Ara adalah seorang personal asisten Garvi, hubungan mereka cukup unik. Terkadang terlihat layaknya kawan sendiri tapi tak jarang bersikap cukup bossy hingga membuat Ara lelah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
empat belas
💙💙💙💙
Ara benar-benar benci harus tetap bekerja di hari pertama datang bulan. Apalagi harus bertemu klien. Ara benar-benar tidak suka. Tapi ia tidak punya pilihan lain karena bosnya sedang kurang sehat. Garvi termasuk yang agak rewel kalau sedang sakit, tidak sembarangan orang mampu menghandle-nya. Apalagi ada kemungkinan sakitnya Garvi mungkin dikarenakan dirinya.
Perasaan bersalah tidak bisa terelakkan. Maka dari itu ia terpaksa harus tetap bekerja dan melupakan nyeri pada perutnya.
Drrrtt Drrtt Drrttt
Ara sedikit panik karena sang atasan tiba-tiba menelponnya. Dengan gerakan buru-buru, ia cepat mengangkat panggilan tersebut.
"Ya, halo, Pak?"
"Saya sudah di depan."
Ara loading sebentar. Sudah di depan itu maksudnya apa? Batinnya bertanya-tanya.
"Zahra? Kamu masih di sana? Bisa kamu keluar sekarang?"
"Tunggu, sebentar, maksud Bapak? Pak Garvi ke kostan saya?"
"Iya. Saya butuh banget ke toilet sekarang. Bisa bantuin saya?"
Mencoba mengabaikan perasaan kaget dan paniknya, Ara langsung berlari keluar kost. Ada perasaan tidak tega saat melihat sang atasan dengan wajah pucatnya. Badan besarnya sedikit membungkuk, sebelah tangannya memegang perutnya.
"Bapak baik-baik saja?" tanya Ara. Sejujurnya ia tidak begitu yakin dengan pertanyaannya sendiri itu, karena kalau melihat penampilan Garvi sekarang, pria itu benar-benar terlihat tidak baik-baik saja, "haruskah saya batalkan meeting hari ini, Pak?" sambungnya kemudian.
Garvi mencoba memaksakan senyumnya lalu menggeleng. "Tidak perlu, kita sudah susah payah buat janji temu, sayang kalau dibatalkan hanya karena saya diare." Ia menatap Ara serius, "Zahra, bisakah kamu membawa saya masuk ke dalam toilet yang ada di dalam?" sambungnya kemudian.
Astaga, hampir saja lupa.
Cepat-cepat Ara kemudian mengajak Garvi masuk ke dalam toilet yang ada di kamarnya. Untung saja kost-annya dilengkapi kamar mandi di dalam. Sehingga Garvi tidak perlu merasa risih. Selama sang bos di dalam kamar mandi, Ara memutuskan untuk membuat teh pahit. Dulu saat ia terserang diare ibu-nya suka membuatkan teh pahit untuknya.
Tak lama Garvi keluar dengan wajah yang semakin terlihat pucat.
"Pak Garvi baik-baik saja?"
Mencoba memaksakan senyumnya, Garvi mengangguk.
Ara kemudian menyerahkan teh buatannya. Garvi terlihat ragu-ragu saat menerimanya.
"Apa ini?"
"Teh pahit, Pak. Dulu kalau saya diare ibu saya suka bikinin kayak gini."
Garvi mengangguk paham. Lalu menerima teh pahit itu, tanpa terlihat ragu-ragu ia langsung meminumnya hingga tandas. Hal ini membuat Ara takjub melihatnya. Bibirnya melongo selama beberapa saat.
Garvi terkekeh samar. "Kenapa?" tanyanya.
Ara menggeleng cepat. "Enggak sih, Pak, kaget dikit. Tahu sih kalau Bapak nggak suka makanan atau minuman yang manis, tapi masa minum teh pait nyantai banget. Nggak kayak lagi minum teh pahit. Emang nggak pahit, Pak?"
"Ya, pahit. Namanya obat bukannya pahit?"
Benar juga sih. Batin Ara menyetujui dalam hati.
"Kamu baik-baik saja?" sambung Garvi tak lama kemudian.
Ara sedikit mengerutkan dahinya heran.
"Periode kamu, Zahra."
"Oh, oke, Pak. Aman."
Ara mengacungkan jempolnya.
"Tapi wajah kamu terlihat sedikit pucat."
Ara langsung membasahi bibirnya. "Ah, ini mah gegara saya belum pake make up. Bentar, saya pake make up dulu, Pak, kalau begitu. Bapak sih pake acara dateng ke sini segala," dumalnya kemudian.
Kini giliran Garvi yang mengerutkan dahi heran. Ekspresinya terlihat seperti seolah sedang bertanya 'bukankah saya sudah cukup sering melihat kamu tanpa memakai make up?'.
💙💙💙💙
Ara akhirnya bisa bernapas lega saat pertemuan dengan klien selesai. Tadi ia benar-benar sempat panik karena sebelum meeting mulai, Garvi sempat bolak-balik ke toilet. Ia bahkan sempat berpikir untuk menyeret pria itu ke rumah sakit detik itu juga. Tapi Garvi dan pendiriannya yang teguh tentu saja susah digoyahkan.
"Mau ke rumah sakit sekarang, Pak?" tawar Ara.
Kini keduanya sudah keluar dari restoran, tempat mereka bertemu klien.
"Kamu butuh?" Garvi balik bertanya.
"Hah? Gimana, Pak?"
"Kamu butuh ke rumah sakit?" ulang Garvi membuat Ara bertambah bingung.
"Lah, Bapak gimana sih? Kan yang sakit Pak Garvi kenapa yang ditanyain saya?"
Garvi tidak membalas dan hanya merespon dengan mengangkat kedua bahunya secara bersamaan.
"Kan kamu juga."
"Saya cuma sedang periode datang bulan, Pak, dan itu normal."
"Saya juga cuma diare dan bukankah normal juga? Lagian saya sudah baik-baik saja, tinggal mules dikit."
Ara langsung mendengus saat merespon kalimat sang atasan. "Bapak lupa tadi pas kita mampir ke kantor, Pak Garvi sempat tepar?"
"Tadi karena saya ngantuk, semalam saya begadang, Zahra." Garvi berdecak samar, "ya sudah lah, ngapain malah debat, nggak usah ke rumah sakit. Ayo, saya antar pulang!"
Reflek Ara melotot ke arah sang atasan. Terkesan tidak sopan memang, tapi itu di luar kuasanya karena ia melakukannya secara spontan.
"Ngapain Bapak mau nganter saya? Saya biasa pulang sendiri kali, Pak."
Garvi mengangkat kedua bahunya. "Anggap saja bonus. Kan hari ini jatahnya kamu cuti."
"Ah, benar, hari ini kan jatahnya saya cuti. Berarti besok saya libur kan, Pak?"
Garvi menghentikan langkah kakinya lalu berbalik menatap sang personal asisten, sebelah alisnya terangkat.
"Balik ke kantor?" tanyanya kemudian.
Ara langsung meringis dan menggeleng panik. "Siap, Pak. Besok saya tetep ngantor."
Garvi terkekeh samar. "Padahal saya cuma bercanda, ya sudah kalau memang masih mau ngantor."
"PAK GARVI!!"
💙💙💙💙
"Mau mampir cari makan du..lu--"
Kalimat Garvi spontan terpotong saat mendapati Ara kini sudah tidur terlelap dengan kepala menyandar pada kaca mobil. Padahal tadi saat ia menyuruh gadis itu untuk tidur, Ara menolaknya mentah-mentah.
Tapi lihatlah sekarang perempuan itu, Ara bahkan sekarang terlihat seakan tidak peduli meski kepalanya sesekali terantuk kaca. Tanpa sadar bibir Garvi membentuk senyuman. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena ia menyadari sesuatu tak lama setelahnya.
Dibangunin kasian, enggak dibangunin, dia yang bingung mau bawa gadis itu gimana masuk kostnya.
Tak ingin ambil pusing, akhirnya Garvi memutuskan untuk membawa gadis itu ke apartemennya. Lagian menurutnya itu lebih aman, mengingat kondisi gadis itu. Kasian juga kalau nanti tengah malam tiba-tiba nyeri perutnya kambuh.
Baru membatin, tidur Ara tiba-tiba terlihat kurang nyaman. Padahal ia baru saja merapihkan selimut gadis itu, berniat pergi untuk membersihkan diri.
Wajah Ara terlihat gelisah dan seperti orang yang sedang menahan sakit. Posisi tidurnya kini meringkuk sambil memegangi perutnya.
Apa mungkin gadis itu sedang mengalami nyeri perut?
"Zahra? Apa perut sakit?" tanya Garvi panik.
"Ssssttttt.... sakit..." rintih Ara dalam tidurnya.
Garvi kebingungan. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Sejauh ini ia tidak pernah menjumpai perempuan seperti Ara, yang mengalami menstruasi seperti yang dialami gadis itu. Jadi ia benar-benar tidak punya pengalaman dalam hal ini.
"Zahra, apa yang harus saya lakukan?" tanya Garvi kebingungan.
"Sakit banget, astagfirullah!"
"Mau ke rumah sakit saja?" tawar Garvi.
"Sakitttttt...."
"Zahra, kamu denger saya atau tidak? Kita ke rumah sakit saja ya?"
"Enggak mau, gue cuma sakit menstruasi, anjir."
Gue?
Apakah sekarang ini Ara sedang tidak sadar kalau yang ada di hadapannya itu bosnya sendiri.
"Lalu saya harus bagaimana? Saya bingung."
"Bantuin elus perut gue."
"Boleh?"
Ara berdecak kesal. "Lo niat nawarin nggak sih?"
"Oke."
Garvi mengangguk paham. Tangannya yang sedikit gemetar terulur ragu-ragu lalu mengelus perut gadis itu. Sedikit memalukan memang, mengingat track recordnya selama ini. Lalu secara ajaib gadis itu kembali terlelap tenang dalam tidurnya. Garvi bahkan sampai membekap mulutnya sendiri saking shocknya.
Wow, kenapa seajaib ini?
Ragu-ragu Garvi menjauhkan tangannya dari perut Ara, hal ini membuat tidur gadis itu kembali terusik. Bahkan Ara kembali merintih samar tak lama setelahnya. Membuat Garvi sempat panik dan cepat-cepat mengelus perut sang personal asisten.
"Ajaib banget. Lucu," komentarnya sambil terkekeh geli.
Silahkan kalau kalian ingin menyebut dirinya gila. Karena kalau dipikir-pikir Garvi setuju juga.
💙💙💙💙
galak² gimanaa.. gitu 😆😂😂