Feathers
Degup musik yang keras bukan hanya menggetarkan gendang telingaku, namun getaran itu sanggup menggetarkan dadaku. Kuku-kuku palsu Mikaela yang panjang menusuk kulit pergelangan tanganku saat dia menarikku membelah kerumunan orang-orang yang sedang menari. Tubuh mungilnya yang berada di depanku meliuk-liuk seirama musik yang berdentum. Satu tangannya terangkat ke atas dan terkadang dia menggelengkan kepalanya, mengibaskan rambutnya yang terurai cantik.
Tampaknya tidak hanya aku yang memperhatikan Mikaela, orang-orang yang kami lewati pun langsung memberi jalan pada gadis mungil cantik ini yang menggunakan sayap merah muda berkerlip-kerlip di punggungnya. Namun tak lama jalan itu menutup, membuatku terantuk beberapa orang yang pada akhirnya menggumam atau bahkan mengumpat kesal padaku. Yah, aku tidak bisa apa-apa selain mengikuti langkah-langkah Mikaela dan menubruk sana sini karena cengkraman Mikaela sekuat baut yang masih baru.
Malam ini malam Halloween dan Mikaela mengajakku ke sebuah klub untuk berpesta dengan teman-teman kuliahnya yang tidak kukenal. Awalnya aku tidak mau ikut, namun karena kehadiran Mikaela yang heboh dengan mini dress dan sayapnya yang berkerlip di minimarket tempatku bekerja, membuatku mau tak mau mengikutinya kemari. Memang pada saat itu pekerjaanku sudah selesai dan toko sudah tutup, tapi bukan ini yang aku mau. Aku hanya ingin beristirahat bukannya ke klub malam.
Mikaela adalah peri merah muda mungil cantik dengan rambut yang bergelombang sempurna dan riasan wajah yang memukau. Tampak jelas dia sudah mempersiapkan semuanya dengan baik sebelum datang kemari. Sedangkan aku? Yah, aku kan baru pulang kerja dan hanya memakai pakaian kerjaku, kaus polo berwarna putih. Nama minimarket tercetak jelas di dada kiriku dan punggung belakangku. Mikaela bilang kalau aku tidak perlu mengganti pakaianku, karena pakaianku bisa dibilang kostum yang unik dan tidak akan ada yang mengembariku. Dia mengimbuhkan daripada kostum playboy bunny yang sudah pasaran, pakaianku jauh lebih otentik.
Ha! Dibanding dress mininya yang penuh sequin dengan jahitan desainer yang rapi, pakaianku hanyalah seperti sebuah lap piring yang di cetak masal tanpa adanya QC.
Kini entah kemana dia menarikku, aku juga tidak tahu. Katanya tadi dia ingin bertemu dengan seseorang dan tidak mau menjelaskan lebih lanjut. Aku hanya berharap dia tidak mengajakku merayu cowok yang biasa dilakukannya, karena aku tidak mau menjadi patung canggung di ujung meja.
Akhirnya kami sampai pada bukaan dan menuju ke arah VIP. Dimana kami harus melalui dua orang penjaga yang membukakan garis bertuliskan VIP LOUNGE lalu menaiki beberapa tangga, menuju bilik-bilik kotak yang terlihat mewah. Di setiap bilik ada sebuah tirai kain hitam tembus pandang yang menutupi pandang, ada beberapa yang sengaja dibuka lebar, namun ada yang tertutup rapat.
Orang-orang di dalamnya sibuk berpesta dengan makanan dan minuman yang melimpah di atas mejanya. Bahkan ada wanita-wanita yang menari-nari di atas meja dengan para pria yang mendongak menatap mereka penuh damba. Ada juga yang tampak sedang dalam pembicaraan serius, mereka semua tampak menunduk di atas meja dan membungkukkan bahunya sambil berdiskusi sesuatu.
Aku terlalu sibuk melihat-lihat bilik-bilik itu hingga tidak menyadari Mikaela memelankan langkahnya yang berhenti di bilik yang terakhir. Bilik kesepuluh. Saat aku dan Mikaela sampai di bilik yang tertutup tirai hitam, tiba-tiba perasaanku tidak enak. Entah kenapa disini rasanya jauh lebih gelap dibanding bilik-bilik yang lain. Walau bilik-bilik ini menghadap lantai dansa, namun disini rasanya sangat jauh dari segala keriuhan itu. Walaupun aku mendengar percakapan dan suara tawa nyaring dari balik tirai itu, namun rasanya tetap saja aku bergidik ngeri.
“Halo,” Sapa Mikaela dengan suara centilnya pada dua orang pria yang berjaga di depan bilik itu. Biasanya aku hanya pernah melihat petarung gulat di televisi saja, namun kali ini aku bisa melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Satu pria memiliki potongan rambut buzz cut dengan tato yang menghiasi sisi kepala hingga lehernya. Satu pria lagi lebih besar sudah seperti pegulat sumo yang luar biasa besar. Aku dan Mikaela harus mendongak menatap pria-pria itu. “Aku mau bertemu rahasia.” Lanjut Mikaela santai. Entah Mikaela sudah pernah bertemu mereka sebelumnya atau kedatangannya sudah di tunggu, pria bertato itu langsung menarik kelepak tirai dan memberi jalan, tanpa menunggu Mikaela menyelesaikan kata-katanya.
Mikaela melenggang dengan santai sedang aku masih mengikuti di balik tubuh mungilnya. Percakapan yang tadi kudengar kini terhenti, hanya terdengar suara musik yang masih cukup lantang dari luar. Saat melewati tirai hitam entah kenapa perasaanku tidak enak. Hawa disini terasa berat seolah aku sedang menghirup asap rokok yang tebal, padahal bau rokok disini tidak separah di bawah sana. Tanpa bisa kutahan aku mundur selangkah, namun di punggungku rasanya ada sebuah tembok beton kuat alih-alih sebuah tirai tipis tembus pandang. Merasakan pergerakkanku yang menjauh darinya, cengkraman Mikaela semakin erat. Aku tidak bisa kemana-mana selain menghadapi apa yang di depanku.
Di dalam sini hanya terdapat empat lampu kecil di setiap sudut di langit-langit dan itu hampir tidak cukup untuk menerangi ruangan yang ternyata cukup luas ini. Tanpa aku bisa melihat dengan jelas mereka satu persatu, aku hanya tahu ada enam orang di dalam ruangan ini, pria dan wanita, dan tatapan mereka semua jatuh padaku dan Mikaela.
Bukan, bukan pada kami berdua, tapi hanya padaku. Entah bagaimana aku ‘merasakan’ tatapan mereka secara nyata.
“Aku datang.” Ucap Mikaela sambil mengambil langkah maju, sedangkan aku tetap terpaku di tempatku hingga aku harus membungkuk karena tanganku masih berada di dalam cengkramannya. “Aku mau barangku.” Suara centil Mikaela tadi kini menghilang, tampaknya bukan hanya aku yang merasa tidak nyaman disini.
Seseorang yang lebih dekat denganku yang sosoknya hampir menyerupai pegulat di luar tampak menyeringai. Gigi-giginya entah bagaimana bisa berkilat di bawah cahaya yang sangat minim ini dan dia mengambil satu langkah kedepan.
“Maju satu langkah lagi, aku akan mengirimmu ke neraka.” Ucap seseorang dengan suara berat dan tegas. Cukup membuat kami semua membeku di tempat. Termasuk aku dan Mikaela. Kuku-kukunya menusukku semakin dalam dan dengan perlahan dia mundur selangkah, kembali pada tempatnya.
Suara itu membuat jantungku berdetak lebih cepat dan nafasku memendek. Pengelihatanku agak mengabur dan telapak tanganku mulai basah. Aku sangat yakin ada yang salah. Apa tadi Mikaela memasukkan sesuatu ke minumanku? Tapi aku yakin Mikaela bukan teman yang seperti itu walau dia sendiri sering meminum minuman beralkohol.
Kedua mataku mencari-cari orang yang memberi perintah itu, namun tampaknya tidak ada yang bergerak selain pria bergigi mengkilat tadi. Dia mundur beberapa langkah kebelakang dan kini malah tampak lebih mengerikan seperti pengintai di kegelapan. Saat seorang wanita yang tadi duduk di atas meja, turun dan menyingkir, maka tampaklah seorang pria lagi. Ternyata mereka bertujuh dengan pria itu di antara para pria dan wanita itu.
Sama seperti yang lainnya, aku hampir tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana rupa wajahnya. Hanya garis-garis wajah dan tubuhnya saja. Pria itu pun tampak sebesar pria bergigi mengkilat, hanya saja dia tampak lebih langsing dibanding pria tadi yang agak gempal. Selain itu aku juga merasakan ada sesuatu yang lebih superior darinya dibanding semua orang yang ada disini.
Tawa tersekat Mikaela lah yang memecah keheningan di sini. “Kita… Kita sudah ada perjanjian kan? Kamu nggak lupa kan?” Ujarnya terdengar sangat gugup.
Perjanjian? Perjanjian apa yang Mikaela lakukan dengan pria kasar seperti ini?
Pria itu melambaikan tangannya. “Pulanglah.”
Akhirnya Mikaela melepas tanganku dan dengan berani dia kembali melangkah satu langkah ke depan. “Kita sudah ada perjanjian dan aku sudah membayarnya! Kamu nggak bisa membatalkannya begitu saja!”
“Kamu membawa orang asing kesini.”
Walau dia tidak menyebut namaku, aku tetap tersentak saat yang dia maksudkan adalah aku. Saat aku menoleh pada Mikaela hendak membujuknya agar kami segera pergi, nafasku tersekat saat menyadari apa yang ada di sudut pandanganku. Aku melihat bayangan-bayangan hitam yang besar di belakang orang-orang yang di seberang ruangan. Namun saat aku kembali menoleh ke arah depan, bayangan hitam tadi menghilang. Hanya tembok abu gelap yang berada di belakang mereka.
Apa tadi? Apakah aku terlalu lelah? Tapi aku sangat yakin, bayangan hitam itu seperti benda yang solid, seperti sofa dan meja, tapi…?
“Dia bukan orang asing.” Ucap Mikaela membuatku kembali menoleh padanya, namun kali ini tidak ada bayangan hitam di sudut mataku. “Amy saudaraku.”
Tawa beratnya terdengar menggema. Pria itu memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua sikunya pada lututnya. “Pembohong.” Walaupun nadanya ringan, namun tuduhan itu cukup membuatku menggigil.
“Terserah kamu mau bilang apa.” Mikaela menaikkan dagunya menantang walaupun suaranya jelas-jelas terdengar gemetar. “Aku mau barangku sekarang.”
“Tidak ada barang untukmu.” Pria itu kembali menyandarkan tubuhnya di sofa dan menumpukan kaki jenjangnya di atas kakinya yang lain. “Pulanglah.”
“Tidak! Aku tidak akan pulang tanpa barangku!”
“Pulanglah.” Ujarnya untuk ketiga kalinya, namun kali ini nada suaranya lebih berat seolah dia menekankan untuk terakhir kalinya. “Atau aku sendiri yang membuatmu berpulang.”
Tanpa menunggu Mikaela, aku menariknya dan menyibakkan tirai hitam. Kini giliranku yang menarik Mikaela dengan erat, walau dia berusaha menarik lepas tangannya dariku. “Em! Lepas!” Sentakannya terlalu kuat hingga akhirnya cekalanku lepas darinya. “Aku membutuhkan ini!”
Walau kami masih berada di depan bilik, namun rasanya udara disini lebih segar dan lebih hidup. Aku memejamkan kedua mataku dan menarik nafas panjang menikmati udara ini walau bau asap rokok menggantung berat. Ini lebih baik daripada di dalam bilik tadi yang seolah merenggut nafasku. Perlahan rasa berat yang aneh tadi kini seolah terangkat.
Aku merasakan sentuhan ringan di lenganku. “Em?” Aku membuka kedua mataku dan menoleh melihat Mikaela yang kini menatapku khawatir. “Kamu baik-baik saja? Kamu kelihatan agak pucat.”
Aku mengangguk. “Aku baik-baik saja. Tapi…” Aku melirik ke arah tirai hitam yang tertutup dan merendahkan suaraku. “Kamu… bertransaksi apa?” Tanyaku was-was.
Mikaela menghela nafas panjang dan dia menatapku seolah akhirnya dia harus menghadapi pertanyaan ini dariku. “Ayo, aku ceritakan.” Ujarnya sambil menggamit lenganku dan kami menjauh dari ceruk gelap ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments