Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 - Ujian
Shalat, berjamaah dan berdekatan dengan orang-orang yang belum pernah dia temui sebelumnya, tepatnya Zain yang baru. Dia sedikit gugup, agak takut karena jujur dia akui, Zain bukan termasuk orang yang taat.
Bukan berarti tidak beragama, Zain punya, tapi memang tidak sebaik itu. Shalat mungkin ada sesekali, jika hatinya terketuk, itu juga di rumah saja. Untuk magrib berjamaah, mungkin baru kali ini. Sesekali dia beribadah di masjid, hari jum'at ataupun sewaktu hari raya.
Tak pernah terencana olehnya jika malam ini akan terjun menjalani kehidupan layaknya orang-orang di lingkungan tersebut. Zain berada di shaf paling depan, tepat di belakang imam karena memang dipaksa cepat oleh sang istri.
Azan belum berkumandang pria itu sudah tiba, jelas saja karena Nadin memburunya. Dengan tujuan awal untuk beribadah, sampai akhirnya usai shalat ketua RT menyadari kehadiran Zain sebagai warga barunya.
Alhasil, kepulangan Zain tertunda kala pria paruh baya itu mempertanyakan tempat tinggal Zain. Dan, di posisi itu Zain merasa lidahnya terlalu kelu untuk berbohong, walau tahu istrinya mungkin akan marah, tapi dengan sangat terpaksa Zain mengatakan.
"Ehm, saya Zain, Pak, warga baru di sini, saya dan istri tinggal di kost depan ... kami baru menikah beberapa hari lalu."
Tanpa kebohongan, dia mengatakan siapa dirinya bahkan kapan menikahnya. "Pengantin baru ternyata," gumam pria itu seraya manggut-manggut, Zain berharap tidak akan ada lagi pertanyaan yang dilontarkan pria itu.
Beruntung, Zain selamat malam ini. Tidak ada pertanyaan mendalam atau semacamnya, sebagai ketua lingkungan, pria bernama yang mengenalkan diri sebagai Mulyadi itu hanya berkenalan singkat, itu saja.
Selesai perbincangan itu, Zain pamit lebih dulu. Dengan langkah tergesa dia perlahan menuruni anak tangga masjid tersebut. Bukan tanpa alasan dia ingin cepat-cepat, tapi perutnya sudah terasa perih karena memang sejak tadi siang belum terisi, sama sekali.
Sialnya, di saat-saat seperti itu, Tuhan seolah menguji imannya yang tidak seberapa itu. Sekali lagi Zain mengelilingkan pandangan, mencari dengan benar dan tenang tanpa mengumpat satu kali saja.
Naas, sendalnya benar-benar hilang. Zain mengusap wajahnya, berusaha menahan napas dan tidak marah hanya karena sendalnya tak lagi berada di sana. "Rasanya tadi di sana, kenapa bisa ditukar sendal jelek begini."
Walau hanya sebuah sendal, jujur saja Zain frustasi. Bukan hanya karena harganya yang mahal, tapi memang penggantinya bisa dikatakan sudah tak layak, warnanya sudah berubah dan Zain taksir usianya mungkin sudah lebih dari 3 tahun.
"Bisa-bisanya, habis ibadah nyolong_ dimana akalnya orang-orang ini?" Pada akhirnya, dia tetap mengomel juga.
Zain menoleh, di dalam masjid masih ada beberapa orang yang kemungkinan sengaja menunggu waktu Isya. Sempat terbesit di benaknya untuk melampiaskan dendam tersebut pada salah-satu sendal yang ada di sana.
Hanya sesaat, setelah itu dia tersadar dan segera mengurungkan niatnya. Tidak apa, mungkin memang harus dia relakan. Walau dengan sangat amat terpaksa, Zain memakai sendal yang sempat dia anggap jelek itu.
Jika ditanya kesal atau tidaknya, jelas saja iya. Sendal itu adalah satu-satunya yang dia bawa ke kost Nadin. Walau perlengkapannya sudah satu koper besar, tapi jelas saja isinya kebanyakan baju, dia juga tidak terpikirkan akan mengalami musibah semacam itu hingga merasa aman hanya dengan membawa satu sendal.
Langkah Zain terasa amat berbeda, kesal sekali rasanya dia mendengar suara ceplak-ceplak dari sandal yang memang berumur itu. Beberapa kali dia berhenti, kemudian lanjut lagi hingga tiba juga di depan pintu kamar kost sang istri.
"Nadin ... aku pulang, bisa tolong bukakan pintunya?" pinta Zain usai mengetuk pintunya tiga kali, sedikit formal seolah bukan bicara pada istri, melainkan atasan.
Berbeda dengan Zain, dari dalam justru terdengar suara melengking Nadin yang memintanya untuk sabar menunggu. Agaknya, ada sesuatu yang dilakukan Nadin hingga dia terdengar panik dan meminta sang suami untuk sedikit lebih sabar.
.
.
"Lama ya? Masuklah." Benar saja, menurut penglihatan Zain, Nadin sepertinya baru saja selesai shalat, wajar saja agak sedikit lama sampai tiga kali,
Zain mengangguk, tanpa banyak tanya kenapa lama atau sebagainya, pria itu segera duduk manis di atas karpet berbulu yang tampaknya memang sengaja digelar Nadin untuknya.
Raut wajah lelah Zain begitu terbaca, Nadin yang melihat hal tersebut seketika menyimpulkan jika lapar adalah sebabnya. Kebetulan sudah dia siapkan, untuk makan malam ini Nadin lebih memilih delivery demi mengutamakan kenyamanan Zain.
Walau demikian, dia masih menatanya di piring saji agar tak terlalu kentara jika beli. Selain itu, dia juga berpikir akan lebih sopan dibandingkan langsung dihidangkan dengan box-nya.
Hal yang dia lakukan sangat sederhana, tapi Zain sampai tak bisa berkata-kata kala sang istri justru dengan senang hati melayaninya, padahal dia sama sekali tidak mengeluh lapar atau semacamnya. Sejenak, pria itu tersenyum simpul dan lupa akan sendal mahal yang raib beberapa saat lalu.
"Gini dulu ya, aku nggak bisa masak, di sini nggak ada alatnya juga."
"Tidak apa-apa, begini saja sudah lebih dari cukup," ucap Zain begitu lembut, jauh berbeda dengan caranya bicara di kampus hingga Nadin merasa tengah bersama dua orang yang berbeda. "Eum maaf merepotkan," lanjutnya lagi.
"Kewajibanku, Mas." Tak terhenti Zain berdecak kagum dengan tindakannya, kali ini ucapan Nadin membuatnya berdesir seketika, sungguh.
Perutnya sempat terasa perih, tapi kali ini hilang begitu saja. Tatapan mereka sempat bertemu, Nadin yang tadi hampir menyuap nasi sontak mengurungkan niatnya kala sadar Zain memandanginya dengan tatapan tak terbaca.
"Kenapa?"
"Mukenamu," ujar Zain tampak sengaja menggantung pembicaraannya.
"Kenapa mukenaku?"
"Bisa lepas dulu tidak? Nanti kotor," tutur Zain yang ternyata membuat hati Nadin terbuka untuk segera beranjak berdiri.
Zain tidak menaruh kecurigaan ataupun ekspetasi kala Nadin berdiri. Semua masih aman-aman saja di awal, hingga tepat ketika Nadin membuka atasan mukenanya, Zain kini dibuat terperanga.
Jika kemarin dia sempat berdegub kala melihat Nadin dengan hijab simple-nya, kali ini jantung pria itu seolah berhenti berdetak sesaat begitu melihat rambut panjang Nadin yang tampak masih lembab itu.
Sekuat hati Zain mencoba mengalihkan pandangan, tapi sialnya ayam goreng di piringnya sekalipun sama sekali tidak mampu menarik perhatian Zain. Masih dengan jantung yang tak aman sama sekali, pria itu meneguk salivanya pahit begitu Nadin kembali duduk berhadapan dengannya.
Sebenarnya bukan kali pertama, sewaktu mereka melakukan video call juga Zain sudah melihat rambutnya. Akan tetapi, jika berhadapan secara langsung begini, kesannya jadi berbeda dan Zain tidak bisa meyimpulkannya.
"Mas kenapa nggak jadi makan?"
"Hm ... makan, ini aku makan," jawabnya secepat kilat mengalihkan pandangan. Mencoba untuk terlihat biasa saja, tapi baru suapan pertama dia sudah tersedak hingga Nadin panik dibuatnya.
.
.
- To Be Continued -
Anet : Jan lupa sawel om dain💃
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"