Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Gangguan Pikiran
Adara mencoba kembali fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus menerusik saat mengingat percakapannya dengan Arga tadi siang. Beberapa kali, lelaki itu menatapnya dengan intens, seakan berusaha menemukan sesuatu yang tersembunyi di balik matanya. Tatapan itu begitu dalam hingga membuat Adara merasa gugup, tak seperti biasanya. Setiap kali Arga mendekat untuk memberikan arahan atau berdiskusi tentang pekerjaan, jantung Adara berdegup lebih cepat. Ini bukan kali pertama Adara merasa jantungnya berdetak lebih kencang saat Arga ada di dekatnya. Namun, belakangan ini, perasaan itu semakin sering muncul, bahkan tanpa alasan yang jelas.
Menjelang sore, Adara berusaha menyelesaikan laporan yang harus diserahkan pada Arga sebelum akhir hari. Namun, lagi-lagi ia merasa kesulitan untuk berkonsentrasi. Semua baris kata dan angka di layar monitornya seakan kabur. Pikirannya malah dipenuhi oleh bayangan senyuman tipis Arga yang dilihatnya tadi pagi ketika mereka berbicara tentang proyek terbaru perusahaan.
"Astaga, ada apa dengan diriku?" gumam Adara, sembari menggelengkan kepala. Ia berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran aneh itu. "Dia hanya bosku, tidak lebih." Namun, mengabaikan kehadiran Arga di pikirannya ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Adara menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya, lalu melanjutkan pekerjaannya. Ia menatap layar komputer dengan sungguh-sungguh, mencoba memusatkan perhatian pada setiap kata yang harus ia ketik. Namun, seakan berkonspirasi, ponselnya tiba-tiba berbunyi, menampilkan nama Arga di layar. Adara merasa gugup seketika. Ia menarik napas panjang lagi, kemudian mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, Pak Arga."
"Adara, maaf mengganggu. Saya butuh beberapa tambahan data untuk laporan besok. Apakah bisa datang ke ruangan saya sekarang?"
"Tentu, Pak. Saya segera ke sana," jawab Adara, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.
Setelah menutup telepon, Adara membereskan dokumen-dokumen yang diperlukan dan berjalan menuju ruangan Arga dengan langkah perlahan. Dalam benaknya, ia terus berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah pertemuan kerja biasa, tetapi perasaan aneh itu tetap ada, membuat detak jantungnya tak menentu.
Ketika ia mengetuk pintu dan mendengar suara Arga menyuruhnya masuk, ia merasa sedikit lega. Di dalam ruangan itu, Arga sedang duduk di balik meja dengan wajah serius, namun senyum tipis menghiasi bibirnya ketika ia menatap Adara.
"Silakan duduk, Adara," kata Arga, menunjuk kursi di depannya.
Adara duduk dan meletakkan dokumen-dokumen di atas meja, sementara Arga mengamatinya sejenak sebelum mulai membahas tentang laporan yang mereka bicarakan sebelumnya. Selama beberapa menit pertama, mereka berdiskusi dengan fokus, membicarakan strategi dan data-data yang dibutuhkan.
Namun, tiba-tiba Arga menghentikan pembicaraan dan memandang Adara dengan tatapan yang lembut. "Adara, apakah kamu merasa lelah akhir-akhir ini? Kamu terlihat sedikit pucat."
Pertanyaan itu mengejutkan Adara. "Oh, tidak, Pak. Mungkin saya hanya sedikit banyak berpikir tentang pekerjaan," jawab Adara, tersenyum untuk meyakinkan.
Arga mengangguk pelan, seolah mengerti. "Saya harap kamu tidak terlalu memaksakan diri. Saya tahu tugasmu tidak mudah, tapi kesehatanmu lebih penting."
Ucapan itu terdengar tulus dan lembut, membuat Adara merasa hangat. Namun, ia segera berusaha mengalihkan perasaan itu, kembali pada hal-hal profesional yang harus mereka bahas. Beberapa menit berikutnya mereka kembali fokus pada laporan, hingga akhirnya semua hal yang diperlukan untuk besok sudah selesai dibahas.
"Baiklah, terima kasih atas bantuannya, Adara. Kamu bisa kembali bekerja," ujar Arga dengan nada suara yang lebih ringan.
Adara berdiri dan mengambil dokumennya, namun sebelum ia sempat beranjak, Arga berkata lagi, "Jika ada masalah atau kamu merasa butuh istirahat lebih lama, jangan ragu untuk memberi tahu saya."
Adara mengangguk dan tersenyum singkat, kemudian berbalik meninggalkan ruangan Arga. Sesaat setelah menutup pintu, ia merasa kepalanya penuh dengan berbagai pikiran dan perasaan yang sulit dipahami. Di satu sisi, perhatian Arga membuatnya merasa nyaman, namun di sisi lain, ia tidak ingin menjadi terlalu terikat atau terlalu berharap lebih pada sosok atasannya tersebut.
Sepanjang perjalanan kembali ke mejanya, Adara terus memikirkan kata-kata Arga tadi. "Kesehatanmu lebih penting," kalimat itu berulang kali muncul dalam pikirannya. Ia menyadari bahwa perhatian itu sebenarnya adalah sesuatu yang umum, sebuah sikap kepedulian dari seorang bos terhadap karyawannya. Namun, entah mengapa, saat Arga yang mengatakannya, makna kalimat itu terasa berbeda, lebih dalam dan lebih personal.
Sore itu, ketika waktu kerja hampir usai, Adara memutuskan untuk beristirahat sejenak di taman gedung kantor. Ia duduk di bangku yang sepi, mencoba menikmati angin sore dan ketenangan sesaat sebelum pulang. Namun, lagi-lagi pikirannya berkelana ke sosok Arga. Ia mulai bertanya-tanya, apakah Arga benar-benar hanya memperhatikannya sebagai seorang bawahan, atau ada sesuatu yang lebih di balik tatapan dan sikap lembut yang ditunjukkan lelaki itu padanya.
“Sudah, hentikan,” Adara berkata pada dirinya sendiri, seolah berusaha menahan agar pikirannya tidak terlalu jauh melayang. "Aku harus tetap profesional. Tidak seharusnya aku berpikir macam-macam tentang Arga."
Namun, semakin ia mencoba mengabaikan perasaan itu, semakin sulit rasanya untuk benar-benar melepaskan bayangan Arga dari pikirannya. Ia merasa jantungnya berdegup cepat setiap kali mengingat senyuman Arga atau cara lelaki itu memperhatikannya dengan penuh intensitas. Adara merasa bingung dan terjebak antara kenyataan dan perasaannya yang semakin sulit ia kendalikan.
Malam itu, sepulang kerja, Adara tak langsung pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk singgah di sebuah kafe kecil di dekat kantor, berharap suasana baru bisa membantunya menghilangkan perasaan yang mengganggu. Ia memesan secangkir kopi dan duduk di dekat jendela, menatap keramaian kota di luar sambil mencoba merenung.
Ia tahu bahwa perasaannya pada Arga tidak seharusnya ada. Arga adalah atasannya, seorang pria dengan karisma kuat yang tidak mungkin akan melirik seseorang seperti dirinya. Namun, ia tidak bisa menyangkal bahwa setiap hari, perasaan itu semakin tumbuh dan membuat pikirannya kacau.
Adara menyesap kopinya sambil menghela napas panjang. Ia merasa tertarik pada Arga bukan karena status atau kekayaannya, melainkan karena pria itu mampu menunjukkan sisi manusiawi yang hangat di balik ketegasan dan kedisiplinannya. Dalam setiap perhatian kecil yang diberikan Arga, Adara merasa ada kehangatan yang menyentuh hatinya dan membuatnya merasakan sesuatu yang berbeda.
Namun, di sisi lain, Adara tahu bahwa ia harus menjaga profesionalisme. Perasaan ini mungkin hanya akan menyulitkan, terlebih jika ketahuan oleh orang lain. Jika ia membiarkan perasaan ini terus berkembang, ia khawatir suatu hari nanti akan kehilangan kendali dan merusak kariernya yang sedang ia bangun.
Waktu berlalu, dan Adara akhirnya menyadari bahwa ia harus membuat keputusan. Ia harus memilih antara mengabaikan perasaannya atau mengambil risiko untuk mencoba mendekatkan diri pada Arga. Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti perasaannya akan menemukan jalan keluarnya, baik sebagai cinta yang terbalas atau sekadar kenangan yang indah.
Dengan pemikiran itu, Adara menghabiskan kopi terakhirnya, beranjak pulang, dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa esok hari ia akan berusaha lebih keras lagi untuk menjaga jarak dari sosok yang terus mengganggu pikirannya.