Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Sepi
Sesampainya di rumah, Veltika terkejut ketika melihat suasana yang berbeda dari biasanya. Biasanya, ia akan pulang ke rumah yang sepi, hanya ditemani oleh Bu Sri yang sudah seperti ibu sendiri baginya. Namun kali ini, ada aroma masakan yang menggoda dari dapur. Ia mengernyitkan dahi, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Begitu melangkah masuk ke ruang makan, ia melihat Denis sedang sibuk menata meja makan dengan hidangan yang tampak lezat.
"Selamat datang, Kak Vel," kata Denis sambil tersenyum, matanya menyiratkan kehangatan yang tidak biasa. Veltika sempat terdiam sejenak, tak menyangka Denis akan melakukan sesuatu yang seperti ini untuknya. Biasanya, hubungan mereka dipenuhi dengan ketegangan dan ketidaknyamanan, tetapi kali ini Denis tampak berbeda—lebih hangat dan perhatian.
"Makan malam spesial buat kamu," lanjut Denis sambil merapikan serbet di meja. "Aku tahu kamu pasti lelah setelah seharian bekerja. Jadi, aku ingin memastikan kamu merasa sedikit lebih baik malam ini."
Veltika merasa canggung, namun di satu sisi, ia tak bisa menahan rasa terkejut dan sedikit terharu. Denis, adik tirinya yang selama ini terkesan suka bermain-main dan kurang serius, tampaknya benar-benar ingin memperbaiki hubungan mereka. Namun, meskipun Veltika bisa merasakan perhatian Denis, ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya—perasaan yang tak mudah untuk dicerna.
"Terima kasih, Denis," jawab Veltika, suaranya sedikit ragu. Ia duduk di kursi yang telah disiapkan, mencoba untuk tidak terlalu menunjukkan kebingungannya. "Tapi... kenapa kamu tiba-tiba begitu baik padaku?"
Denis hanya tersenyum lebar, duduk di seberang Veltika, dan mulai menyajikan hidangan yang sudah disiapkan. "Karena aku ingin membuat kamu merasa nyaman di rumah ini, Kak Vel. Kita adalah keluarga sekarang, kan?" jawabnya dengan nada yang tulus, meskipun ada kilatan di matanya yang tidak bisa diabaikan. "Dan aku tahu, kadang kita tidak mudah menerima semua perubahan, tapi aku berharap kita bisa saling menghargai."
Veltika menatapnya, tidak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Denis malam ini. Ada kepedulian, ada keinginan untuk membangun hubungan yang lebih baik, meskipun ia tahu itu mungkin hanya sementara. Namun, seiring dengan detik yang berjalan, ia merasa ada sesuatu yang aneh menggantung di udara antara mereka berdua.
Malam itu, makan malam yang disiapkan Denis berlangsung dalam keheningan yang penuh dengan perasaan yang tidak terucapkan. Veltika mencoba menikmati makanan, namun pikirannya terombang-ambing antara rasa terima kasih yang samar dan perasaan cemas yang semakin menguat. Di balik senyuman Denis yang tampak tulus, ia merasakan ada yang lebih dari sekadar perhatian saudara tiri. Sesuatu yang sulit untuk diterima, sesuatu yang sudah lama ia coba hindari, tetapi kali ini tampaknya tidak bisa diabaikan begitu saja.
Steik buatan Denis yang disajikan di meja makan terlihat sangat menggoda. Aroma daging yang dibumbui dengan sempurna memenuhi udara, menciptakan keharuman yang langsung membuat Veltika lapar. Denis telah memanggangnya dengan sempurna, bagian luar yang kecokelatan sedangkan bagian dalamnya masih merah muda, menunjukkan betapa ia memperhatikan detail.
"Wow, Denis," kata Veltika tanpa sadar, matanya tertuju pada potongan steik yang tampak sangat menggugah selera. "Kamu benar-benar bisa masak, ya?"
Denis tersenyum bangga. "Aku belajar dari Bu Sri, sedikit-sedikit," jawabnya sambil menaruh potongan daging ke atas piring Veltika. "Aku tahu kamu suka steik medium-rare, jadi aku pastikan ini sesuai seleramu."
Veltika tertegun sejenak. Ia tidak bisa menahan perasaan kagum pada perhatian kecil yang Denis tunjukkan. Biasanya, mereka lebih sering terlibat dalam perdebatan atau ketegangan, tetapi malam ini semuanya terasa berbeda. Bahkan, meskipun Veltika merasa canggung, ia merasa sedikit lebih tenang di hadapan Denis.
Denis melanjutkan, "Aku harap rasanya pas. Ini buat kamu."
Veltika memotong sepotong kecil daging dan mencicipinya. Rasanya sempurna—lembut, beraroma, dan sedikit gurih. Tanpa sadar, ia tersenyum. "Ini enak sekali, Denis," kata Veltika, lalu melanjutkan untuk memotong steiknya, menikmati setiap suap dengan penuh rasa.
Namun, meski rasa makanan yang lezat ini mengalihkan perhatian sementara, perasaan Veltika yang bergelora tidak bisa disembunyikan begitu saja. Ia tahu Denis sedang mencoba memperbaiki hubungan mereka, tetapi entah mengapa, ada sesuatu yang lebih dalam yang membuatnya merasa tidak nyaman. Terlepas dari masakan yang enak dan perhatian yang tulus, Veltika masih terjebak antara rasa terima kasih dan kebingungan yang datang dengan kedekatan yang mulai tumbuh di antara mereka.
Malam itu, makan malam dengan steik buatan Denis mungkin terasa istimewa, tapi di dalam hati Veltika, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Ia tidak tahu apakah perasaan ini hanya sekadar rasa terima kasih atau sesuatu yang lebih dalam yang mulai muncul tanpa bisa dicegah.
Selepas makan malam, Veltika dan Denis memutuskan untuk duduk bersantai di teras samping rumah, di bawah langit malam yang dipenuhi bintang. Suasana tenang, hanya terdengar suara angin sepoi-sepoi yang menyentuh daun-daun pohon di sekitar mereka. Sebuah botol wine terbuka di meja kecil, di samping dua gelas yang sudah terisi.
Veltika memegang gelas wine-nya dengan tangan yang sedikit gemetar, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia menatap gelasnya, seolah mencari pelarian dalam kilau merah wine itu. Denis duduk di sampingnya, menatap langit dengan tenang, memberi ruang bagi Veltika untuk berbicara.
"Kalau aku pikir-pikir, rasanya hidupku dulu jauh lebih sederhana," kata Veltika akhirnya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. "Sebelum Ayah menikah lagi, semuanya terasa lebih... tentram."
Denis menoleh, memberikan perhatian penuh pada setiap kata yang keluar dari mulut Veltika. "Kamu merasa seperti apa? Seperti ada yang hilang?" tanyanya pelan, memastikan agar pembicaraan tetap berjalan dengan nyaman.
Veltika mengangguk pelan. "Iya, dulu rumah kami sepi, cuma ada Ayah dan aku. Tidak ada lagi perasaan canggung yang datang dengan orang asing di rumah. Tidak ada lagi ketegangan atau kekhawatiran tentang siapa yang akan datang dan pergi. Kami lebih bebas," lanjutnya, suaranya mulai sedikit lebih kuat, meskipun ada sedikit kepedihan yang tak bisa disembunyikan.
"Ayah dan aku punya kebiasaan yang sangat erat. Kami sering makan malam bersama, berbicara tentang apapun... kadang tentang pekerjaan, kadang tentang hal-hal kecil yang tak penting. Tapi itu adalah waktu kami, waktu yang sangat berarti buat aku. Tapi setelah Ibu Caroline datang, semuanya berubah."
Denis mendengarkan dengan saksama, meneguk wine-nya tanpa berkata-kata. Ia bisa merasakan kesedihan yang Veltika sembunyikan, meskipun dia tidak tahu banyak tentang masa lalu keluarga Veltika. Namun, ia bisa melihat betapa besar peran Ayah Veltika dalam hidupnya.
"Kadang aku merasa seperti ada yang hilang, Denis," tambah Veltika, menatap ke bawah, pada permukaan meja yang sudah mulai basah oleh embun malam. "Aku tidak tahu bagaimana harus menerima semuanya, terutama kehadiran orang baru dalam hidup kami. Rasanya seperti aku harus berbagi Ayahku dengan orang lain... Dan itu, itu berat."
Denis terdiam sejenak, kemudian menatap Veltika dengan lembut. "Aku mengerti. Perubahan itu memang tidak mudah, apalagi kalau melibatkan orang-orang yang kita sayangi. Tapi kamu tahu, bukan? Kehadiran orang baru belum tentu mengurangi cinta yang ada."
Veltika mengangkat wajahnya, menatap Denis dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada kehangatan dalam kata-katanya, namun juga sebuah jarak yang tak bisa dijembatani sepenuhnya.
"Tapi aku tidak ingin kehilangan itu," kata Veltika, suara sedikit bergetar. "Aku takut, Denis. Takut kalau semua ini akhirnya mengubah segalanya."
Denis mengangguk perlahan, memahami keraguan yang ada. "Tidak akan ada yang bisa menggantikan hubunganmu dengan Ayah. Tidak ada yang bisa menggantikan masa-masa yang kalian habiskan bersama. Tapi kamu bisa membiarkan dirimu menerima perubahan itu, perlahan, seiring waktu."
Veltika hanya terdiam, merenung, sementara malam semakin larut dan angin malam semakin sejuk. Suasana di sekitar mereka terasa lebih intim, meskipun ada sebuah ketegangan yang masih tersisa di antara mereka. Denis tidak melanjutkan pembicaraan lebih jauh, memberi Veltika waktu untuk memproses kata-katanya.
Malam itu berlanjut dalam keheningan, dengan hanya suara angin dan desiran daun yang mengisi ruang di antara mereka.