Halwa mencintai Cakar Buana, seorang duda sekaligus prajurit TNI_AD yang ditinggal mati oleh istrinya. Cakar sangat terpukul dan sedih saat kehilangan sang istri.
Halwa berusaha mengejar Cakar Buana, dengan menitip salam lewat ibu maupun adiknya. Cakar muak dengan sikap cari perhatian Halwa, yang dianggapnya mengejar-ngejar dirinya.
Cakar yang masih mencintai almarhumah sang istri yang sama-sama anggota TNI, tidak pernah menganggap Halwa, Halwa tetap dianggapnya perempuan caper dan terlalu percaya diri.
Dua tahun berlalu, rasanya Halwa menyerah. Dia lelah mengejar cinta dan hati sang suami yang dingin. Ketika Halwa tidak lagi memberi perhatian untuknya, Cakar merasa ada yang berbeda.
Apakah yang beda itu?
Yuk kepoin cerita ini hanya di Noveltoon/ Mangatoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Rindu Menyatukan Rasa
Setelah teman-teman Cakar pulang termasuk Sersan Nilam, Halwa segera membersihkan meja sisa suguhan tadi. Kue dan bakwannya tidak bersisa, teman-teman Cakar menyukai bolu pisang dan bakwan yang masih panas itu, bahkan ada beberapa yang bekal bakwan dan bolu pisang untuk di makan di jalan.
Halwa merasa senang, bolu pisang dan bakwan buatan ibu dan dirinya disukai teman-teman Cakar, terlebih bolu dan bakwan itu masih dalam keadaan masih panas dan fresh, jadi wajar mereka langsung menyukainya, entah jika sudah dingin.
"Bu, terimakasih banyak sudah mau bantu Halwa di sini. Halwa jadi merepotkan Ibu. Gara-gara Halwa manggil Ibu ke sini, Ibu jadi tidak buka warung seharian," ucap Halwa merasa bersalah.
"Ngapain sih kamu itu Halwa meski berterimakasih sama Ibu. Masalah tidak jualan sehari, itu tidak masalah. Rezeki masih bisa dicari. Yang penting sudah bisa melihat anak dan menantu akur dan bahagia, ibu sudah senang. Jadi, jangan kamu pikirkan masalah itu."
"Iya, Bu," balas Halwa bahagia mendengar jawaban dari ibunya yang tulus.
"Alhamdulillah, bolu pisang buatan kamu dan bakwan olahan kita, laris manis tanjung kimpul. Mereka semua suka, terlebih kalau masih panas pasti sangat enak, apalagi dibarengi teh tawar yang panas. Mantap," ujar Bu Aminah sangat senang melihat suguhan sederhana buatan mereka berdua habis dan disukai teman-temannya Cakar.
"Iya, Bu, Alhamdulillah. Ini tentu karena ketangkasan tangan Ibu, itu bukan bolu pisang buatan Halwa doang dong Bu, kan resepnya sampai Halwa bisa dan tahu takaran bahannya, itu semua dari Ibu. Jadi bolu pisang tadi merupakan buatan kita," sangkal Halwa.
"Iya, tapi tetap yang olah dan aduk serta memasukkan bahan dalam adonan adalah kamu, ibu hanya masukin ke dalam loyang dan oven. Jadi bolu itu bolu buatan kamu, dan rasanya ini lebih lembut dan legit. Kamu memang mudah pintar kalau ibu ajarkan masak." Bu Aminah balik memuji.
Halwa hanya senyum-senyum merasa malu dapat pujian seperti itu dari ibunya. "Perempuan memang harus begitu Halwa, harus pandai manjain lidah suami biar suami semakin betah di rumah. Eh, ngomong-ngomong, bolu pisang untuk suami kamu sudah kamu sisakan, Halwa?"
"Sudah dong Bu, masa Halwa tidak menyisakan buat suami sendiri." Bu Aminah mengangguk setuju dengan sikap Halwa yang tetap memprioritaskan suaminya.
Tidak mereka sadari, sejak beberapa menit yang lalu, Cakar rupanya sudah berada di belakang mereka. Sehingga Cakar sedikit banyak sudah menguping pembicaraan anak dan ibu itu.
"Bu, di depan sudah ada Helmi menjemput. Terimakasih untuk hari ini, ya. Ibu sudah membantu Halwa mempersiapkan suguhan untuk teman-teman Cakar."
Bu Aminah dan Halwa terkejut beberapa saat, mereka tidak tahu kalau Cakar berada di belakang mereka.
"Helmi? Dia sudah menjemput rupanya. Baiklah kalau begitu, ibu harus kembali takut kesorean. Halwa, Nak Cakar, ibu pulang, ya," pamit Bu Aminah.
"Oh iya, Nak. Ibu mau ngucapin terimakasih sama Nak Cakar, karena Helmi bilang Nak Cakar selalu memberinya uang. Semoga rezeki Nak Cakar sekeluarga kecil ini selalu dilimpahkan oleh Allah serta berkah," ujar Bu Aminah sejenak menahan langkahnya.
"Hanya sedikit uang jajan, Bu, buat Helmi," balas Cakar merasa tidak enak pemberiannya diungkit mertuanya. Bu Aminah tersenyum haru lalu berjalan menuju ruang tamu yang di sana sudah ada Helmi anak bungsunya menunggu.
Sebelum benar-benar pulang, Helmi menghampiri Cakar dan Halwa, dia menyalami kakak dan kakak iparnya. Tidak lupa berterimakasih karena Cakar sudah memberinya uang beberapa kali. Halwa yang mendengarnya merasa terharu, meskipun Cakar yang katanya tidak mencintainya, tapi pada adiknya justru berbaik hati dan memberinya uang jajan.
"Kak, aku pulang dulu," pamit Helmi seraya membalikkan badan, menghampiri ibunya yang sudah lebih dulu berpamitan dan menunggu di dekat motor Helmi yang di parkir.
Bunyi klakson diperdengarkan satu kali, motor Helmi pun pergi meninggalkan kediaman Cakar dan Halwa. Kini tinggal Cakar dan Halwa di rumah itu.
Halwa segera berlalu dari ruang tamu dan kembali ke dapur, membereskan sisa yang belum rapi tadi.
Cakar mengikuti Halwa ke dapur, lalu duduk di kursi meja makan. Halwa belum menyadarinya, karena ia tengah membersihkan loyang sisa membuat bolu pisang tadi.
Cakar terus mengamati perempuan yang masih berusia 22 tahun itu. Halwa terbilang masih muda, tapi diakuinya dia memang cekatan dalam urusan rumah tangga dan masak pun pandai. Benar kata teman-temannya tadi, kalau dibandingkan dengan almarhumah Seli, tentu saja Seli kalah dari segi kecekatan dalam mengurus rumah tangga dan memasak. Meskipun demikian, Cakar merasa teman-temannya tidak adil jika membandingkan Halwa dan Seli.
Halwa dan Seli beda, sebab Seli wanita karir dan sama-sama pekerja di instansi pemerintahan yang sama dengannya. Namun setelah dipikir kembali, Halwa juga bekerja meskipun swasta, tapi dia masih menyempatkan memasak dan mengurus rumah serta beres-beres. Sementara Seli? Saat itu ada asisten rumah tangga di sini, jadi Seli tidak pernah merasakan turun masak atau cuci baju untuk Cakar dan menyetrikanya.
Cakar menghela nafas dalam jika mengenang kembali Seli cinta pertamanya, yang kini hanya tinggal kenangan. Namun namanya masih terpatri di dalam hati Cakar, meskipun sudah ada Halwa di sampingnya.
"Halwa, terimakasih untuk sore ini," ucap Cakar tiba-tiba. Halwa menoleh dengan heran.
"Terimakasih untuk apa, Mas?"
"Untuk jamuannya tadi pada teman-temanku," balas Cakar lagi. Halwa hanya mengangguk seraya sibuk membereskan barang yang sudah dicucinya tadi.
Malam menjelang, Halwa sudah menaiki ranjang dan berbaring dengan menghadap tembok. Hari ini dia nampak lelah setelah seharian berkutat di dapur, apalagi besok dia harus bekerja lalu mendapatkan kabar dari teman sesama make up, bahwa besok dua hari berturut-turut ada job luar salon, itu artinya ada job di tempat pernikahan. Yang otomatis dia juga harus ikut dan siap pulang telat dari biasanya. Maka dari itu Halwa harus segera beristirahat biar besok tubuhnya bugar dan vit.
Baru saja akan merem, sebuah tangan kekar menggerayangi pinggang Halwa, lalu sebuah hembusan nafas menerpa kuat di leher juga telinga Halwa. Halwa seketika membalikkan badan. Didapatinya Cakar sudah berada di di atas permukaan wajahnya menatap dalam wajah Halwa yang sudah lelah.
"Halwa pijat aku dulu, badan aku rasanya pegal," pinta Cakar sembari menatap mata Halwa yang sudah diliputi kabut ngantuk. Halwa bangkit dan menghalau dada Cakar yang menghalanginya.
"Apa, Mas? Kamu mau dipijit? Hoamm," tanya Halwa diakhiri menguap menandakan dia begitu ngantuk.
"Ayolah, sebentar saja," pintanya lagi sembari membaringkan tubuhnya di samping Halwa. Halwa tidak bisa menolak, padahal sebetulnya dia sangat lelah dan ngantuk.
"Baiklah, Mas. Aku buka bajunya dulu." Halwa bangkit dari ranjang lalu meraih minyak zaitun untuk mengurut. Setelah itu ia meraih baju tidur Cakar dan mulai membukanya. Dada bidangnya langsung terekspos.
"Pijatlah sampai betis, aku sangat pegal." Halwa akhirnya membuka juga celana tidur Cakar, tinggal celana boxer yang tersisa.
Halwa mulai membalur dada dan perut Cakar dengan minyak zaitun dan Halwa mulai mengurutnya. Setiap urutan tangan Halwa selalu saja menimbulkan lenguhan di bibir Cakar. Sepertinya Cakar merasa keenakan.
Tiba-tiba Cakar meremas tangan Halwa dan membalik tubuhnya sehingga Halwa kini berada di bawahnya.
"Buka juga baju kamu sayang," pintanya sendu. Ucapan sayang yang baru terdengar sekali ini di telinga Halwa, tiba-tiba saja membawa Halwa melayang di udara.
Cakar sepertinya tidak bisa terkendali lagi, dua hari sakit dua hari juga menahan hasratnya. Kini hasrat itu seakan bergelora, Cakar rindu menyatukan rasa bersama Halwa. Sedalam apapun Cakar menolak mencintai Halwa, akan tetapi Cakar begitu membutuhkan dan mendamba kehangatan tubuh Halwa.
Cakar berhasil membuat Halwa tidak mengantuk lagi dengan berbagai cara. Leher, telinga, termasuk bibir sudah disapu bersih dan diterkam Cakar bagai harimau lapar.
Seperti apapun dinginnya sikap Cakar, tapi Halwa tidak bisa menolak keinginannya, terlebih ia berharap semoga dari pergulatannya kali ini, bisa tumbuh benih yang diharapkan bisa menimbulkan cinta dari Cakar untuknya.
"Uhhhhgggg." Cakar melenguh lega, dari wajahnya terpancar rasa puas dibarengi mata yang terpejam merasakan sebuah rasa yang tidak bisa diceritakan dengan kata-kata.
Setelah semuanya tertumpah dan lega, Cakar tidak segera melepaskan Halwa, dia mendekap dan masih merasakan degupan jantung yang saling menempel. Kedutan itu masih terasa, sehingga Cakar seperti ingin mengulangnya kembali.