Asmaralda, seorang gadis buta yang penuh harapan menikah dengan seorang dokter. Suaminya berjanji kembali setelah bertemu dengan orang tua, tapi tidak kunjung datang. Penantian panjang membuat Asmaralda menghadapi kesulitan hidup, kekecewaan dan keraguan akan cinta sejati. Akankah Asmaralda menemukan kebahagiaan atau terjebak dalam kesepian ???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meindah88, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.16
Pagi yang sejuk, matahari mulai condong sambil menyinari dunia dengan sinar indahnya. Seorang wanita yang tengah mengandung, terbangun dari tidur yang nyenyak. Di keheningan pagi ini, ia merasakan perubahan dalam diri. Terasa ada denyut kehidupan yang baru di dalam perut. Senyum tipis tersungging di wajah cantiknya yang berseri-seri, nampaknya semangat baru telah menggantikan kesedihan setelah ia semalaman larut dalam kenangan masa lalu. Kini, tampaknya ia siap untuk melupakan rasa sakit tersebut dan memulai lembaran baru.
" Ralda, kamu sudah bangun?" terdengar suara Alena, istri Paman, di depan pintu kamar. Ralda merenung sejenak sebelum menjawab, terbayang wajah Paman yang selalu bersikap baik padanya. Sudah beberapa bulan hidup dengan mereka, namun tak pernah sekalipun paman Bram dan istrinya merasa terbebani selama kehadirannya . Mereka menganggap seperti anak kandungnya sendiri. Namun, ia tak bisa bergantung selamanya, setidaknya dia berusaha menjadi sosok mandiri setelah kondisi membaik.
"Ya, sudah bangun, Tante," jawabnya, berusaha mengumpulkan kesadaran akibat baru bangun dari mimpi.
Sementara Paman sedang menunggu di meja makan untuk menyantap hidangan bersama, lalu suara Tante Alena yang terdengar begitu lembut memanggil.
" "Ayo, turun. Kita makan bersama Paman di bawah," ajaknya dengan suara yang lembut.
"Baiklah, Tante. Ralda akan segera bersiap turun," jawabnya sambil mencoba menyembunyikan rasa gugup.
Ralda bisa merasakan ada rasa tegang dan berdebar di dada, meskipun ia tidak yakin mengapa seperti itu.
" Kenapa tiba-tiba saya jadi tegang seperti ini ya? Bukankah saya sudah terbiasa sama mereka. Ataukah ada sesuatu yang ingin direncanakan paman tanpa kuketahui, tapi apa?" batinnya bergelut dihantui rasa penasaran.
Sesaat Ralda menenangkan diri dan merenung sejenak, berharap semuanya akan berjalan dengan lancar nanti.
Bram duduk di meja makan, setia menunggu kedatangan Alena dan Ralda, keponakannya yang sangat disayangi. Kesabaran yang tak ada habisnya diperlihatkan saat berharap mereka akan datang lebih cepat.
" Sambil menatap ke arah pintu kamar, Bram meminta dengan suara penuh kekhawatiran, "Bi, tolong cek istriku dan Ralda di kamar, kenapa mereka belum datang juga?"
Dia tak dapat menahan rasa sabar yang mulai menyelimuti hatinya. Ada kabar gembira yang akan disampaikan oleh Ralda dan Alena.
Sejak mengenal Ralda, kehidupan Bram menjadi lebih berwarna. Tapi kini dia merasa seperti ada sejuta tanya yang belum terjawab. "Apakah Ralda menyukai keputusan saya? Bagaimana kalau ia menolak, apalagi saat ini ia belum melahirkan," pikirnya seorang diri.
Sebuah keputusan yang diambil Bram tiba-tiba membuatnya sedikit ragu.
" Ah, saya harus minta bantuan pada Alena, ia harus membujuk Ralda agar setuju." ucapnya tersenyum tipis, rencananya kali ini harus berhasil.
Tak lama kemudian, kedua wanita yang dinantikan Bram telah muncul. Rasa tidak sabar menggebu dalam dirinya, namun ia berusaha menyembunyikan kegembiraan yang meluap-luap itu.
" Bibi bantu ya, Non," ucap sang Bibi menawarkan diri.
"Terimakasih, Bi," ucap Ralda dengan tulus, sambil menghampiri paman yang sudah duduk di meja makan. Alena, istri pamannya, duduk di samping suaminya dan dengan cermat mulai mengambil makanan kesukaan Bram. Sementara itu, Bibi tidak lupa membantu Ralda mengambil makanan yang diinginkannya. Saat mereka semua duduk dan bersama-sama menikmati hidangan yang telah disajikan, Ralda merasa begitu hangat dan tersentuh oleh kebersamaan mereka yang begitu erat. Keluarga ini tampak begitu utuh dan bahagia, seperti yang selalu Ralda impikan. Rasa rindu pada kehangatan keluarga yang nyaris tak pernah ia rasakan sebelumnya mulai mengepul dalam benak Ralda.
"Ah, betapa bahagianya jika saya bisa menjadi bagian dari keluarga seperti ini, sepanjang hidupku," batin Ralda penuh harap. Tetapi Ralda tahu, dia hanya tamu di rumah pamannya, dan ia tak boleh terlena oleh kebahagiaan yang tak sepenuhnya miliknya. Namun, di balik semua perasaan itu, ada rasa syukur yang tak henti-hentinya mengalir dalam hati Ralda. Dia bersyukur, walaupun sejenak, bisa merasakan indahnya menjadi bagian dari keluarga yang utuh dan bahagia ini.
" Ralda, ada sesuatu yang ingin paman sampaikan," ucap Bram dengan hati-hati, kemudian ia menghela napas sejenak sebelum melanjutkan.
"Semoga saja, apa yang akan paman beritahu ini adalah kabar baik yang dapat membuat kita semua merasa lebih baik." Bram berharap Ralda akan menerima kabar ini dengan hati terbuka, ia mencoba menenangkan hati dan mempersiapkan diri untuk memberikan informasi penting tersebut kepada Ralda. Apakah Ralda akan senang? Atau mungkin malah kecewa? Hanya waktu yang akan menentukan reaksi yang akan diterima Bram setelah menyampaikan kabar.
Terlihat wajah Ralda menegang, kira-kira kabar baik apa yang ingin dikatakan sang paman. Sesekali Alena melirik suaminya, ia pun sangat penasaran dan menanti yang akan dikatakan Bram.
" Ayo, Mas, jangan biarkan kami semakin penasaran," desak Alena dengan mata berbinar, mencoba menenangkan diri sejenak.
"Kabar baik apa yang ingin kamu sampaikan pada kami, Mas? Kami ingin mendengarnya sekarang."
Ada perasaan gembira yang mulai muncul dalam hati Alena, namun ia juga takut mendengar hal yang tak sesuai dengan harapannya. Pikirannya mulai menerawang mencari kemungkinan apa yang sedang terjadi, namun berbagai macam skenario hanya akan membuatnya semakin penasaran. "Apakah ini tentang donor mata Ralda? Ia berharap kabar baik yang akan diterimanya dapat mengubah hidup Ralda menjadi lebih baik dan membawa kebahagiaan baginya dan orang-orang yang ia cintai.
Bram tetap membisu, terhanyut dalam keraguan yang mencekam. Alena, istrinya, menatap tajam, mencari tahu kebenaran yang tak kunjung disampaikan. Rasa ragu itu berkutat dalam dadanya, seakan-akan mempertimbangkan setiap kata yang akan terlontar dari bibirnya. Di balik semua itu, Bram sebenarnya membawa kabar gembira yang ingin dia bagi, namun sesuatu menghambatnya untuk berbicara. Perasaan itu tidak hanya menggantung antara mereka, tapi juga menggantung hati yang menunggu, di tengah ketidakpastian yang mencekam.
" Ekhm," sahutnya mengurangi kecanggungan saat itu.
" Ralda akan dibawah ke luar negeri untuk mendapatkan donor mata," ucapnya pelan namun tegas.
Hening, baik Alena maupun Ralda terdiam membisu menantikan kelanjutan yang akan disampaikan Bram.
" Paman sudah memutuskan untuk sementara waktu, Ralda tinggal di luar negeri demi kesehatan dan bayi dalam kandungannya." imbuhnya lagi.
Tidak ada yang berani membanta termasuk Alena istrinya. Namun, apakah Ralda setuju ?
Alena menatap Ralda yang terlihat bengong seakan tidak percaya. Kabar baik bagi Bram dan istrinya, tapi Ralda belum tentu.
" Nak Ralda setuju kan dengan keputusan Paman?" sahut Alena.
Ralda tertunduk, ia belum bisa memberi jawaban saat ini.
" Ini demi kebaikan kamu, Nak. Paman melakukan ini karena saya sayang sama kamu, Nak. Saya tidak bisa melihat kamu menderita lagi. Ketika anak kamu lahir, pasti dia ingin bermain sama ibunya, iya kan?" Bram mencoba membujuk Ralda agar keputusannya itu tidak ditolak seperti sebelumnya.
" Paman berkata benar nak, Ralda, jangan sia-siakan kesempatan ini." ucap Alena menambahkan.
"Tapi Tante, Paman," suaranya bergetar, mencoba menyembunyikan rasa takut yang menggelayut di hatinya, "bagaimana kalau mataku tidak ada yang cocok dengan donor mata?"
"Ralda, kita harus percaya. Para dokter sudah berusaha mencari yang terbaik untukmu," katanya, berusaha menenangkan.
Ralda menggigit bibirnya, mencoba menguatkan diri.
"Tapi saya takut, Paman. Takut kalau harapan itu hanya ilusi," ucapnya lirih.
Air mata mulai menggenang, refleksi dari ketakutan dan keraguan yang mendalam. Bram bangkit, mendekat dan duduk di samping Ralda. Dengan lembut, ia mengusap punggung keponakannya itu.
"Kita tidak akan tahu sampai kita mencoba, Ralda. Kita harus berjuang," kata Bram, suaranya penuh kelembutan dan kekuatan. Ralda mengangguk, mengambil napas dalam-dalam dan membiarkan rasa takut itu perlahan sirna, digantikan oleh secercah harapan yang baru.