Skuel ke dua Sang Pewaris dan sekuel ketiga Terra The Best Mother.
menceritakan keseruan seluruh keturunan Dougher Young, Pratama, Triatmodjo, Diablo bersaudara dan anak-anak lainnya.
kisah bagaimana keluarga kaya raya dan pebisnis nomor satu mendidik anak-anak mereka penuh kesederhanaan.
bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
THE BIG FAMILIES
Harun, Azha, Arraya, Arion dan Bariana. Lima bocah seumuran hanya beda bulan. Arraya dan Arion adalah yang paling belakangan lahirnya. Lima bocah yang sama dengan kakak angkatan pertama mereka. Kean, Calvin, Arimbi, Satrio, Sean, Nai, Daud dan Al.
“Bu guru, memangnya kita nggak bisa ya, duduk satu meja gitu?” tanya Bariana.
“Nggak bisa Nak. Sudah jangan protes. Duduk sama temenmu ya!” perintah bu guru.
Bariana akhirnya tak protes, Arion akhirnya mengalah, ia yang duduk dengan teman sebangku Bariana. Seorang gadis kecil berhijab. Bariana menolak sekolah di tempat khusus. Padahal Bart memfasilitasi sekolah katolik untuk Domesh, Bomesh dan Bariana. Namun ketiganya menolak untuk sekolah di sana.
Sudah tiga bulan mereka masuk sekolah SD. Mereka lebih banyak teman di banding kakak-kakak mereka terdahulu. Harun menjadi ketua kelas, pria kecil itu memang sangat mendominasi terlebih karena mata birunya.
“Nah sekarang kalian buka halaman delapan ya!” suruh bu guru.
“Iya bu guru!” seru semua anak-anak.
Belajar mengajar pun dimulai, semua anak serius dalam belajar mereka. Hingga waktu istirahat pun usai. Semua anak-anak berhamburan keluar kelas untuk jajan. Harun cs juga keluar kelas dengan membawa bekal mereka. Dari dulu memang Maria tak pernah mengijinkan anak-anak untuk jajan.
Titis duduk agak jauh dari kelimanya. Titis adalah anak perempuan yang satu meja duduk bersama Arion. Bariana kurang menyukainya karena tubuhnya yang bau.
Gadis kecil itu menyandar di tiang menatap kosong halaman sekolah. Sesekali ia menguap lengannya yang kecil. Arion hendak mendekat, tetapi Bariana mencegahnya.
“Kamu kenapa sih?” tanya Arion gusar.
“Aku bukan kenapa-kenapa kok. Cuma ...,” Bariana menghentikan kata-katanya.
“Cuma apa?” tanya Harun gusar.
“Gara-gara bau badan ya?” tanya Arraya yang diangguki oleh Bariana.
“Nggak boleh gitu. Nanti Mommy marah gara-gara kita menjauhi orang hanya perkara bau badan!” ujar Azha mengingatkan.
“Bau banget, aku nggak tahan ... takut muntah,” aku Bariana jujur.
“Terus dia garuk-garuk gitu,” lanjutnya risih.
“Apa air di rumahnya kotor ya? Atau dia nggak mandi?” tanya Arion.
Arion yang begitu penasaran mendekati gadis kecil yang sepertinya melamun itu.
“Hai,” sapanya. Seluruh saudaranya akhirnya mengikutinya.
Mereka duduk di sisi Arion. Titis tampak sedikit menjauhkan tubuhnya menempel pada tiang kayu.
“Kamu mau?” tawar Arion menyerahkan kotak makannya.
Titis menggeleng, sebisa mungkin ia menjauhkan diri dari mencium makanan yang terlihat lezat itu. Ia menekuk kaki dan memeluknya, hingga bunyi cacing dalam perut Titis tak terdengar.
“Ambil aja, nggak apa-apa,” Harun menyerahkan kotak makannya pada gadis kecil itu.
“Kamu?” tanya Titis.
“Dia bisa makan bareng aku,” ujar Azha menjawab.
Perut Titis berbunyi, semua tersenyum mendengarnya. Harun meletakkan kotak makannya di pangkuan Titis.
“Ayo makan bareng!” ajaknya.
Azha menyodorkan kotak makan pada Harun, keduanya makan bersama. Melihat semua makan dan tak mempermasalahkan dirinya. Secara perlahan, gadis kecil itu memakan isi dari kotak makan Harun.
“Uhuk ... uhuk ... uhuk!” Titis tersedak akibat terlalu terburu-buru.
Azha menuang air dalam tutup air minum yang ia bawa, lalu menyerahkannya pada Titis. Para guru melihat bagaimana kelima bocah begitu peduli pada temannya. Mereka tersenyum. Kebaikan keluarga Dougher Young memang tak diragukan dari dulu.
Makanan habis, Titis melicinkan isi kotak bekal Harun. Bocah laki-laki itu tersenyum. Ketampanan Harun memang luar biasa terlebih mata birunya yang jadi sorotan.
“Maaf,” cicit Titis malu.
“Nggak apa-apa. Makanan Mommy memang seenak itu kok,” ujar Harun tak masalah.
“Iya, kita juga licin kok!” sahut Arraya.
Azha yang memang selalu kepo dengan sesuatu, bocah itu sangat penasaran kenapa tubuh temannya itu sangat bau. Sungguh kelima bocah itu sedikit menghirup udara agar bau badan Titis tak tercium.
“Eh ... maaf ya ... kamu mandi nggak?” tanya Azha langsung.
Titis menunduk, sesekali ia menggosok lengannya yang terbungkus seragam yang memang memakai lengan panjang. Gadis kecil itu menggeleng lemah. Ia memang tak mandi karena air di rumahnya kering.
Titis tinggal bareng keluarga besar ayahnya. Mereka harus menimba air terlebih dahulu untuk mengisi bak mandi. Semua sudah besar, tentu tak masalah dengan hal itu kecuali Titis.
“Jadi kamu mesti nimba air dalam sumur?” tanya Azha dengan mata dibesarkan.
“Ini emang jaman apa? Kok masih nimba?” tanya Bariana tak percaya.
“Lah itu Titis nimba air!” sahut Arion.
“Sebenarnya, aku sudah nimba ... tapi ....”
“Pasti dipakai sama yang lebih besar dan kamu disuruh ngalah!” potong Harun cepat.
“Kok tau?” cicit Titis bingung.
“Biasa ... orang dewasa memang kadang nggak pengertian,” sahut Harun menjawab.
“Kakak-kakak kita nggak ya!” sela Arraya tak terima jawaban Harun.
“Iya ... kecuali kakak-kakak kita. Walau kita terkadang harus adu urat sih,” sahut Azha menimpali dan diangguki oleh Bariana, Arion dan Harun setuju.
“Tapi selama ini kamu digituin?” tanya Bariana.
“Soalnya hampir tiap hari kamu bau badan,” lanjutnya dengan nada minta maaf.
“Aku mandi seadanya air, jadi kadang nggak bersih. Pernah subuh-subuh aku nimba biar mandi duluan. Tapi pasti diduluin paman atau kakak sepupu yang kebelet. Entah itu mau pipis atau buang air besar,” jelas gadis kecil itu sesekali menggaruk kepalanya yang terbungkus hijab.
“Mereka nggak gantiin air kamu?” tanya Arraya yang dijawab gelengan Titis.
“Emak dan Bapak suka marah kalau aku ngadu ... katanya kita harus tau diri karena numpang,” jawabnya.
“Nggak ada mesin air?” tanya Azha.
“Ada sih, tapi Paman selalu marah karena listrik yang mahal,” jawab gadis kecil itu lagi-lagi sambil menggaruk lengannya.
“Air dinyalain kalau mau masak dan nyuci saja,” lanjutnya.
“Nggak sekalian menuhin bak?” tanya Bariana bingung.
“Kata Emak sudah. Tapi, pasti habis dipakai oleh keluarga lainnya. Jadi kami yang hanya numpang gratis di sana banyak ngalah. Makanya kadang bajuku ini dicuci seminggu sekali,” jawab Titis.
“Nggak coba tinggal sendirian?” tanya Azha.
“Bapak kerja serabutan, uangnya hanya cukup buat kami makan. Terkadang Paman suka minta buat nambahin bayar listrik,” jawab Titis miris.
“Eh ... bukannya Mama ada ruko yang buat usaha laundry itu ya!” celetuk Arraya tiba-tiba ingat.
“Eh ... iya ya!” sahut empat anak lainnya kecuali Titis yang tak tahu menahu.
“Kamu sabar ya ... aku mau coba tanya mamaku dulu soal ruko itu. Nanti kami kabari jika kosong,. kalian bisa usaha di sana sampai kalian punya usaha sendiri,” ujar Harun tersenyum.
“Iya ... sabar aja dulu, kalo ini rejeki baru tanyain ibu kamu mau nggak usaha laundry dimodali gratis,” ujar Arraya semangat.
Titis menatap lima wajah rupawan teman-teman yang baru tiga bulan ini ia kenal. Memang kelimanya baik dan tak pernah membuat keributan, kecuali Bariana yang langsung menolak keberadaannya.
“Maaf ya, aku langsung jauhin kamu,” sesal Bariana meminta maaf.
“Nggak apa-apa ... aku ngerti kok. Aku juga kalau jadi kamu, pasti berlaku sama,” ujar Titis tak masalah.
Kelimanya tersenyum hingga menular pada Titis. Gadis kecil itu berharap jika keadaanya jauh lebih baik. Ia berdoa agar usaha yang dikatakan temannya itu benar. Ia pun yakin ayah dan ibunya pasti antusias jika ada yang baik hati memberi mereka modal secara cuma-cuma seperti itu.
Bersambung ....
Hai-hai ... ini karya baru othor ya ... Big Families.
Saksikan keseruan Harun dan seluruh saudarnya ya.
Anak-anak hebat dibentuk dari keluarga hebat dan harmonis. Setuju Readers?
Next?
semoga berjalan lancar ya baby cal...