Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Insiden di toilet.
Aku urung membuka pintu toilet. Rasa penasaran dengan suara yang tidak asing itu membuat langkahku menghampiri sumber suara.
"Kamu tidak seharusnya berada disini. Nanti mama melihatmu, Gladys."
Deg! Tidak salah lagi itu adalah suara Arbian suamiku.
"Kamu tidak berhak melarangku, Arbi. Pengantin itu adalah sahabatku." sahut Gladys. Sepertinya dia keberatan dengan saran Arbian.
"Tapi aku takut nanti mama melihatmu. Kamu tau 'kan sifat mama."
"Apa peduliku. Itu urusan kamu. Harusnya yang kau peringatkan Tante Imel, bukan aku."
"Gladys, ini demi kebaikanmu. Aku hanya mencoba melindungimu." bujuk Arbi lembut. Mencoba meredam kemarahan Gladys karena disuruh pulang. Beberapa saat hening, entah apa yang terjadi didalam sana. Tapi begitu aku mendengar suara desahan, aku paham.
Aku segera berbalik menuju toilet kosong disamping. Kuhempaskan pintu toilet, suaranya yang keras mengagetkan mereka.
"Aku pergi dulu, nanti aku jumpai kamu ditempat biasa." lamat suara Arbi masih terdengar mengurai janji sebelum keluar.
Aku menarik nafas panjang. Menghelanya perlahan.
'Sabar Rania, kamu harus menahan emosi. Jangan pedulikan dia seperti yang sudah-sudah' sesuara hatiku memperingatkan. Yah, aku memang tidak berhak protes akan sikap Arbi. Karena pada dasarnya kami hanyalah pasangan fiktif.
Entah sampai kapan sandiwara ini akan bertahan. Namun, yang jelas sepertinya kesabaranku kian menipis. Aku ingin segera keluar dari permainan gila ini. Hidupku cukup berharga untuk aku perjuangkan. Tapi sebelum aku pergi, ingin rasanya aku membalas perlakuan Arbi selama ini.
Sekedar untuk memberinya pelajaran atas waktuku yang terbuang percuma setahun ini. Dia harus membayar mahal semua pengorbananku. Sudah cukup rasanya aku menuruti permainannya.
Aku keluar dari toilet, bersamaan dengan Gladys. Seketika parasnya berubah merah saat mataku menyorotinya.
Kupikir dia akan melipir pergi dengan rasa malu. Tapi dia malah melangkah dengan penuh percaya diri menghampiriku. Gladys memamerkan senyum licik yang membuatku mendadak mual dan jijik.
"Hai Rania. Apa khabar?" deretan giginya yang putih tersembul saat dia tersenyum lebar.
"Seperti yang Anda lihat." sahutku formal.
"Oh, sepertinya kabar buruk." ejeknya sinis.
"Justru sebaliknya, Anda yang nampak buruk." ucap ku enteng. Paras itu berubah cemberut. Matanya menatapku tajam. Aku cuek saja seraya menyilangkan lengan di dada.
"Apa tidak salah ucap. Bagiku kamu yang tampak buruk. Jadi istri cuma pajangan." sindirnya tajam.
Oh, ya. Mending begitu. Orang taunya aku berkelas. Daripada kamu diumpetin di toilet sekedar pem*as." serangku balik. Mata itu membulat sempurna. Wajahnya pucat pias. Aku berlalu dengan angkuh. Puas melihatnya kena mental.
Bergegas aku melangkah meninggalkan Gladys. Biar saja dia bingung memaknai ucapanku. Entah apa saja laporan Arbi padanya sampai dia berani berucap kalau aku hanyalah istri pajangan.
Huff! Langkahku terhenti karena menabrak seseorang. Seketika tubuhku limbung karena kehilangan keseimbangan. Aku menutup kedua mataku seraya menjerit lirih dan siap-siap terhempas ke lantai. Beberapa saat aku menahan nafas tapi tubuhku serasa melayang.
Aku membuka kedua mataku, menyadari kalau sepasang lengan kekar menahan bobot tubuhku.
"Mbak Rania tidak apa-apa?" ucapan dengan nada khawatir itu menyadarkan ku dari situasi. Sepersekian detik mata kami bersirobok. Ternyata Bastian lah yang aku tabrak. Aku buru-buru berdiri, meminta maaf dan segera berlalu.
Astaga! Ada apa dengan diriku. Kenapa jantungku detaknya tak beraturan? Wajahku terasa kebas karena memerah. Duh, malunya aku. Apa kata dunia nanti, eh kata Bas melihat sikap konyolku.
Ketika tatap kami saling berpaut. Entah kenapa kuingin jadi ikan yang berenang di telaga matanya. Aroma tubuhnya yang maskulin itu sungguh membuatku oleng. Duhai, apa-apaan ini. Aku berusaha menetralisir degup jantungku sebelum bertemu Inang dan Arbi.
Kusambar aqua gelas yang ada di atas meja. Entah milik siapa, yang penting masih disegel. Buru-buru aku menyeruputnya lewat pipet.
"Rania, dari mana saja kamu sayang." aku terbatuk karena kaget mendengar sapaan itu. Tiba-tiba saja Arbian sudah berada dibelakangku.
Arbi menepuk punggungku dan meminta maaf karena telah membuatku kaget.
"Maaf ya sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Darimana saja aku cariin dari tadi."
"Aku tidak apa-apa." sahutku setelah tenang. Diujung sana kulihat Gladys berjalan menuju tempat duduknya. Aku menggamit lengan Arbian. Lalu aku digandengnya berjalan menuju tempat duduk Inang.
Aku yakin Gladys pasti melihat itu. Melihat betapa lembut Arbi memperlakukanku. Meski cuma sandiwara, dia pastinya akan terbakar. Dan karena semua ini hanya sandiwara sekalian saja aku bersikap manja. Toh, Arbi tidak akan curiga dan pastinya akan menuruti kemauanku. Meski samar, aku melihat ekspresi wajah Gladys yang menahan emosi.
Sandiwaraku begitu sempurna, bergelayut manja di lengan Arbi. Sehingga teman-teman ibu mertua menggoda aku dan Arbi. Terlebih saat Arbi memeluk bahuku. Membetulkan poniku yang tergerai di kening. Sudah lebih dari cukup membakar hati Gladys. Buktinya aku melihat dia pergi begitu saja meninggalkan tempat duduknya. Entah pulang atau menghindar.
Aku tersenyum licik. Dan pura-pura terbatuk agar lepas dari lengan kokoh Arbian. Sebenarnya jauh dalam hati aku jengah dipeluk begitu. Mengingat kejadian beberapa menit di toilet itu. Kuhela nafas kasar. Lama-lama aku bisa emosi juga ini mengingat kelakuan Arbian.
"Kamu kenapa?" peka juga ternyata Arbian melihat sikapku yang mendadak berubah. Aku salut betapa pintarnya dia menata hatinya. Sama sekali tidak bersalah dengan kejadian tadi di toilet.
"Aku hanya kesal. Tadi saat di toilet ada pasangan kurang ajar masuk kesana." sindirku.
"Maksudmu?" puas kali aku melihat wajahnya yang salah tingkah. Sekalipun dia bersikap wajar, tapi tadi aku sempat melihat ekspresi kaget disana.
"Iya, tadi saat aku mau ke toilet, aku mendengar desah*n aneh dari kamar sebelah. Entah ngapain saja mereka, sepertinya tidak ada tempat lain saja. Sampai kebelet begitu." Arbian menunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Bisa saja kamu kamu salah dengar."
"Gak lah, desah*n ceweknya terdengar jelas. Sungguh tidak tau malu." kecamku. Rona wajah Arbi berubah-ubah, sikapnya salah tingkah. Puas sekali hatiku melihatnya seperti berdiri diatas bara.
"Oh ya, kita kesana yuk. Ngucapin selamat sama pengantinya. Sekalian hantar kado." Arbian mengalihkan topik. Aku manut saja, terlebih karena ibu mertua juga sudah memberi isyarat.
Kami berjalan beriringan, dan saat itulah ibu mertua melihat sosok Gladys didepan sana tengah berfoto. Aku melihat pandangan tidak suka dari sorot mata ibu mertua.
"Tunggu Arbi! Bentar lagi kita hantar kado."
"Kenapa Ma?" sahut Arbi heran.
"Tuh, si ulet bulu lagi berpose." sentak ibu mertua gusar. Arbian bungkam seribu basa. Ibu mertua kembali duduk di kursi. Aku juga ikutan duduk.
"Sudah, ngapain liat-liat kesana?" sentak ibu mertua tidak bisa meredam rasa kesalnya.
"Sudahlah Ma. Mama kenapa sih kesal terus sama Gladys."
"Karena Mama tau dia itu masih suka godain kamu. Dasar ulet bulu. Awas kamu kalau berani jumpain dia."
"Ya ampun, Ma. Arbi 'kan sudah nikah sama Rania. Gladys itu cuma masa lalu, Arbi." Hampir saja aku terbahak mendengar ucapan Arbi. Dasar lelaki manipulatif. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor