"Jamunya Mas," Suara merdu mendayu berjalan lenggak lenggok menawarkan Jamu yang Ia gendong setiap pagi. "Halo Sayang, biasa ya! Buat Mas. Jamu Kuat!" "Eits, Mr, Abang juga dong! Udah ga sabar nih! Jamunya satu ya!" "Marni Sayang, jadi Istri Aa aja ya Neng! Ga usah jualan jamu lagi!" Marni hanya membalas dengan senyuman setiap ratuan dan gombalan para pelanggannya yang setiap hari tak pernah absen menunggu kedatangan dirinya. "Ini, jamunya Mas, Abang, Aa, diminum cepet! Selagi hangat!" Tak lupa senyuman manis Marni yang menggoda membuat setiap pelanggannya yang mayoritas kaum berjakun dibuat meriang atas bawah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rewang
Marni baru pertama kali menginjakkan rumah Bude Sumi. Biasanya hanya melihat dari luar saja. Dan kalaupun ada keperluan dengan Marni memesan Jamu, paling hanya sampai teras rumahnya saja.
"Mar, Bude Makasi loh! Untung tadi Mbak Sri bilang sekarang Kamu tinggal deket sama Mbak Sri, nyaman jualan di pasar?" Bude Sum mengajak Marni duduk dulu sebelum akan bergabung dengan tukang masak.
"Alhamdulillah Bude. Oh ya Bude, Marni bantu apa nih? Tukang masaknya ada?"
"Ada. Tadi ada masalah untung ada Mbak Sri. Mar, Kamu bantuin Bude ya."
Marni menganggukan kepala. "Yuk Ndok, Kita ke belakang saja." Ajak Bude Sri saat melihat tatapan Ipar Bude Sum yang melirik Marni.
"Loh, Dar Kamu udah sampe? Masmu masih diluar. Sudah makan ora?" Bude Sum mengajak Adik Iparnya Darma masuk.
Darma adalah Adik Kandung Suami Bude Sum, Pakde Karto. Darma, yang kesehariannya menjadi Juragan Tambak, memiliki Tambak berhektar-hektar dan terkenal tukang kawin.
"Tadi siapa Mbak?" Darma malah masih memperhatikan Marni yang menuju belakang bersama Bude Sri.
"Yang tadi? Itu Marni, dia mau bantu rewang. Dar bojomu mana? Loh datang kok sendirian?"
"Yang mana Mbak?" Kekeh Darma.
"Makanya punya bojo yang satu saja. Ini kayak koleksi. Masih saja ngelirik Marni. Untung Mas Karto gak kayak Kamu. Tal sunat Manuke kalo berani!" Bude Sum drngan wajah melotot.
"Hahahaha. Mas Karto sih tipe DKI! Lah kalo Aku emoh diatur wedok! Dia rondo apa gadis Mbak?"
"Wes, Kamu yo baru dateng bukannya nanya Mbak sama Mas kabarnya gimana langsung aja matamu lirik yang bening. Istri lagi meteng, dua-duanya kurang toh?"
"Justru lagi meteng Mbak, susah dipake!"
"Awww! Mbak! Heran Aku Mas Karto betah punya bojo galak begini!" Darma mengusap lengannya yang dipukul Bude Sum.
"Wes! Sana! Susul Masmu! Bantuin! Lagi Panen sekalian bawa beras kesini, biar dimasak buat acara besok!"
"Lagi sudah zaman sekarang masih ribet rewangan, pakai katering Mbake!"
"Gayamu! Wes! Pusing Aku ngomong sama Kamu. Makanya Masmu males ya gini dibilangin ada aja jawabannya."
Bude Sum meninggalkan Darma, mau mengecek bagaimana persiapan memasak di belakang.
Bukan Darma namanya kalau tidak penasaran. Melihat Marni sebening dan secantik itu, ditambah body aduhai, pinggul bahenol, depan sebulat tekad, rasanya sayang bagi Darma melewatkan pemandangan indah apalagi kini ada didepan mata.
"Hai, Cantik!"
Marni sedang menggoreng bawang goreng tak menjawab memilih fokus saja menggoreng.
"Duh, serius banget sih! Oh lagi goreng brambang toh! Mau Mas bantuin ga?"
"Mar, ojo diladeni! Bojone loro lagi meteng! Darma! Cepet nyusul Masmu!" Bude Sum segera menarik Darma segera meninggalkan area rewangan.
"Eh, ada Bude Sri. Bude, punya ponakan cantik kenapa ga kebalin ke Aku." Darma menyapa ramah Bude Sri.
"Jangan macam-macam Darma. Kasihan bojomu lagi hamil. Awas ya gangguin Marni! Tak beri!" Bude Sri mengepalkan tangan pada Darma.
"Walah. Galak banget. Padahal kan gapapa Bude kalau Aku mau sama Marni. Laki-laki boleh sampe 4. Lah Aku baru dua!"
"Mana sini kalo berani!" Kali ini Bude Sum yang menjewer Darma.
"Loh! Loh! Iki ono opo toh! Loh Dar, Kamu kapan sampe?"
Pakde Karto rupanya sudah kembali dari lumbung bersama beberapa anak buahnya yang menggotong karungan beras.
"Mas, iki loh bojonya anarkis! Lah wong Aku cuma nguyu kok."
"Mas adekmu ini ganjen ga ketulungan. Istrine dua-dua lagi hamil to mesti masih gombalin Marni keponakan Mbak Sri."
Pakde Karto geleng kepala, "Ikut Mas saja. Kamu yo kalo ngambil Bapak yang bagusnya. Jangan tukang kawinnya."
Bapak Pakde Karto dan Darma, Pak Susilo memang terkenal tukang kawin. Usahanya banyak. Lumbung padi, Sawah dan tambak sekarang yang dikelola Darma dan Pakde Karto juga warisan dari Bapak Mereka.
"Ya Aku kan ga sengaja. Tapi kalau wedoknya mau ya Aku bisa apa toh Mas."
"Ga akan ada habisnya nafsu dituruti Darma! Wes, ikut Mas. Mas mau ngobrol soal tambak." Pakde Karto membawa Adiknya Darma ke dalam rumah.
Marni melihat kejadian tersebut. Rasa kesal dihatinya menjadi. Selalu saja ada kejadian yang membuatnya dalam posisi begini.
"Kamu ini masih gadis apa sudah rondo Mbak?" Salah seorang yang membantu rewang bertanya.
"Saya belum nikah Bude."
"Loh gitu! Mau saja kalau sama si Darma. Wong sugih. Tambaknya luas dimana-mana."
"Maaf Bude tapi Saya bukan perempuan yang silau harta sampe harus jadi madu orang lain."
Jengkel juga Marni. Memang semurahan itukah dirinya sampai harus merebut suami orang lain.
Sejak dulu memang banyak yang menggoda. Marni ibarat bunga yang selalu banyak kumbang datang hendak menghisap madunya.
Namun Marni memang tak pernah meladeni Pria-Pria yang modalnya hanya gombal bahkan berniat mau melecehkan.
Marni juga tidak pernah ada niat menjadi duri dalam daging bagi rumah tangga orang lain.
Kejadian waktu itu membuat Marni semakin menjaga betul dirinya. Jangan sampai ada dan terulang kembali.
"Nduk, lagi apa?" Mata Bude Sri melirik tajam pada wanita yang menanyai Marni. Bude Sri tak suka kalau ada orang yang usil dengan Marni.
"Masih goreng brambang Budw. Taoi ini tinggal sekali lagi. Habis ini Marni ngerjain apa Bude?"
"Nanti bantu Bude bikin bumbu buat ngolah jeroan sapi. Sum minta jeroannya dibuat soto."
"Baik Bude. Marni selesaikan goreng brambang dulu ya."
"Narti koe jangan ngobrol saja. Itu buncis baru segitu yang Kamu siangi." Tegur Bude Sri.
Tak menjawab Narti, wanita yang tadi menanya-nanyai Marni memilih pindah duduk. Sebal ditegur oleh Bude Sri.
"Marni, Mas mau ke tambak dulu ya. Jangan rindu. Rindu itu berat. Biar Mas aja yang rindu sama Kamu."
"Darma!" Pakde Karto meninggikan suara. Adiknya ini memang sulit sekali dinasehati. Ngeyelan. Mata keranjang. Sifat Bapak moyangnya ya turun plek ketiplek ke Darma. Berbeda dengan Pakde Karto yang santun dan setia sampai kini dengan Bude Sum.
"Yo Mas. Aku nurut iki. Dah Marni, Mas jalan dulu ya."
"Darma!" Kini Bude Sum yang angkat suara sambil tolak pinggang melihat sikap ganjen Adik Iparnya.
"Jangan Kamu tanggepin ya Mar. Si Darma emang ora eling. Kelakuannya plek ketiplek almarhum Bapak Mertuaku. Padahal bojone dua lagi meteng tapi kok yo ga tobat-tobat."
Marni tersenyum saja mendengar Bude Sum misuh-misuh mengenai kelakuan Adik tirinya.
"Nduk, ini bumbunya ditumbuk saja. Itu lumpangnya." Bude Sri meminta tolong Marni mengambil lumpang batu yang ada di ujung dekat pintu.
"Ga diblender saja Mbak Sri?" Narti kini angkat suara.
"Gak! Malah bau kabel! Sedep pake tradisional!" Jawab Bude Sri.
Marni menuruti saja permintaan Bude Sri mengambil alat penumbuk yang ditunjuk berada dekat pintu.
Sekilas Marni melirik ke dalam rumah Bude Sum. Betapa kagumnya Marni, banyak sekali barang-barang mewah meski terlihat dari luar biasa saja. Memang sih Rumah Bude Sum sangat besar dan luas.
Tapi mengingat Pakde Karto memiliki hektaran sawah, lumbung padi dan ternak sapi, kerbau dan kambing bahkan ada peternakan ayam dan telurnya juga sering dijual ke kota membuat Marni memaklumi kalau kekayaan Mereka memang berlimpah.