Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Bayangan yang Mengintai
Keheningan yang menguasai gua itu terasa lebih menakutkan daripada kegilaan pertempuran yang baru saja terjadi. Elarya masih berdiri, tubuhnya terhuyung dan lelah, tetapi matanya tetap tajam, penuh waspada. Di sekelilingnya, asap hitam masih berputar-putar, sisa-sisa dari makhluk yang telah hancur oleh kekuatan cahaya yang ia lepaskan. Namun, meskipun ancaman fisik itu telah lenyap, sesuatu yang lebih gelap dan tak terlihat mulai mengintai.
Kael berdiri di sampingnya, menjaga jarak, tetapi tidak pernah melepaskan pandangannya dari Elarya. “Kita menang, Elarya. Tapi kenapa aku merasa ada sesuatu yang belum selesai?”
Lysander, yang lebih berhati-hati, menyapu pandangannya ke sekitar, memeriksa apakah ada ancaman lain. "Kegelapan itu memang hancur, tapi aku juga merasakannya. Sesuatu yang lebih besar... lebih tua mungkin, sedang mengawasi kita."
Tiba-tiba, dari kejauhan, suara lirih terdengar. Itu seperti bisikan, seolah angin yang membawa suara dari masa lalu. Elarya menegakkan tubuhnya, mendengarkan dengan hati-hati. Suara itu bukan berasal dari makhluk yang mereka kalahkan, melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih kuat.
“Kita tak bisa lari dari takdir,” suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, lebih nyata. “Tak ada yang bisa melarikan diri dari bayangan yang menunggu di belakang.”
Elarya merasa tubuhnya membeku. Suara itu seperti menggores langsung ke jantungnya, memunculkan perasaan tak terungkapkan yang sudah lama tersembunyi dalam dirinya. Takdir? Kenapa kata itu terasa begitu berat?
Kael dan Lysander saling bertukar pandang, keduanya merasa ketegangan yang semakin meningkat. Sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, sedang mengintai mereka. Itu bukan hanya masalah makhluk kegelapan atau ancaman fisik, tetapi lebih jauh dari itu—sesuatu yang terkait dengan masa lalu Elarya, dengan asal-usul kekuatan yang ada dalam dirinya.
“Mereka akan datang,” suara itu bergema, kali ini lebih keras, lebih mendalam, merasuk ke dalam setiap serat tubuh Elarya. “Kalian semua akan tahu siapa yang sebenarnya kalian lawan.”
Elarya menggenggam erat tangannya, cahaya yang biasa ia kendalikan kini terasa panas, seperti ada yang memaksanya keluar. Kekuatan itu mendesak, seolah ingin meluap, tetapi ada ketakutan di dalam dirinya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kael merasakan ketegangan yang memancar dari tubuh Elarya. “Elarya… apa yang terjadi?”
Elarya menatapnya, matanya penuh kebingungan dan kecemasan. “Aku… aku merasa seperti ada yang mengendalikan kekuatanku. Seperti bayangan yang tidak bisa kulihat tapi terus menekan.”
Lysander mendekat, berbicara dengan suara rendah namun tegas. “Jangan biarkan itu mengendalikanmu. Kamu adalah penerus cahaya, Elarya. Ingat siapa dirimu.”
Namun, kata-kata Lysander seakan tak cukup. Bayangan itu semakin mendalam, semakin kuat. Dari dalam gua yang sunyi, tiba-tiba, bentuk-bentuk bayangan mulai muncul. Mereka tidak berbentuk makhluk, tetapi lebih seperti sosok-sosok yang bergerak dari dalam kegelapan, seolah-olah mereka adalah bagian dari ruang itu sendiri. Bayangan-bayangan itu memancarkan aura yang mengerikan, sangat berbeda dari makhluk yang baru saja mereka lawan. Mereka jauh lebih halus, lebih terjalin dengan energi yang tidak bisa dijelaskan.
Elarya terengah-engah, merasa terjebak dalam ketakutan yang sangat dalam. Apa ini? Tiba-tiba ia merasa seperti berada di ruang yang sangat sempit, terperangkap oleh kekuatan yang lebih besar dari apapun yang ia bayangkan. Bayangan itu datang bukan hanya untuk mengalahkan tubuhnya, tetapi untuk merusak jiwa dan keberadaannya.
Kael mengangkat tangan, hendak bergerak untuk melindungi Elarya, namun saat ia melangkah, sebuah bayangan menyambar tubuhnya, mendorongnya ke belakang. Kael terjatuh ke tanah, terkejut oleh kekuatan yang tak terlihat itu. "Kael!" teriak Elarya, suaranya pecah. Ia melangkah maju, tapi setiap langkah terasa berat, seperti ada sesuatu yang menahannya, menariknya kembali ke dalam kegelapan.
“Saat cahaya mengelilingi mereka, gelap akan menguasai yang ada di dalam cahaya itu,” bisikan suara itu kembali terdengar, lebih keras kali ini. “Mereka yang terpilih adalah mereka yang akan hancur.”
Tangan Elarya gemetar. Semua yang telah ia pelajari, semua yang telah ia perjuangkan, terasa hancur seiring dengan bayangan yang semakin mendekat. Dia tidak tahu harus bagaimana, tapi cahaya dalam dirinya menuntut untuk dilepaskan. Namun kali ini, ia tahu—ia harus memegang kendali.
Tiba-tiba, sebuah suara lain, lebih kuat dan lebih jelas, menggema dari dalam dirinya. “Elarya, jangan biarkan mereka mengendalikanmu. Kamu adalah cahaya. Jangan pernah lupakan itu.”
Itu suara ayahnya. Suara yang telah lama hilang, namun tetap ada dalam dirinya. Sebuah peringatan yang mengingatkan dia akan kekuatannya. Cahaya yang bukan hanya berasal dari kekuatan luar, tetapi dari dalam hatinya, dari keberanian yang telah tumbuh dalam dirinya.
Dengan sebuah teriakan yang penuh semangat, Elarya menekan tangannya ke dada, merasakan energi yang mengalir semakin kuat. Cahaya itu mengelilinginya, lebih kuat dari sebelumnya, menembus bayangan yang mengancam dan mengangkat tubuhnya kembali.
Lysander dan Kael, yang masih terhuyung, kini bangkit. Mereka melihat Elarya berdiri tegak, tubuhnya bersinar dengan cahaya yang begitu terang, seakan seluruh dunia tertumpu pada kekuatan itu.
"Elarya!" Kael berteriak, suaranya penuh keyakinan. “Kami bersamamu! Kita akan menghadapinya bersama!”
Namun, bayangan itu tidak menyerah. Mereka mulai bergerak, semakin cepat, semakin banyak, seakan mencoba membungkam cahaya yang menyinari mereka. Namun Elarya tahu apa yang harus dilakukan.
Dengan segenap kekuatan yang ada dalam dirinya, Elarya melepaskan cahaya itu. Ia tidak lagi hanya mengendalikan cahaya; ia menyatukannya dengan segala yang ada dalam dirinya—dengan keberanian, dengan rasa cinta yang ia miliki, dan dengan harapan akan masa depan yang lebih baik. Cahaya itu meledak dengan kekuatan yang luar biasa, menerangi gua dengan gemuruh yang memekakkan telinga.
Bayangan-bayangan itu berteriak, mencoba melawan, namun tidak bisa menghindar. Satu per satu mereka hancur oleh cahaya yang begitu murni, sampai akhirnya semuanya menghilang, tak menyisakan apa-apa selain keheningan.
Elarya terjatuh, kelelahan dan hampir tak bisa bergerak. Kael berlari ke sisinya, memegang tangannya dengan lembut. “Kau berhasil, Elarya,” katanya, suaranya penuh kebanggaan dan cinta. “Kau mengalahkan mereka.”
Tapi, meskipun ia merasa lega, Elarya tahu bahwa ini belum berakhir. Apa yang baru saja terjadi? Apa yang sebenarnya telah mereka lawan?
Dengan nafas terengah, ia menatap Kael. “Ada yang lebih besar lagi yang mengintai… Aku bisa merasakannya.”
Lysander menatap mereka berdua dengan serius. “Kita belum selesai. Tapi kita akan menghadapi apa pun itu—bersama.”
Dan dengan itu, mereka melangkah maju, siap menghadapi bayangan yang lebih dalam, yang lebih gelap—takdir yang masih menunggu untuk dibuka.
Keheningan yang menggantung di udara terasa begitu tebal, seolah setiap detik memanjang menjadi momen yang tak berkesudahan. Cahaya Elarya yang bersinar dengan begitu terang telah menghilangkan bayangan-bayangan jahat yang berusaha menyerang mereka. Namun, meskipun musuh fisik itu telah lenyap, perasaan tak menentu tetap menguasai hati mereka. Kejadian ini terasa seperti titik balik yang menandakan bahwa kegelapan yang mereka hadapi bukan sekadar musuh biasa. Itu adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—dan lebih menakutkan.
Elarya terjatuh ke tanah, kelelahan yang sangat. Cahaya di tubuhnya mulai meredup, tetapi masih menyisakan pancaran lembut yang memberi sedikit ketenangan. Namun, rasa sakit di tubuhnya dan keletihan mental membuatnya sulit untuk berdiri.
Kael, yang sebelumnya terjatuh karena kekuatan bayangan yang menghempasnya, kini bergegas mendekat. Wajahnya masih dipenuhi tanda-tanda kelelahan, namun di matanya ada tekad yang kuat, tak tergoyahkan. Ia duduk di sebelah Elarya dan menggenggam tangan Elarya dengan lembut, seakan memberi kekuatan baru padanya.
“Elarya...” Kael berbisik, matanya penuh kekhawatiran. “Kau masih bisa berdiri, bukan? Jangan biarkan dirimu jatuh sekarang.”
Elarya menatap Kael, senyum kecil muncul di bibirnya meskipun lemah. “Aku… aku tidak tahu apa yang baru saja terjadi, Kael. Semua terasa begitu… gelap, meskipun aku sudah mengeluarkan seluruh kekuatanku. Tapi bayangan itu, suara-suara itu… Rasanya seperti ada sesuatu yang masih mengintai di dalam gua ini.”
Lysander yang berada di sebelah mereka, menatap ke dalam kegelapan gua yang tersisa. Matanya tajam, penuh perhitungan, seolah mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Kekuatan itu… Itu bukan sekadar energi jahat. Aku pernah merasakannya sebelumnya, tetapi aku tak pernah mengalaminya sebanyak ini. Sepertinya ada kekuatan yang lebih tua yang sedang kita lawan. Bayangan-bayangan itu… bukan hanya ilusi, mereka berasal dari sesuatu yang lebih dalam.”
Kael mengangguk setuju. “Aku merasakannya juga. Sesuatu yang lebih dalam… lebih jauh dari apa yang bisa kita bayangkan. Seperti sesuatu yang tak bisa kita lihat, tapi terus mengintai dari jauh.”
Elarya menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang semakin berat. Ada perasaan aneh yang menggelayuti jiwanya, seolah-olah kekuatan dalam dirinya mulai meronta untuk keluar, menuntut lebih. Cahaya itu adalah bagian dari dirinya, tetapi seiring berjalannya waktu, ia merasa semakin sulit mengendalikannya. Itu bukan hanya tentang mengalahkan kegelapan luar, tetapi juga tentang memerangi kegelapan yang ada dalam dirinya—kegelapan yang telah tertanam lama, sejak pertama kali segel itu diberikan padanya.
“Lysander, Kael…” suara Elarya terdengar lemah namun penuh dengan keseriusan. “Aku merasa ada yang salah. Kekuatanku… Aku merasa seperti aku tak bisa mengendalikannya lagi. Seperti ada yang menggerakkannya tanpa sepengetahuanku.”
Lysander menatapnya dengan cermat, dan untuk sejenak, wajahnya terlihat khawatir. “Elarya, kau baru saja mengalahkan makhluk yang sangat kuat. Kekuatanmu luar biasa, tetapi kau juga baru saja menyentuh batas dirimu. Cahaya yang ada dalam dirimu adalah kekuatan besar, tetapi kau harus belajar untuk mengendalikannya, untuk mengerti bahwa ini bukan sekadar tentang menghancurkan musuh. Ini tentang memahami dirimu sendiri.”
Kael menggenggam tangan Elarya dengan lebih erat, memberikan kehangatan pada tubuhnya yang lelah. “Kita semua bersama-sama, Elarya. Kau tidak perlu menghadapi ini sendirian.”
Tapi meskipun kata-kata Kael penuh dengan keyakinan, Elarya tahu bahwa perjalanan ini jauh lebih rumit dari yang bisa mereka bayangkan. Mereka semua—termasuk dirinya—belum benar-benar mengerti apa yang mereka hadapi. Kegelapan itu bukan hanya musuh yang bisa dibunuh atau dikalahkan dengan mudah. Ini adalah ancaman yang lebih mendalam, lebih mengakar.
“Kael, Lysander… aku harus menghadapinya,” Elarya berkata dengan suara yang lebih tegas, meskipun tubuhnya masih gemetar. “Aku harus lebih memahami kekuatan ini. Aku harus tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan kegelapan ini, dan kenapa aku selalu merasakannya.”
Lysander mengangguk, matanya penuh dengan rasa hormat dan kekhawatiran. “Jika itu yang kau inginkan, kami akan membantumu. Tetapi kau harus hati-hati, Elarya. Setiap langkahmu bisa menjadi langkah terakhir.”
Kael menatapnya dengan tatapan yang penuh perhatian, lalu berbicara dengan lembut. “Kita akan melalui ini bersama, apapun yang terjadi.”
Dengan kata-kata itu, mereka bertiga melangkah maju, menjelajahi gua yang tampak semakin kosong dan sunyi. Gua itu terasa seperti dunia lain, tempat di mana waktu dan ruang seakan saling bercampur. Namun, meskipun semuanya tampak tenang, Elarya merasakan sesuatu yang berbeda. Suara bisikan itu, suara yang terdengar di dalam pikirannya, semakin jelas. Itu seperti suara yang memanggilnya—mengingatkannya akan sesuatu yang sangat penting.
Mereka melangkah lebih dalam, semakin jauh dari titik pertama pertempuran, dan semakin dekat ke bagian terdalam dari gua yang tampak begitu gelap dan tidak terjamah. Gua itu tampaknya berubah seiring perjalanan mereka, seolah membentuk labirin yang menantang mereka untuk terus maju.
Akhirnya, setelah perjalanan panjang yang penuh ketegangan, mereka tiba di sebuah ruangan besar, luas dan kosong. Dindingnya dipenuhi dengan ukiran-ukiran kuno yang sulit dipahami. Elarya merasakan cahaya dalam dirinya semakin membara, tetapi ia berusaha untuk menahannya, merasa takut jika ia melepaskannya akan membahayakan mereka semua.
Tiba-tiba, suara bisikan itu terdengar lagi, lebih keras dari sebelumnya. “Kalian telah datang jauh… jauh sekali. Tetapi hanya satu yang dapat bertahan. Siapa yang akan bertahan?”
Elarya tertegun. Kata-kata itu seperti mengguncang seluruh eksistensinya. Siapa yang akan bertahan? Apa maksudnya?
“Dengarkan aku, Elarya,” suara itu berlanjut, kali ini lebih jelas. “Kegelapan yang kau hadapi… bukan hanya musuh luar. Itu adalah bagian dari dirimu. Itu adalah takdirmu. Jika kau ingin mengalahkannya, kau harus terlebih dahulu mengalahkan dirimu sendiri.”
Kata-kata itu menusuk dalam, dan Elarya merasa jantungnya berdegup kencang. Apakah itu artinya? Mengalahkan dirinya sendiri? Bagaimana mungkin?
Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, gua itu bergetar hebat. Suatu kekuatan yang lebih besar mulai mengisi udara, dan sebuah bayangan besar muncul di depan mereka. Kali ini, itu bukan sekadar bayangan. Itu adalah sosok—sosok yang tampak seperti diri Elarya, tetapi dengan aura yang gelap dan menakutkan. Sosok itu tersenyum dengan penuh kebencian, matanya berkilat penuh dengan keganasan.
“Kau datang untuk mengalahkan dirimu sendiri, Elarya?” suara itu menggema, terasa seperti suara ribuan bisikan sekaligus. “Saatnya untuk mengetahui siapa yang sebenarnya kau lawan.”
Sosok gelap di hadapan mereka bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, seperti bayangan yang hidup. Elarya terpaku, tubuhnya kaku, matanya terbelalak saat sosok itu semakin mendekat. Sosok tersebut tampak seperti refleksi dirinya, tetapi dengan aura yang kelam, tak terjamah cahaya. Rambut panjang yang biasanya berkilau dalam sinar mentari kini mengalir liar, hitam pekat, dan matanya menyala dengan kebencian yang begitu dalam.
"Apakah kamu benar-benar pikir bisa mengalahkanku?" suara itu bergema, seakan berasal dari dalam kegelapan itu sendiri, membuat hati Elarya berdegup lebih cepat. Sosok itu berbicara dengan nada yang begitu dingin, seolah menguji keberanian Elarya.
Elarya mundur selangkah, namun langkah itu terasa lebih berat daripada sebelumnya. Cahaya di dalam dirinya, yang biasanya mengalir begitu bebas, kini terhenti—tersekat, seakan terkurung oleh bayangan yang menghadangnya. Dia merasa seolah-olah dirinya sedang berhadapan dengan sesuatu yang tak bisa ia pahami, sesuatu yang lebih dari sekadar musuh. Sosok itu—bayangan itu—mewakili bagian dirinya yang selama ini ia sembunyikan, yang selama ini ia coba untuk lupakan.
“Siapa… siapa kamu?” suara Elarya bergetar, meskipun ia berusaha untuk tetap tegar.
“Apakah kamu masih belum paham, Elarya?” Bayangan itu tertawa, dan suara tawanya bergema di seluruh ruangan. “Aku adalah bagian dari dirimu. Kegelapan yang selalu ada, bahkan sebelum segel itu diletakkan di tubuhmu. Aku adalah takdirmu, Elarya. Dan kamu takkan pernah bisa menghindar dariku.”
Kael dan Lysander yang berada di belakang Elarya, merasakan ketegangan yang mencekam. Lysander memegang pedangnya dengan erat, matanya tetap tajam, waspada. “Jangan biarkan dirimu terperangkap dalam ilusi ini, Elarya!” teriaknya, berusaha memberi semangat. “Kita semua di sini bersamamu!”
Kael pun berdiri lebih dekat, menatap dengan penuh perhatian pada Elarya. “Jangan takut. Kami ada di sini. Ini hanya bayangan, bukan dirimu yang sebenarnya.”
Namun, kata-kata mereka seakan tak mampu menembus dinding ketakutan yang mulai menguasai Elarya. Sosok bayangan itu melangkah maju, dan Elarya merasa tubuhnya seolah dihimpit oleh kekuatan tak terlihat. Cahaya dalam dirinya bergejolak, tapi ia tak bisa mengendalikannya. Seiring dengan setiap langkah bayangan itu, cahaya itu semakin pudar, seolah ia tak memiliki cukup kekuatan untuk melawan.
“Kau pikir segel itu akan membebaskanmu dari takdirmu?” Bayangan itu mendekat lebih dekat lagi, suaranya seperti bisikan yang menyusup langsung ke dalam pikiran Elarya. “Kau dan aku adalah satu. Kegelapan dan cahaya itu tak bisa terpisahkan. Apa yang kau coba tutupi, apa yang kau coba lari darinya—semua itu adalah bagian dari dirimu.”
Elarya terhuyung mundur, tetapi langkahnya terasa semakin lambat. “Tidak… Tidak, aku bukan seperti itu…” Kata-kata itu terdengar lemah, bahkan untuk dirinya sendiri. “Aku adalah cahaya. Aku tidak akan menjadi seperti dirimu.”
Bayangan itu berhenti sejenak, lalu mengangkat tangannya. Sebuah angin gelap yang dingin mulai berputar di sekitar Elarya, menarik kekuatan dari dalam tubuhnya, menghisap cahaya yang masih tersisa. “Kamu benar, Elarya. Kamu adalah cahaya. Tapi tahukah kamu apa yang akan terjadi saat cahaya itu mulai memudar? Aku hanya akan kembali lagi, lebih kuat, lebih mendalam. Begitu juga denganmu. Saat cahaya itu meredup, hanya aku yang akan tersisa.”
Suara itu mulai mengisi seluruh ruangan, bergema dan menggema, seakan mencoba menghancurkan ketahanan mental Elarya. Cahaya di tubuhnya semakin lemah, tubuhnya gemetar karena tekanan yang datang dari dalam dan luar. Namun, di tengah-tengah kekosongan itu, ada sesuatu yang bangkit. Sebuah suara, meski lembut, namun tegas, mulai terdengar di dalam hati Elarya.
“Kamu lebih dari ini, Elarya. Cahaya itu ada dalam dirimu karena itu adalah pilihanmu. Jangan biarkan bayangan itu mendefinisikan siapa kamu.”
Itu adalah suara ayahnya. Suara yang penuh dengan harapan dan keyakinan, yang selalu mengingatkannya bahwa ia lebih dari sekadar segel atau takdir yang ditentukan. Elarya menarik napas dalam-dalam. Cahaya itu ada di dalam dirinya, bukan karena takdir, tetapi karena pilihannya. Dia bisa mengendalikan itu.
Mengumpulkan seluruh kekuatan yang masih ada, Elarya menatap bayangan itu dengan mata yang penuh keberanian. “Aku bukan milikmu. Aku adalah milikku sendiri,” katanya dengan suara yang semakin keras, mengusir keraguan yang mencekam. “Cahaya ini akan tetap hidup. Aku akan mengendalikannya.”
Kael dan Lysander memperhatikan dengan seksama, masing-masing bisa merasakan kekuatan yang mulai bangkit dalam diri Elarya. Bayangan itu menatapnya dengan rasa jijik dan kebencian. “Jangan berani untuk melawan takdirmu,” katanya dengan tawa yang mengerikan. “Cahaya itu akan memudar, seperti segala hal yang pernah ada. Tak ada yang bisa selamat dari kegelapan yang abadi.”
Tapi Elarya tidak mundur. Ia menutup matanya sejenak, merasakan aliran cahaya yang mulai terhubung kembali dengan dirinya. Setiap serat tubuhnya bergetar dengan energi yang semakin kuat. Cahaya itu, yang selama ini ia pelihara, kini terasa lebih terang dari sebelumnya—lebih murni, lebih bebas.
“Tidak!” teriak Elarya, dan dengan kekuatan yang sangat besar, ia membuka matanya. Cahaya yang begitu murni dan terang meledak keluar dari tubuhnya, membanjiri seluruh ruangan. Sosok bayangan itu berteriak, berusaha melawan, tetapi tidak bisa menghindar dari ledakan cahaya yang begitu kuat. Bayangan itu mulai menghilang, tertelan oleh cahaya yang begitu kuat.
Namun, meskipun bayangan itu menghilang, Elarya tahu ini bukan akhir dari segalanya. Ini hanyalah permulaan dari perjalanan panjang yang harus ia hadapi—menghadapi kegelapan yang tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam dirinya. Kegelapan itu akan selalu mencoba menguji dirinya, mengingatkan bahwa takdir adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Namun, untuk pertama kalinya, Elarya merasa yakin—bahwa ia adalah pemegang takdirnya sendiri.
Cahaya itu adalah miliknya, dan ia akan mengendalikannya dengan segala kekuatan yang ada di dalam dirinya.