Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Kesibukan Yura yang sudah bekerja, membuatnya jarang sekali berinteraksi dengan Jazil dan juga Irfan terutama di jam tujuh pagi hingga jam lima sore.
Akan tetapi, Yura tetap meluangkan sisa waktunya untuk bercengkrama dengan orang tua angkatnya.
Seperti malam ini. Usai makan malam berakhir, Yura bersama dengan Jazil dan Irfan, saat ini tengah duduk di sebuah ruang Tv yang fungsinya juga sebagai tempat berkumpulnya keluarga.
Mereka mengobrol sembari menikmati acara yang tersaji di balik layar televisi.
Karena ada banyak deadline yang harus di kerjakan, jadi perhatian Yura terbagi antara Jazil, Irfan, dan laptop yang ada di atas pangkuannya.
Sesekali ia menanggapi sang mamah yang sedari tadi menggerutu tidak jelas. Wanita itu sedang mengeluhkan soal Juna yang sudah hampir tiga bulan ini belum juga menghubunginya.
Tentu saja ada rasa khawatir dalam benaknya, takut sekali jika terjadi sesuatu pada putra bungsunya.
"Di doain aja mah, kan di sana emang lokasinya terpencil, mungkin susah sinyal, atau nggak mas Junanya emang sibuk banget" Itu kata Yura. Dia mengatakannya dengan pandangan lurus ke layar laptop.
"Ya tiap hari juga di doain, tapi ini keterlaluan nggak si? Masa sudah tiga bulan nggak ada kabar. Memangnya dia nggak pengin tahu gimana kondisi papa sama mama, apa?
"Mungkin juga memang belum di kasih kesempatan buat telfon rumah sama komandannya, mah"
"Ish, nggak segitunya juga kan, cuma say hallo aja, dah gitu selesai, tutup telfon. Nggak nyampai satu menit" Gerutunya, mencebik sebal. "Mamah tuh takutnya ada apa-apa sama Juna"
"Kalau ada apa-apa pasti keluarga langsung di kabarin, mah" Sambung Irfan dengan santainya.
"Betul itu, mah" Timpal Yura.
"Kalian ini nggak ngerti perasaan mama. Coba jadi mama sebentar saja, atau Yura nanti kalau sudah punya anak, terus si anak nggak ada kabar, pasti cemas juga"
"Tapi mah, waktu itu Zizah bilang katanya mas Juna ada hubungi ustad Zaki, loh"
Jazil terkesiap, memindai wajah Yura yang pandangannya sama sekali tak teralihkan dari layar selebar empat belas inchi. "Masa si sayang? Yakin Zizah bilang gitu?"
"Iya, mah. Udah sekitar sebulan yang lalu si, Zizah bilangnya, tepatnya pas dia datang ke rumah ustad Zaki"
"Kok malah menghubungi ustad Zaki, bukannya telfon mama"
"Enggak tahu, mah. Mungkin ada urusan dengan ustad Zaki, kali"
"Urusan apa? Tumben"
"Hmm" Yura mengedikkan bahunya.
"Anak itu, benar-benar ya. Awas aja nanti kalau telfon, mamah omelin dia"
"Nggak telfon, mamah emosi, giliran telfon malah mau di omelin. Dah mah, doain saja Junanya baik-baik di sana. Anggap saja dia memang sedang di karantina, sedang sibuk-sibuknya, jadi nggak ada waktu buat telfon. Positive thingking saja, okay!" Ujar Irfan, berusaha membuat istrinya tenang.
Alih-alih membalas ucapan sang suami, Jazil malah menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya dengan berat.
Beberapa menit mereka hanya diam dengan fokus sepenuhnya menatap televisi, sebuah ponsel tiba-tiba bersuara.
Dari nada deringnya, bunyi itu berasal dari ponsel milik Jazil.
"Hape mamah yang bunyi ya?" Tanya Yura mengalihkan pandangan pada Jazil.
"Oh, iya. Ponsel mamah bunyi"
"Dimana ponselnya, mah. Biar aku ambilkan" Yura menaruh laptonya di atas sofa kemudian beranjak dari tempat duduknya.
"Ada di dapur, nak. Di atas kulkas kalau nggak salah" Jawab Jazil.
"Mungkin saja itu Juna!" Ucap Irfan menerka.
"Entahlah pah, setiap kali hape mama bunyi, mamah selalu berharap itu dari Juna, tapi ternyata bukan. Kali ini mamah nggak mau menebak-nebak, takut kecewa" Desisnya cuek.
Selang kurang lebih satu menit, Yura kembali dengan membawa benda tipis milik Jazil.
"Dari siapa, nak?"
"Nggak tahu, mah. Vcal ini" Sahut Yura. Ada senyum tersungging di bibir Yura saat menyerahkan ponsel ke tangan mamahnya.
"Siapa si?" Lirih Jazil sambil mengarahkan layar ponsel ke wajahnya.
"Assalamu'alaikum, mah!" Ucap pria dari sebrang telfon.
"Wa'alaikumsalam, Juna!"
"Apa kabar, mah?" Tanyanya lembut.
"Kamu ini, kenapa baru telfon mamah? Kamu nggak tahu gimana cemasnya mamah mikirin kamu karena nggak ada kabar? Udah nggak sayang kamu, sama mamah, hah? Apa kamu mau jadi anak durhaka" Cerocos Jazil tanpa jeda. "Kamu lupa, kalau masih punya orang tua. Buat apa ada hape kalau nggak di fungsikan dengan benar?"
"Maaf, mah. Sibuk banget, sinyalnya juga susah. Ini saja cuma satu strip nih. Nggak ada sinyal sama sekali"
"Kalau sibuk kenapa bisa telfon ustad Zaki?"
"Cuma sebentar doang, mah"
"Sebentar-sebentar, nggak mikir gimana perasaan mama?"
"Ya maaf"
"Ada urusan apa telfon ustad Zaki?"
"Cuma pengin dengar suara Adzan, mah"
"Memangnya di sana nggak ada Adzan?"
"Enggak ada. Sunyi banget disini. Kadang sampai nangis cuma pengin dengar Adzan. Kangen juga sama orang baca Qur'an"
"Sekarang kan Zamannya sudah canggih, bisa dengar lewat ponsel, kan?"
"Beda mah"
"Kamu ini" Jazil berdecak. "Kamu gimana kabarnya? Sehat kan?"
"Alhamdulillah sehat. Mama sendiri gimana sama papah?"
"Baik" Jawab Jazil. Terus menatap wajah Juna yang kusut dan kuyu melalui layar ponsel.
"Yura gimana? Baik juga kan mah?"
"Yura baik-baik saja. Tapi mamah suka kesepian karena adikmu sudah bekerja"
"Kerja di mana?"
"Kerja bareng sama mbak Tita"
"Oh jadi ketrima, dia?"
"Iya, Jun. Anak itu super sibuk sekarang"
"Nggak apa-apa, mah. Kan sekolah memang buat cari kerja"
"Hmm,, perasaan kamu jadi tambah dewasa, Jun?" Selidik Jazil penuh heran.
"Biasa aja. Tambah umur, tambah banyak hal yang harus di fikirkan, harus tambah lebih baik juga"
"Jangan lupa, soal nikah juga harus di fikirkan"
"Mamah tenang saja, doain habis dari sini bisa langsung nikah"
"Jadi kamu sudah punya pacar? Siapa?" Tanya Jazil antusias.
"Mamah ini mau tahu aja"
"Jadi benar-benar nggak mau nikah sama Yura?"
Kalimat Jazil sontak membuat Yura memindai wajah mamahnya. Nggak habis fikir kalau wanita yang ia sayangi masih berharap Juna menikahi dirinya.
"Emang Yura mau nikah sama aku, mah?"
"Enggak mau, mah!" Jawab Yura ikut nimbrung.
"Tuh, kan. Yuranya saja nggak mau, jangan maksa mah"
Jazil mendesah kecewa. "Terserah kamu saja, lah"
Juna tersenyum melihat bagaimana ekspresi Jazil.
"Yura masih suka ngaji, mah?"
"Masih, dong. Dia mah rajin, sesibuk-sibuknya Yura, dia masih menyempatkan diri buat buka mashaf Al-Qur'an. Emangnya kamu, kerjaannya cuma wara wiri kesana kemari"
Lagi-lagi Juna tersenyum melihat mamahnya menggerutu. Jazil tak tahu kalau putranya sudah membiasakan diri membaca Al-Qur'an di tengah-tengah kesibukannya sejak beberapa bulan lalu. Tak hanya membaca, pria itu juga menghafalkannya dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Juna bahkan sudah hafal surah Al-mulk yang jumlahnya ada tiga puluh ayat.
"Oh, ya. Papah mana, mah?" Pria di balik layar ponsel tampak berpindah tempat sambil mengarahkan ponsel ke udara. Bermaksud mencari sinyal yang sesekali hilang timbul.
"Ada nih, lagi duduk di sebelah mamah"
"Arahin kamera ke papa dong!"
Jazilpun langsung menuruti permintaan anaknya.
"Ini, papah sehat, segar bugar, ada anak perempuannya yang selalu perhatian, masakin makanan sehat setiap hari"
"Berarti aku harus makasih sama Yura karena sudah jagain papa sama mamah?"
"Pakai nanya, lagi" Celetuk Jazil.
"Assalamu'alaikum, pah" Sapa Juna ketika mendapati wajah Irfan di layar ponselnya.
"Wa'alaikumsalam. Kamu sehat, nak?"
"Sehat pah"
"Syukur alhamdulillah" Pungkas Irfan lega. "Sesibuk apa, sampai baru sempat telfon mamah kamu? Tahu nggak, tiap hari papa sama Yura harus mendengar ocehannya gara-gara kamu nggak kunjung menelfonnya"
"Ya maaf, pah"
"Baik-baik di sana. Jaga diri, jangan lupa sholat lima waktu"
"Itu pasti pah, insya Allah nggak pernah terlewatkan"
"Oh, ternyata Juna sudah insaf, ya" Seloroh Jazil, menyela.
"Insyaf gimana mah, kan emang sudah rajin sholat dari dulu"
"Sudah nggak bolong-bolong, kan?"
Juna tersenyum meringis. "Insya Allah, mah. Doain terus supaya tobatnya nasuha, ya mah"
"Selalu setiap hari mamah doain anak-anak mamah"
"Rajin-rajin kabarin mamah juga, minimal pesan suara, Jun. Biar mamah nggak naik tensinya" Sambar Irfan, yang langsung mendapat cubitan lembut di pahanya dari tangan sang istri.
"Mah, pah, sudah dulu, ya. Waktu istirahatku sudah habis. Besok-besok telfon lagi"
"Besoknya kapan? Apa tiga bulan lagi?"
"Ya pokoknya kalau sela aku telfon"
"Ya sudah, hati-hati. Jaga diri baik-baik"
"Iya, mah. Salam buat Yura, ya"
"Ya, Yura sudah dengar sendiri dapat salam darimu"
"Okay, assalamu'alaikum, mah, pah!"
"Wa'alaikumsalam" Balas Jazil dan Irfan kompak.
Tidak dengan Yura, sebab dia tengah sibuk menormalkan debaran di dadanya.
Mendapat salam dari Juna, entah kenapa jantungnya seketika berdesir.
Yura mengira, mungkin karena pria itu mengatakannya dengan nada sangat lembut, jadinya dia terbawa perasaan. Pasalnya selama ini kan Juna selalu berkata dengan nada tak suka, kasar, dingin, ketus, dan juga datar, sedatar raut wajahnya yang terkesan penuh penegasan serta keangkuhan.
Bersambung
Malik ntar poligami
tp sy msh gregetan sm yura yg ga peka sm keinginan orang tuay dan juna jg ga trs terang sm yura klu dia suka...klu yura sdh tunangan sdh ga ada harapan buat juna...s.g aja ga jd khitbahy
ayo Thor lanjut lagi
ntar lama2 jd cinta..
lanjut mbak ane
yura kurang peka terhadap keinginan jazil, kurang peka dg perubahan juna dan kurang peka sama perasaan sendiri
yuk kak lanjut lagi
thanks author semangat ya berkarya