Pernikahan yang sudah didepan mata harus batal sepihak karena calon suaminya ternyata sudah menghamili wanita lain, yang merupakan adiknya sendiri, Fauzana harus hidup dalam kesedihan setelah pengkhianatan Erik.
Berharap dukungan keluarga, Fauzana seolah tidak dipedulikan, semua hanya memperdulikan adiknya yang sudah merusak pesta pernikahannya, Apakah yang akan Fauzana lakukan setelah kejadian ini?
Akankah dia bisa kuat menerima takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Lima
Ana menghapus air matanya. Dia kembali tertawa. Menertawai kebodohannya selama ini. Ayah maju dan mendekati putrinya. Memegang kedua bahu sang putri.
"Ana, mungkin ini berat bagimu, Nak. Tapi lebih baik gagal sekarang dari pada nanti saat kamu telah berkeluarga. Cinta itu tak bisa dipaksakan. Kamu harus ikhlas melepaskan Erik untuk Ayu. Mungkin dia bukan jodohmu," ucap Ayah mencoba menghibur.
Kembali Ana tertawa mendengar ucapan ayahnya. Apakah hanya ini yang bisa ayahnya lakukan.
"Jangan takut, Yah. Aku telah ikhlas melepaskan Erik untuk Ayu. Aku juga bersyukur karena Tuhan membukakan mataku sebelum kami menikah. Bagiku Erik tak pantas mendapatkan cintaku yang tulus. Sampah cocoknya dengan sampah!" ucap Ana dengan penuh penekanan.
Mendengar ucapan Ana, tentu saja Ayu tak terima. Dia dikatakan sampah, baginya ini satu penghinaan. Dia menatap kakaknya itu dengan tajam.
"Orang yang kau katakan sampah ini sedang mengandung anak dari tunanganmu. Kau yang pantas dikatakan sampah, karena telah di buang tunanganmu," balas Ayu dengan suara lantang.
Ana bertepuk tangan mendengar ucapan adiknya. Semakin terbuka siapa Erik, semakin kuat hatinya untuk melupakan pria itu. Sudah cukup kebodohannya selama ini.
Ana pikir selama ini dia satu-satunya wanita di hati sang kekasih. Namun, ternyata dia hanyalah salah satunya. Dia pikir selama ini dia ratunya, tapi ternyata Erik banyak selirnya.
"Hebat, sudah sejauh ini ternyata hubungan kalian. Pantas kamu kebelet kawin, karena telah berbadan dua. Semoga kau tak menyesal karena telah melakukan ini padaku. Kalian berdua, semoga tidak akan mendapatkan karma atas perbuatanmu!"
Setelah mengucapkan itu, Ana langsung berjalan masuk ke kamar. Jika dia paksakan tetap berdiri di sana, takut pertahanannya goyah. Dia pasti akan menangis. Dia tak mau terlihat rapuh. Dia harus kuat. Erik tak pantas ditangisi.
Saat ini, Ana justru berterima kasih karena telah dibukakan matanya. Dia dia buta karena cinta. Ternyata pria itu tak pantas dipertahankan. Melakukan perbuatan-perbuatan hina yang hanya pantas dilakukan suami istri.
Ana terduduk di lantai kamar. Akhirnya tangisan gadis itu pecah. Merasa sendiri, tak ada tempat untuk dia mengadu.
"Duhai hati, kamu baik-baik saja'kan? Tidak seharusnya aku pertanyakan itu. Menangis saja. Tak apa menangislah. Kadang tak baik menahan emosi yang seharusnya dikeluarkan. Namun, jika bisa jangan sampai ada yang tahu kamu menangis. Mungkin Tuhan sengaja memisahkan kamu dengannya agar kamu tidak terluka terlalu dalam. Cobalah berprasangka baik atas apa yang terjadi. InsyaAllah akan manis meskipun tak bersama dia yang kamu idamkan selama ini. Barangkali di bagian bumi sana ada seseorang yang mendoakan kamu meskipun tak tahu namamu," gumam Ana dalam hatinya.
Ana masih terus menangis. Dia berharap ini adalah tangisan terakhir untuk pria itu. Ana menangi, hingga dia merasa lelah dan akhirnya tertidur di lantai kamar.
**
Pagi harinya, Ana mandi. Setelah itu tanpa sarapan dan pamitan dia pergi dari rumah. Sebelum ke kantor, dia ingin nyekar ke makam ibunya.
Ana berencana akan meminta pindah dari perusahaan saat ini ke kota yang lebih besar. Beruntung dia telah wisuda. Selama ini gadis itu kuliah sambil kerja. Dia kuliah dengan biaya sendiri.
Ana menyempatkan membeli bunga sebelum ke makam ibunya. Sampai di tempat, dia langsung menuju kuburan sang ibunda. Ana jongkok di samping kuburan itu. Mengusap batu nisan yang bertulis nama ibunya.
"Bu, aku datang lagi. Mungkin setelah ini aku akan jarang mengunjungi ibu. Aku akan pindah ke kota. Apa kabar Ibu di sana. Aku doakan ibu selalu bahagia. Bu, aku sangat merindukanmu. Tanpamu hidup ini begitu sulit. Tak ada tempatku mengadu. Tapi ibu jangan kuatir, aku anak yang kuat. Aku bisa melewati semua ini. Ibu tenang di sana. Aku merindukanmu, ibu."
Tanpa bisa di cegah air mata Ana jatuh membasahi pipinya. Sejak kepergian sang ibu, ayahnya tidak peduli lagi padanya. Apa lagi sejak dia menikah dengan ibunya Ayu.
"Ibu, saat ini putrimu sangat lelah. Bolehkah pinjam hati mu sebentar saja, Bu. Ajarkan aku bagaimana menjadi kuat seperti dirimu, Bu. Hati ini rasanya sakit sekali, Bu. Ingin sekali aku menangis di pangkuan mu dan berkata, Maaf, Bu, aku tak sekuat dirimu."
Tangis Ana makin terdengar. Dadanya terasa sesak. Dia harus menghadapi semua seorang diri. Berharap ayah akan membelanya, tapi itu hanya angannya saja.
Cukup lama Ana menangis. Dia lalu berdiri setelah mengirimkan doa. Rasanya berat meninggalkan makam sang ibu.
Setelah dari makam, Ana langsung ke kantor. Sebenarnya sudah lama dia ditawari untuk kerja di kantor pusat dengan gaji dua kali lipat, tapi dia menolak karena tak mau jauh dari kekasihnya.
Di rumah orang tuanya, tampak Erik dan keluarganya duduk bersama. Ayah ingin pernikahan di percepat. Jika rencananya Ana akan menikah satu bulan lagi, Ayu dipercepat minggu depan.
"Mas, kamu datangi tempat Kak Ana menyewa tenda dan pelaminan, katakan pernikahan dimajukan minggu depan," ucap Ayu.
"Ayu benar, Erik. Sebaiknya pernikahan kalian dipercepat agar tak ada yang curiga jika Ayu sudah hamil sebelum menikah," ujar Ayah.
"Ayah, aku tak enak jika menggunakan semua yang telah di sewa dan dibayar Ana. Bagaimana jika pernikahan ini secara sederhana saja sesuai uang tabungan milikku," ucap Erik.
"Mas, bukankah kamu juga ikut membayar!" seru Ayu.
"Tapi lebih banyak uang Ana. Aku malu jika menggunakan itu semua," balas Erik.
"Kenapa malu? Bukankah Ana itu kakaknya Ayu. Dia tak akan marah. Perhitungan sekali jika dia melarang. Padahal dibatalkan juga, uang tak akan dikembalikan!" seru Ibu.
Mereka berempat berdebat mengenai pemakaian tenda dan pelaminan serta katering yang telah Ana bayar untuk pernikahannya. Walau Erik agak keberatan tapi dia tak bisa membantah keinginan kedua orang tua Ayu.
Saat mereka sedang berunding, Ana pulang. Dia melhat motor Erik terparkir di halaman. Gadis itu menarik napas dalam. Dia tak boleh menghindar, nanti pasti dikira masih mengharapkan pria itu.
Ana melangkahkan kakinya memasuki rumah, bertepatan dengan Ayu yang mengatakan jika pernikahan akan di langsungkan minggu depan.
"Aku mau pernikahan dilangsungkan Minggu depan. Ayah harus mengurus surat pernikahanku secepatnya. Bukankah ayah banyak kenalan di Kantor Urusan Agama itu?" tanya Ayu.
Dada Ana terasa sesak mendengar ucapan Ayu. Bukan karena mendengar pernikahan mereka yang akan dilangsungkan minggu depan, tapi karena mendengar jika ayahnya banyak kenalan di Kantor Urusan Agama. Saat dia minta tolong untuk mengurus pernikahannya kemarin, ayahnya menolak dan dia terpaksa mengurus berdua Erik saja.
Kawin..... kawin.... kawin.... kawin...