi, dan tegas dalam mengemukakan pendapatnya. Sementara itu, Adara berusaha fokus pada tugasnya sebagai asisten yang siap dengan semua data yang diperlukan.
Ketika tiba saatnya Adara untuk menyampaikan hasil riset yang telah ia susun, jantungnya berdetak lebih cepat. Di depan ruangan yang penuh dengan orang-orang penting itu, ia berusaha tampil tenang dan percaya diri. Di tengah paparannya, ia melirik ke arah Arga, dan mendapati bosnya menatapnya dengan pandangan penuh perhatian dan… bangga?
Usai presentasi, pertemuan berlanjut dengan sesi tanya jawab. Beberapa kali, Arga mengambil alih pembicaraan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang cukup sulit, seolah ia ingin melindungi Adara dari tekanan berlebihan. Setelah beberapa jam, pertemuan akhirnya selesai dengan hasil yang memuaskan. Mereka berhasil mencapai kesepakatan yang menguntungkan perusahaan.
Saat kembali ke hotel, Adara tak dapat menahan senyum kecilnya. Ini adalah pertemuan besar pertama yang berhasil ia hadiri dengan sukses, dan ia merasa bangga akan pencapaiannya. Namun, ketika mereka tiba di lobi, Arga tiba-tiba berkata, "Bagaimana kalau kita makan malam? Sekedar merayakan sedikit kesuksesan hari ini."
Adara terdiam sejenak, merasa sedikit terkejut dengan undangan tersebut. Namun, ia tak ingin menolak. “Baik, Pak. Saya akan bersiap,” jawabnya dengan senyum canggung.
Di restoran hotel yang mewah, mereka duduk berhadapan. Ini bukan pertemuan formal, tetapi keduanya tetap terjaga dalam sikap profesional. Makanan disajikan dengan elegan, dan obrolan ringan mulai mengalir di antara mereka. Suasana makan malam yang awalnya penuh formalitas perlahan berubah menjadi percakapan yang lebih pribadi.
"Adara, sudah berapa lama kamu bekerja di sini?" tanya Arga, menyelipkan senyum kecil di wajahnya.
“Baru sekitar setahun lebih, Pak. Tapi rasanya, banyak pengalaman yang belum pernah saya alami sebelumnya,” jawab Adara sambil tertawa kecil. Ia berusaha menjaga agar percakapan tetap dalam batas profesional, meskipun hatinya berdebar setiap kali Arga menatapnya.
Namun, ada kehangatan dalam percakapan mereka malam itu yang membuat Adara merasa nyaman. Arga tidak lagi bersikap dingin seperti biasanya. Ia tampak lebih santai, bahkan sesekali tertawa dengan tulus. Ada saat-saat di mana mata mereka bertemu, dan Adara merasa ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka, sesuatu yang hanya bisa dirasakan.
“Ada banyak hal yang perlu kau pelajari, Adara. Tapi aku yakin, kamu adalah orang yang tepat untuk pekerjaan ini. Kamu punya ketekunan dan dedikasi,” kata Arga dengan nada serius, namun tatapannya lembut.
Adara terkejut mendengar pujian itu, dan wajahnya sedikit memerah. "Terima kasih, Pak. Itu banyak berarti bagi saya," jawabnya pelan. Arga hanya tersenyum.
Seusai makan malam, mereka berjalan kembali menuju kamar masing-masing. Di lorong yang sepi, ada keheningan di antara mereka yang membuat suasana terasa sedikit canggung namun mendalam. Di depan pintu kamarnya, Adara berhenti sejenak dan menatap Arga.
"Terima kasih untuk malam ini, Pak. Ini pengalaman yang sangat berharga," ucapnya tulus.
Arga mengangguk. "Terima kasih juga untuk kerja kerasmu, Adara. Tidur yang nyenyak. Besok kita punya hari yang panjang," balas Arga dengan senyuman lembut yang jarang ia tunjukkan.
Sesaat sebelum masuk, Adara menatap kembali ke arah Arga, dan dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia rasakan terhadap bosnya ini. Adakah perasaan yang lebih dari sekadar kekaguman profesional? Atau hanya rasa terima kasih karena telah diberikan kepercayaan? Namun, ia tahu ini bukan saatnya untuk memikirkan hal itu. Lagipula, Arga adalah atasannya, dan ia tidak ingin mengacaukan karirnya hanya karena perasaan yang belum jelas.
Saat berbaring di ranjang kamarnya, Adara memejamkan mata, namun pikirannya terus dipenuhi bayangan Arga. Senyuman lembutnya, tatapan hangatnya, dan kata-kata pujian yang baru saja ia dengar. Meskipun ini hanya perjalanan bisnis, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Hubungan antara ia dan Arga mungkin masih sebatas profesional, tetapi perasaan yang mulai tumbuh itu tampaknya sulit ia abaikan. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Adara membiarkan perasaannya melayang tanpa batas.
Perjalanan bisnis ini bukan hanya soal pekerjaan, melainkan sebuah perjalanan emosional yang membuka pintu-pintu rasa yang selama ini tersembunyi.