Sebenarnya, cinta suamiku untuk siapa? Untuk aku, istri sahnya atau untuk wanita itu yang merupakan cinta pertamanya
-----
Jangan lupa tinggalkan like, komen dan juga vote, jika kalian suka ya.
dilarang plagiat!
happy reading, guys :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Little Rii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit yang ditanggung sendiri.
"Kata orang-orang, menikahlah dengan pasangan yang setara, cinta yang setara, sehingga kamu tidak akan merasakan derita."
--------
Malam semakin larut, tapi Aira tak kunjung tidur juga. Matanya mengantuk, tapi ia merasa tak nyaman dengan perutnya.
Ia berbaring di ranjang, menatap punggung suaminya yang mungkin sudah tertidur pulas dari 1 jam yang lalu.
Aira memilih bangun, lalu duduk di sofa yang ada di kamar. Ia membaringkan tubuhnya di sana, menyingkap baju tidurnya, hingga memperlihatkan perutnya yang masih rata.
Aira mengelus perutnya, berbisik dalam hati agar anaknya selalu baik-baik saja dan sehat.
Rasanya lebih nyaman berbaring di sofa yang tak luas, daripada berbaring di kasur yang luas namun penuh rasa canggung.
Saat matanya mulai tertutup, tiba-tiba saja kepalanya berdenyut nyeri. Ia pun mengubah posisi tidurnya, agar bisa membawa sakit yang ia rasa dalam tidur.
"Ya Allah," gumam Aira lirih sembari mengucek matanya yang berair.
"Lailahaillallah." Aira memilih duduk, lalu memijit pelan kepalanya. Kalau saja ia di rumah orang tuanya, ia pasti sudah memanggil ayahnya untuk memijit kepalanya.
Namun sekarang, Aira harus berjuang sendirian.
Ia akan selalu mengingat, jangan sampai menyusahkan suami dan mertuanya. Berjuanglah sendiri, sampai tubuh benar-benar tak sanggup lagi.
Aira pergi mengambil minyak kayu putih yang ada di atas nakas, lalu kembali ke sofa. Ia membaringkan tubuhnya di sofa, lalu mencium aroma minyak kayu putih.
Matanya yang sangat perih karena mengantuk, akhirnya tertutup juga. Perlahan, kesadarannya pun hilang.
Pukul 3 pagi, Aira terbangun. Ia kembali memijit kepalanya, lalu duduk dan termenung sejenak.
Aira menatap ke arah tempat shalat di sudut kamar, dimana suaminya sedang berdoa setelah shalat malam.
Melihat suaminya berdoa dengan khusyuk, membuat Aira tersenyum sendu. Suaminya selalu tak pernah lupa shalat malam, walau tidak pernah membangunkannya sekalipun.
Entah apa yang sedang diminta suaminya kepada Allah, sampai terkadang mata suaminya berair. Apa mungkin suaminya meminta sebuah kebahagiaan? Atau meminta agar jodohnya bisa di ganti?
Entahlah, tapi yang jelas bukan mendoakan Aira.
Ia yakin itu.
Daripada semakin menimbulkan pemikiran yang buruk tentang suaminya, Aira memilih ikut melaksanakan shalat malam juga, ada banyak yang ingin ia ceritakan pada sang Maha Pengasih, semuanya tentang kisahnya.
Pagi harinya.
Aira kini sudah berada di ruang makan, bersama kedua mertuanya, sembari menunggu yang lainnya datang.
"Aryan, hari ini kamu temenin Aira cek kandungan ya," seru Mama Elisa, menatap Aryan yang sedari tadi sibuk dengan ponsel.
"Mama aja, Aryan lagi ada kerjaan," sahut Aryan tanpa menatap sang ibu.
"Loh, kok gitu sih. Kerjaan itu bisa nanti, Yan, istrimu loh yang penting," celetuk Mama Elisa dengan raut wajah kesal. Melihat situasi mulai tak bagus, apalagi para sanak-saudara mulai bergabung di meja makan, Aira pun langsung menyela.
"Aira sama Mama aja ya. Sekalian kita mampir ke tempat makan waktu itu, udah lama juga kita gak pergi berdua kan," sela Aira membuat Mama Elisa menghela nafas, lalu mengangguk sembari tersenyum.
"Boleh sayang, nanti kita mampir kesana. Mama juga udah lama gak kesana," sahut Mama Elisa. Pembahasan tentang cek kandungan selesai dan semua anggota keluarga sudah berkumpul untuk sarapan.
Selesai sarapan, Aira kembali ke kamar untuk menyiapkan keperluan kerja suaminya.
Saat Aira hendak memasukkan ponsel suaminya ke saku tas kerja, notifikasi pesan muncul di layar kunci.
"Iyan, nanti bicaranya sepulang kamu kerja aja ya. Aku lagi ada urusan di kampus."
Hanya itu yang bisa Aira baca, karena isi pesan terpotong. Namun, Aira tau dari siapa pesan itu, karena tercantum nama 'Nana' disana.
Siapa lagi kalau bukan Diana, mantan pacar Aryan. Yang Aira tau, Diana sedang lanjut S2 hukum. Benar-benar wanita yang berpendidikan dan menarik.
Aira pun meletakkan ponsel suaminya di tempat biasa, lalu memilih mengganti pakaiannya, karena ia akan pergi bersama ibu mertuannya ke rumah sakit nanti.
Mengenai pesan itu, Aira sudah sering melihatnya. Aira tidak tau apakah suaminya masih memilki hubungan khusus dengan Diana, yang Aira tau suaminya masih sering bertemu Diana dan bertukar pesan.
Sakit?
Tentu saja sakit.
Wanita mana yang tak sakit, saat laki-laki yang sedang ia kejar cintanya, menatap wanita lain dengan penuh cinta.
Diana benar-benar wanita yang beruntung.
Setelah berpakaian, Aira keluar dari ruang ganti, lalu menatap suaminya yang sedang menatap ponsel. Suaminya terlihat tersenyum, senyuman tulus yang sangat Aira harapkan selama ini.
Kalau memang Diana kebahagiaannya, kenapa harus ia yang menjadi takdir suaminya?
Beberapa hari kemudian.
Acara keluarga yang dilaksanakan setiap 1 bulan sekali ini tampak berjalan dengan baik. Apalagi dengan kabar kehamilan Aira, smakin menambah suasana haru. Walaupun, masih ada beberapa anggota keluarga yang terus menggunjing Aira secara terang-terangan.
"Iya tau kalau dia pesakitan, tapi, setidaknya sadar diri gitu. Kan bisa cuma bantu-bantu motongin sayur atau nyuci buah. Kalau aja dia dari sononya anak orang kaya, kita maklumi sih, berarti dia di manja. Ini bukan dari keluarga kaya, tapi gayanya udah kayak Nyonya besar. Kita aja kerja, padahal lebih kaya kita daripada dia."
Bukan Aira tak mau kerja atau malas, hanya saja, saat ia masuk ke dapur, sudah pasti langsung ada yang menyuruhnya untuk istirahat saja.
Mau melawan? Mana bisa. Mereka yang atur, Aira yang taati. Status Aira hanya menantu di sini, jadi, ia ikuti saja aturannya.
Tidak apa-apa, toh itu hak mereka mau bicara apa tentangnya. Acaranya juga sudah selesai, meskipun bulan depan akan terulang lagi.
"Gak mau nginep sehari lagi gitu? Mama masih kangen loh sama Aira," seru Mama Elisa. Hari ini, Aryan dan Aira akan kembali pulang, meskipun anggota keluarga lain belum semuanya pulang.
"Gak bisa, Ma. Aryan banyak kerjaan di kantor. Kalau dari sini jaraknya jauh," sahut Aryan memasukkan koper pakaiannya dan Aira ke bagasi mobil.
"Yaudah kamu aja yang pergi, kan kamu yang kerja. Biar Aira di sini aja. Lagipula, kamu juga gak perhatian sama dia," ucap Mama Elisa membuat Aryan hanya terdiam saja.
"Ma, gak boleh gitu. Dimana Aryan tidur, di situ Aira juga tidur. Nanti kan kita bisa ke sana, sesekali. Biarin Aira pulang ya," ujar Papa Heri.
Setelah membujuk dengan berbagai cara, akhirnya Mama Elisa pun mengizinkan Aira pulang.
Di perjalanan.
Aira memilih menutup matanya, tak ingin melihat jalanan yang ramai. Apalagi suaminya mengemudi dengan kecepatan tinggi, membuat kepalanya pusing.
Suara ponsel milik Aryan berbunyi, Aryan pun mengurangi kecepatan mobil, lalu mengangkat panggilan itu.
"Iya, Na?"
Seketika kedua mata Aira kembali terbuka, lalu menoleh ke arah suaminya. Suara suaminya yang lembut saat bicara, membuat hatinya terasa perih.
"Lagi dijalan pulang dari rumah Mama."
Lagi, suaminya menjawab dengan ramah dan juga lembut. Apa itu Diana? Karena tadi ia mendengar suaminya menyebut 'Na'.
"Oke, nanti sore ya. InsyaAllah bakalan kesana, sampein ke tante aku bakalan datang." Setelah mengatakan itu, Aryan pun mengakhiri panggilan.
Laki-laki itu kembali mengemudi dengan fokus dan kecepatan tinggi, tanpa memperdulikan istrinya yang sedang bertarung dengan pikiran buruknya.
Ingin bertanya, tapi Aira merasa ia tak punya hak. Sedari awal, Aryan sudah memperingatinya, bahwa mereka akan hidup dengan dunia masing-masing.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, akhirnya pasangan suami-istri itu pun sampai di rumah.
"Saya ada kerjaan di luar, kamu masuk dan istirahat aja duluan," ujar Aryan mengeluarkan barang bawaan mereka.
Aira pun memegang tangan Aryan, membuat laki-laki itu terkejut.
Sebelumnya, untuk kontak fisik mereka sangat jarang melakukan itu. Palingan kalau ada keadaan darurat saja.
"Kenapa?" tanya Aryan menutup bagasi mobil, setelah mengeluarkan semua barang bawaan.
"Eum, kalau nanti mas gak sibuk, boleh gak sesekali temenin aku cek kandungan," pinta Aira menundukkan kepalanya. Menyentuh Aryan saja sudah membuatnya sangat gugup, apalagi ditambah menatap mata suaminya.
"Iya, nanti saya usahakan." Aira tersenyum manis, lalu melepaskan tangan suaminya.
"Makasih, mas." Aryan mengangguk, lalu masuk ke mobil.
"Hati-hati, mas." Mobil pun melaju, keluar dari pekarangan rumah.
Semoga saja suaminya menepati janjinya.
Malam harinya.
Aryan tak kunjung pulang, padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aira juga sudah mencoba menghubungi ponsel suaminya, tapi tak kunjung diangkat.
Membuat khawatir saja.
"Telepon lagi aja deh," gumam Aira kembali menghubungi nomor telepon suaminya.
Berdering, tapi tak kunjung di angkat. Rasanya ingin menyerah saja, tapi Aira langsung bersemangat saat panggilan sudah terhubung.
"Assalamualaikum, Mas. Mas kenapa belum pulang? Mas gak kenapa-kenapa kan di jalan?" tanya Aira saat panggilan terhubung.
"Wa'alaikumussalam, mbak Aira. Ini aku, Diana. Mas Aryan masih di rumah mama aku, Mbak. Kebetulan lagi ada acara ulang tahunnya mama. Bentar-bantar lagi kayaknya mas Aryan bakalan pulang. Itu dia lagi makan."
Seketika tubuh Aira terasa lemas, matanya terasa memanas dan dadanya terasa sesak. Kenapa Diana bisa memegang ponsel suaminya dengan mudah? Apa benar mereka masih punya hubungan?
"Maaf ya, mbak. Nanti aku kasih tau ke mas Aryan mbak nelpon. Aku tutup ya, mbak, assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam, " balas Aira dengan suara yang tercekat.
"Ya Allah." Aira menyeka air matanya, lalu meletakkan kembali ponselnya di atas nakas.
Aira memilih membaringkan tubuhnya, membawa rasa sakitnya dalam tidur. Mana tau nanti ia bermimpi indah, biarlah mimpi itu menjadi penawar rasa sakitnya.
Aryan udah tobat
padahal bagus ini cerita nya
tapi sepi
apalagi di tempat kami di Kalimantan,
jadi harus kuat kuat iman,jangan suka melamun