Felicia, seorang mahasiswi yang terjebak dalam hutang keluarganya, dipaksa bekerja untuk Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam, sebagai jaminan pembayaran utang. Seiring waktu, Felicia mulai melihat sisi manusiawi Pak Rangga, dan perasaan antara kebencian dan kasih sayang mulai tumbuh di dalam dirinya.
Terjebak dalam dilema moral, Felicia akhirnya memilih untuk menikah dengan Pak Rangga demi melindungi keluarganya. Pernikahan ini bukan hanya tentang menyelesaikan masalah utang, tetapi juga pengorbanan besar untuk kebebasan. Meskipun kehidupannya berubah, Felicia bertekad untuk mengungkapkan kejahatan Pak Rangga dan mencari kebebasan sejati, sambil membangun hubungan yang lebih baik dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Jarak yang Mencair
Kediaman tua Rangga bergema dengan energi yang senyap, kontras dengan badai yang mengamuk di luar. Lusi, membungkuk di atas meja di loteng yang remang-remang, tenggelam dalam dunia angka dan kontrak, dahinya berkerut dalam konsentrasi.
Bola lampu tunggal yang berkedip-kedip menyorot wajahnya, menyoroti tekad yang berkilauan di matanya. Dia dikelilingi oleh tumpukan buku, kertas, dan sisa makanan ringan, bukti dari pengejaran pengetahuannya yang tak kenal lelah, pengejaran yang lahir dari kebutuhan dan keinginan yang membara untuk membantu keluarganya.
Rangga, tertarik oleh cahaya redup dari jendela loteng, mendapati dirinya berdiri di tangga, mengamati Lusi. Dia sedang mencari dokumen yang hilang, tetapi tatapannya tertuju pada pemandangannya, wajahnya diterangi oleh lampu, jari-jarinya bergerak cepat di atas halaman.
Dia menyaksikan keuletannya, dedikasi untuk belajar meskipun keterbatasan lingkungannya, kontras yang tajam dengan hak istimewa yang selalu dia kenal. Sesuatu tersentuh dalam dirinya, kilatan pengakuan, celah kecil di fasad es yang telah dia bangun di sekitar hatinya.
Hari berikutnya, perubahan halus terjadi. Rangga, biasanya tegas dan menuntut, menawarkan senyum kecil saat dia menyerahkan secangkir kopi kepada Lusi, sebuah gerakan sederhana, tetapi yang membawa beban pemahaman yang tak terucapkan.
Dia mendelegasikan tugas, memberi Lusi lebih banyak waktu untuk fokus pada aspek bisnis yang lebih menantang. Dia bahkan dengan diam-diam mengatur seorang tutor untuk membantunya dalam studinya, mengetahui bahwa dia tidak akan meminta sendiri.
Tindakan kebaikan kecil ini, bahasa diam dari empati, adalah bukti pergeseran dalam hatinya, pengakuan atas ketahanan Lusi dan kekuatan tenang yang ada di dalam dirinya.
Saat hari berganti minggu, Lusi dan Rangga menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Percakapan mereka, yang dulunya formal dan terpotong-potong, menjadi lebih panjang, lebih dalam, diresapi dengan pemahaman bersama yang melampaui batasan pekerjaan mereka.
Mereka berbicara tentang masa lalu mereka, keluarga mereka, mimpi mereka, kerentanan mereka. Mereka tertawa bersama atas pengalaman yang sama, tawa mereka bergema melalui aula besar mansion, suara yang telah lama tidak ada.
Rangga, yang terbiasa dengan logika bisnis yang dingin, mendapati dirinya tertarik pada kehangatan Lusi, kepeduliannya yang tulus terhadap orang lain, dan optimismenya yang tak tergoyahkan.
Dia melihat melampaui keraguan awalnya, mengenali kekuatan dan kecerdasan yang tersembunyi di balik sikapnya yang sederhana. Dia bukan hanya karyawannya; dia adalah seorang wanita yang telah menarik perhatiannya dan menyentuh hatinya.
Lusi, pada gilirannya, melihat melampaui penampilan dingin Rangga. Dia melihat pria yang dibebani oleh kesedihan dan rasa bersalah, pria yang, terlepas dari sikap acuhnya, memiliki kebaikan yang terpancar melalui tindakan kemurahan hati yang kecil.
Dia melihat hati di balik cangkang yang mengeras, hati yang telah terluka tetapi mampu mencintai. Saat mereka berbagi cerita mereka, kerentanan mereka, sebuah jembatan pemahaman mulai terbentuk di antara mereka.
Dan di atas jembatan itu, di tengah kesunyian bersama dan senyum yang ragu-ragu, sebuah percikan menyala, percikan yang menjanjikan sesuatu yang lebih mendalam daripada sekadar persahabatan.
Hari-hari berlalu, dan rumah besar Rangga mulai dipenuhi dengan suara-suara baru. Suara tawa yang terkadang pecah di ruang makan, suara bisikan lembut di tengah malam ketika Lusi membantu Rangga menata kembali perpustakaan, dan suara langkah kaki yang beriringan saat mereka berjalan menyusuri taman.
Rangga, yang dulunya selalu menjaga jarak, seolah tak sadar mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Lusi.
Momen-momen mereka bersama terasa canggung namun manis. Rangga, yang biasanya dingin dan tak terjamah, terkadang tertangkap basah sedang memperhatikan Lusi dengan tatapan yang berbeda, tatapan yang penuh dengan kekaguman dan sedikit kerinduan.
Lusi, yang dulunya penuh ketakutan, kini mulai merasa nyaman di dekat Rangga. Ia menemukan dirinya terpesona oleh pria itu, oleh kecerdasannya, ketenangannya, dan juga kelembutan yang tersembunyi di balik sikap dinginnya.
Suatu sore, saat mereka sedang menikmati teh sore di taman, percakapan mereka beralih ke masa lalu. Rangga, dengan suara yang sedikit serak, menceritakan tentang masa kecilnya yang penuh tekanan, tentang kegagalan bisnis ayahnya, dan tentang tragedi yang merenggut orang-orang yang ia cintai.
Lusi mendengarkan dengan saksama, hatinya tergerak oleh kesedihan yang tersembunyi di balik kata-kata Rangga. Ia pun menceritakan tentang masa kecilnya yang penuh perjuangan, tentang keluarganya yang miskin, dan tentang mimpi-mimpinya yang harus ia tunda demi membantu orang tuanya.
Saat mereka berbagi cerita, jarak di antara mereka semakin mencair. Mereka menemukan kesamaan dalam pengalaman mereka, kesamaan yang memperkuat ikatan mereka. Momen-momen canggung diselingi dengan senyuman lembut dan tatapan penuh makna.
Di antara mereka, terasa tumbuh benih-benih cinta, cinta yang tumbuh dari pemahaman, dari empati, dan dari rasa saling percaya. Cinta yang tumbuh di tengah kesunyian rumah besar yang dulu dingin, cinta yang menjanjikan masa depan yang lebih hangat dan penuh harapan.