Kembali Ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan s2-nya. Anindya harus dihadapkan masalah yang selama ini disembunyikan Abinya yang ternyata memiliki hutang yang sangat besar dan belum lagi jumlah bunga yang sangat tidak masuk akal.
Kavindra, Pria tampan berusia 34 tahun yang telah memberikan hutang dan disebut sebagai rentenir yang sangat dingin dan tegas yang tidak memberikan toleransi kepada orang yang membuatnya sulit. Kavindra begitu sangat penasaran dengan Anindya yang datang kepadanya meminta toleransi atas hutang Abinya.
Dengan penampilan Anindya yang tertutup dan bahkan wajahnya juga memakai cadar yang membuat jiwa rasa penasaran seorang pemain itu menggebu-gebu.
Situasi yang sulit yang dihadapi gadis lemah itu membuat Kavindra memanfaatkan situasi yang menginginkan Anindya.
Tetapi Anindya meminta syarat untuk dinikahi. Karena walau berkorban demi Abinya dia juga tidak ingin melakukan zina tanpa pernikahan.
Bagaimana hubungan pernikahan Anindya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainuncepenis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7 Pertama Kali Di Rumahnya.
Akhirnya acara pernikahan Anindya dan Kavindra selesai juga yang memang acaranya sangat sederhana yang hanya adanya ijab kabul dan makan-makannya. Anindya juga terus mendapatkan nasehat dari Abinya agar menjadi istri yang baik untuk Kavindra.
Walau berat hati tetapi sebagai orang tua harus mengingatkan hal itu. Anindya menjalani proses pernikahan dengan sebaik mungkin yang berusaha untuk ikhlas dalam segalanya dan itu semua adalah pilihannya.
Karena sudah menjadi istri Kavindra yang mau tidak mau Anindya harus ikut ke rumah suaminya. Masih menggunakan pakaian pengantin dan juga masih memakai cadarnya. Dia duduk di dalam mobil bersama dengan Kavindra yang duduk di belakang. Dengan sopir yang melajukan mobil dengan kecepatan santai.
Sejak tadi Anindya hanya diam saja yang tidak memulai pembicaraan apapun dan sementara Kavindra yang tampak disibukkan dengan ponselnya. Kepala Anindya sejak tadi menoleh ke arah jendela, jangan tanya bagaimana gugupnya dirinya.
Dia sekarang sedang di ambang pasrah yang penting apa yang akan dia lakukan bukanlah sebuah dosa. Justru adalah pahala karena melayani suaminya dan walau pernikahannya dilakukan dengan cara seperti itu.
"Apa mereka tidak tahu jika aku hari ini menikah. Bisa-bisanya mereka terus saja menggangguku dengan mengirim banyaknya laporan pekerjaan seperti ini. Aku bahkan tidak meminta semua ini," hanya mata Anindya yang bergerak mendengar keluhan dari suaminya itu.
Suara nafas Kavindra yang terdengar menghembus perlahan dan menoleh ke arah Anindya.
"Kau sejak tadi tidak berbicara apapun? Apa kau menyimpan suaramu untuk mendesah nanti malam?" ucapnya dengan sembarangan yang membuat Anindya mengerutkan dahi.
Sungguh telinganya lama-lama benar-benar dinodai oleh Kavindra yang seenaknya mendengarkan hal-hal yang tidak pernah dia dengar. Kavindra terjadikan tidak memiliki pikiran yang bicara asal keluar saja.
"Anindya, walau pekerjaan sangat banyak sekali di depan mata, tetapi aku tidak akan melewatkan malam ini bersamamu. Aku tahu kau terlihat gugup. Tetapi santai saja semua akan baik-baik saja dan akan terasa sangat menyenangkan yang membuatmu ketagihan," ucapnya yang terdengar begitu berat dan suara itu bahkan memberikan tiupan nafas yang sangat kuat yang mampu membuat bulu kuduk Anindya berdiri.
"Kau akan menjadi milikku," ucapnya yang sekarang sudah berbisik di telinga Anindya yang membuat dia hanya memejamkan mata.
"Huhhhh! Bisa-bisanya aku harus melakukan pernikahan hari ini hanya untuk dirimu. Ini benar-benar sangat membuang waktuku dengan semua hal konyol ini," ucapnya lagi yang tidak henti-hentinya mengeluh.
"Sungguh benar-benar sangat melelahkan, tetapi aku yakin rasa lelah ini akan terbayar dengan pelayanan yang diberikan istriku ini," ucapnya lagi.
"Tuan! bicaralah dengan baik, di dalam mobil ini bukan hanya kita berdua tetapi ada sopir di depan, sangat tidak pantas membicarakan hal yang terlalu intens jika ada orang lain," tegur Anindya yang memang tidak tahan dengan mendengar kata-kata Kavindra enak jidatnya berbicara dan justru dirinya yang malu.
"Hah!" mendengarnya Kavindra menyergah nafas dengan tersenyum miring.
"Pak. Apa Bapak mendengar apa yang kamu bicarakan tadi?" tanya Kavindra yang semakin tidak punya rasa malu.
"Ti--tidak tuan," jawab supir itu dengan cepat yang tidak mungkin tidak mendengar dan hanya pura-pura saja. Bisa habis dirinya jika mengakui.
"Kamu dengar bukan dia tidak mendengar sama sekali dan walaupun dia mendengar atau aku berbicara di depan siapapun, itu adalah hakku dan kamu tidak perlu menasehati ku," ucap Kavindra.
"Tetapi dalam berbicara ada etika dan sopan santun, kita harus bisa menentukan apa yang kita bicarakan dengan situasi yang ada dan bukan hanya asal keluar begitu saja," ucap Anindya.
"Kenapa kau suka sekali berdebat denganku dan suka sekali menggurui ku," sahut Kavindra.
"Maaf tuan! Jika apa yang saya katakan terdengar sangat menggurui, tetapi sungguh saya tidak bermaksud apapun sama sekali. Saya hanya merasa kurang pantas dengan kata-kata yang tuan keluarkan dan jujur saya sendiri yang merasa malu," jawabnya.
"Kau pikir aku peduli," sahut Kavindra dengan menghela nafas. Istrinya kebanyakan diam dan sekalinya berbicara justru menasihatinya. Hal itu jelas saja membuat Kavindra kesal dan merasa konyol.
Akhirnya untuk pertama kali Anindya menginjakkan kakinya di kediaman suaminya. Pintu mobil yang di bukakan pengawal. Anindya dan Kavindra yang sama-sama keluar dari mobil. Rumah mew dengan bangunan klasik Eropa itu terlihat begitu luas deng berstelan jas rapi berdiri tegak di depan rumahnya dan juga di sekitar rumah yang mengawasi rumah tersebut.
Tiba-tiba seorang pelayan wanita dengan memakai pakaian hitam menghampiri Anindya dan Kavindra.
"Tuan!" sapa wanita itu dengan menundukkan kepala.
"Bawa dia masuk!" titah Kavindra.
"Baik tuan!" ucap pelayan itu.
"Mari. Nona!" ucap pelayan dengan sangat ramah mempersilahkan yang membuat Anindya menganggukkan kepala dan mengikut saja.
Akhirnya mereka memasuki rumah yang pasti di tuntun oleh Bibi. Koper Anindya juga dibantu oleh pelayan yang lain yang mengantarkan ke dalam kamar.
Akhirnya Anindya sampai juga ke dalam kamar yang cukup luas itu. Dengan tempat tidur king size, yang terdapat lemari yang cukup besar, ada juga rooftop di kamar tersebut dan ada sofa dan televisi dan masih banyak pernak-pernik lain.
Kepala Anindya berkeliling melihat isi kamar tersebut yang memang bukan kamar pengantin baru seperti biasanya yang penuh dengan bunga-bunga. Terlihat polos yang tidak ada hiasan apapun dan bahkan kamar itu seperti tidak pernah dihuni.
"Nona bisa beristirahat di sini, mengeluarkan pakaian Nona memasukkan ke dalam lemari," ucap pelayan yang sekitar berusia 40 tahunan itu berbicara sangat ramah.
"Tidak usah. Biar saja saya yang akan melakukan sendiri," ucap Anindya yang pasti tidak ingin merepotkan siapa-siapa.
"Baiklah kalau begitu. Jika membutuhkan sesuatu bisa memanggil saya. Nama saya. Bi Marni," ucapnya memperkenalkan yang membuat Anindya menganggukkan kepala.
"Oh. Iya Bi. Apa beliau tidak tidur di kamar ini?" tanya Anindya dengan rasa penasaran.
"Maksud Nona, tuan Kavindra?" tanya Bibi yang membuat Anindya menganggukkan kepala.
"Benar! Nona. Tuan Kavindra tidur di kamar utama di dekat kamar ini juga," jawab Bibi.
"Syukurlah! jika aku tidak harus satu kamar dengan dia," batin Anindya yang merasa sedikit lega.
"Kalau begitu saya permisi dulu," ucap Bibi yang pamit membuat Anindya menganggukan kepala.
Anindya menghela nafas yang kembali melihat isi kamar tersebut.
"Aku tidak tahu, sampai kapan dia akan membutuhkanku agar hutang hutang Abi lunas. Aku hanya menyerahkan kepada sang pencipta yang aku percaya semua pasti akan ada jalan terbaik silakan dipermudah," batinnya.
Ceklek.
Anindya terkejut dengan suara pintu kamar yang terbuka begitu cepat yang membuat tubuhnya berbalik badan dan Kavindra yang ternyata memasuki kamar tersebut.
Anindya menjadi semakin gugup yang terlihat kesulitan menelan ludah. Apalagi Kavindra sudah melangkah menghampirinya yang membuat Anindya semakin panik yang tampak tangannya meremas bagian pakaian yang ia kenakan.
"Kenapa? Apa kamu sedikit kecewa dengan kamar ini yang tidak seperti kamar pengantin?" tanyanya.
"Hahhhhh! Aku sangat tidak suka dengan warna-warna seperti itu dan apalagi hal-hal yang terlalu lebay seperti itu. Bagiku yang menjadikan malam itu menjadi penuh kenikmatan bukan berdasarkan dekorasi di dalam kamar. Tetapi bagaimana permainan itu berlangsung," ucapnya yang selalu saja berkata vulgar.
Bersambung ......