abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Malam Terpanjang
Angin dingin mendesis di antara celah-celah kastil yang sudah tua dan renta, membawa bisikan suara-suara aneh yang terdengar seperti jeritan jauh di kejauhan. Isabella berpegangan pada dinding untuk menjaga keseimbangan, sementara Jonathan membantu Viktor berjalan. Luka di bahu Viktor terus mengeluarkan darah, meskipun mereka telah mengikatnya dengan kain seadanya.
"Ini tak masuk akal," gumam Jonathan dengan nada putus asa. "Pria bertopeng itu, bayangan-bayangan, patung yang bergerak... ini seperti mimpi buruk."
"Ini bukan mimpi," balas Isabella dengan suara rendah. "Kita harus terus bergerak. Kalau kita berhenti, kita akan mati."
Langkah mereka membawa mereka ke sebuah aula besar dengan jendela-jendela tinggi yang dipenuhi debu, menutupi pemandangan luar. Cahaya bulan yang redup memancar melalui celah-celah, menciptakan bayangan aneh di dinding. Di tengah aula, ada meja panjang dengan lilin-lilin yang masih menyala, meskipun tidak ada tanda-tanda siapa yang menyalakannya.
"Apa kita benar-benar sendirian di sini?" tanya Viktor dengan nada ragu.
Isabella menggeleng. "Aku rasa tidak. Kastil ini seperti hidup, dan kita sedang berada di dalam perangkapnya."
Saat mereka melangkah lebih jauh ke dalam aula, suara langkah-langkah berat kembali terdengar dari kejauhan. Suara itu semakin mendekat, disertai dengan gemerisik yang aneh—seperti rantai yang diseret di atas lantai batu.
"Dia datang lagi," bisik Jonathan, menahan napas.
Isabella mengangkat belatinya, meskipun ia tahu itu mungkin tidak cukup untuk melawan ancaman yang akan mereka hadapi. Mereka semua bersembunyi di balik meja panjang, berharap kegelapan bisa menyembunyikan mereka.
Sosok pria bertopeng itu muncul di pintu masuk aula, kapak besarnya mencerminkan cahaya lilin. Namun, kali ini ia tidak sendiri. Di belakangnya, seorang pria lain muncul—sosok tinggi dengan tubuh yang kurus kering, mengenakan mantel hitam panjang. Wajahnya tertutup oleh topeng lain yang lebih menyeramkan, seperti wajah manusia yang telah membusuk.
"Berapa lama kita akan bermain dengan mereka?" suara pria kurus itu terdengar dingin, bergema di seluruh aula.
"Sebentar lagi," jawab pria bertopeng pertama dengan nada penuh kenikmatan. "Kita harus membuat mereka memahami bahwa tidak ada jalan keluar."
Jonathan menggenggam pedangnya lebih erat, dan napasnya semakin berat. "Dua dari mereka sekarang. Kita tidak akan sanggup melawan."
"Tetap tenang," bisik Isabella. "Kita harus mencari kesempatan untuk melarikan diri."
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pria kurus itu memutar kepala ke arah mereka, seolah-olah bisa merasakan keberadaan mereka. Ia melangkah perlahan, suara langkahnya memekakkan telinga di ruangan yang sepi.
"Aku tahu kalian ada di sini," katanya, suaranya seperti desisan ular. "Jangan membuat ini lebih sulit. Kastil ini sudah memilih kalian."
Mendengar itu, Isabella tak tahan lagi. Ia bangkit dari persembunyian, mengayunkan belatinya ke arah pria kurus itu. Namun, pria itu hanya tertawa, dan dengan gerakan tangan yang cepat, ia menghentikan serangan Isabella. Belati itu terbang dari tangannya, menghantam dinding di seberang.
Pria bertopeng pertama maju dengan kapaknya, mengayunkannya ke arah Jonathan yang mencoba melawan. Suara benturan logam terdengar keras saat pedang Jonathan menahan kapak itu. Namun, kekuatan pria bertopeng jauh lebih besar, membuat Jonathan terdorong ke belakang.
Viktor, meskipun terluka, mencoba membantu. Ia mengayunkan tongkat kayunya ke arah pria kurus, tetapi pria itu menangkap tongkat itu dengan tangan kosong, mematahkannya dalam sekejap.
"Kalian tidak punya harapan," kata pria kurus itu sambil mendekat. "Kastil ini akan menjadi kuburan kalian."
Namun, sebelum mereka semua terpojok, sebuah suara lain terdengar dari lorong di belakang aula. Suara lonceng besar berdentang, membuat pria bertopeng dan pria kurus itu berhenti sejenak.
"Lonceng itu..." bisik pria bertopeng.
"Apa artinya?" tanya pria kurus, suaranya tiba-tiba berubah menjadi cemas.
Isabella memanfaatkan momen itu untuk menarik Jonathan dan Viktor ke arah pintu di sisi lain aula. Mereka berlari secepat mungkin, meninggalkan aula dan dua pria itu di belakang.
Ketika mereka memasuki lorong lain, suara lonceng itu terus berdentang, semakin keras dan semakin mengganggu. Lorong yang mereka lewati kini terasa lebih gelap dan lebih sempit, seolah-olah kastil itu sendiri sedang berubah bentuk untuk menjebak mereka.
Mereka berhenti di sebuah persimpangan, mencoba memutuskan ke mana harus pergi. Di salah satu dinding, ada sebuah lukisan besar yang menggambarkan pesta besar di dalam kastil. Namun, wajah-wajah orang di dalam lukisan itu tampak menatap mereka, dengan senyum menyeramkan yang membuat darah mereka membeku.
"Ini gila," gumam Jonathan.
"Semua yang ada di sini adalah ilusi," kata Isabella, mencoba menenangkan diri. "Kita harus tetap fokus."
Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan, suara langkah berat terdengar lagi. Kali ini, suara itu datang dari kedua arah lorong.
"Mereka mengepung kita," kata Viktor dengan suara putus asa.
Isabella memandang ke sekeliling, mencari jalan keluar. Matanya tertuju pada sebuah pintu kecil di ujung lorong. "Ke sana!" serunya.
Mereka berlari menuju pintu itu, membukanya dengan susah payah. Di dalamnya, mereka menemukan sebuah tangga spiral yang tampak menuju ke bawah.
"Ke bawah? Apa itu ide yang bagus?" tanya Jonathan, ragu-ragu.
"Kita tidak punya pilihan," jawab Isabella, mendorong mereka untuk turun.
Tangga itu terasa seperti tidak ada ujungnya, membawa mereka semakin dalam ke dalam kastil. Di bawah sana, udara semakin dingin, dan kegelapan semakin pekat.
Akhirnya, mereka mencapai dasar tangga dan menemukan diri mereka di sebuah ruangan besar yang tampaknya seperti ruang bawah tanah. Di tengah ruangan, ada sebuah pintu besar yang terbuat dari logam hitam, dihiasi dengan simbol-simbol aneh yang bersinar samar.
"Apa ini?" bisik Viktor.
Isabella mendekat, merasakan aura aneh yang memancar dari pintu itu. "Mungkin ini jalan keluar... atau mungkin ini jebakan lain."
Namun sebelum mereka bisa memutuskan, suara langkah berat kembali terdengar dari atas tangga. Pria bertopeng dan pria kurus itu sedang mendekat, dan kali ini mereka tidak akan memberi kesempatan lagi.
"Kita harus masuk," kata Jonathan dengan suara tegas.
Isabella mengangguk. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu besar itu, dan mereka semua melangkah masuk, tidak tahu apa yang menunggu mereka di baliknya.