Setelah dikhianati sang kekasih, Embun pergi ke kota untuk membalas dendam. Dia berusaha merusak pernikahan mantan kekasihnya, dengan menjadi orang ketiga. Tapi rencanya gagal total saat Nathan, sang bos ditempatnya kerja tiba tiba menikahinya.
"Kenapa anda tiba-tiba memaksa menikahi saya?" Embun masih bingung saat dirinya dipaksa masuk ke dalam KUA.
"Agar kau tak lagi menjadi duri dalam pernikahan adikku," jawab Nathan datar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TETAP DISINI
Pagi ini, Embun merasa ada yang aneh. Tatapan orang orang dikantor terlihat sangat tidak bersahabat. Bahkan saat memasuki area kerjanya, teman temannya menatapnya aneh sambil bisik-bisik. Tidak, pasti bukan dia yang dibicarakan, Embun mencoba untuk berfikir positif.
"Menjijikkan." Embun bisa mendengar itu saat Delima berjalan melewatinya.
Deg
Jantung Embun seperti berhenti berdetak. Ini pasti ada yang salah. Ucapan Delima tadi jelas ditujukan padanya.
"Wah, wah, wah, pelakor emang gak tahu diri banget ya. Udah dikasih kerjaan sama kakaknya, eh...suami adiknya diembat. Pakai ciuman dikantor pula, menjijikkan." Kaki Embun seketika lemas karena Nita secara terang terangan mengatainya.
"Kalian gak usah nuduh sembarang kalau gak ada bukti," Erik ikut bicara.
"Ya elah, ada yang mau jadi pahlawan kesiangan nih," cibir Anita. Satu bagian memang tahu jika Erik menyukai Embun.
Embun lanjut berjalan lalu duduk ditempatnya. Saat menyalakan komputer, tangannya sampai gemetaran, takut jika satu kantor membulinya.
Cindy, cewek itu langsung mendekati Embun. "Gila kamu Mbun, nekat banget sih ciuman sama Pak Rama dikantor, sampai ada yang mergokin."
"Mergokin?" Embun mengerutkan kening.
"Iya, katanya ada yang lihat kalian sedang ciuman dikoridor."
Embun tersenyum getir. Padahal kemarin Rama hanya memegang tangannya, kenapa sampai ada yang bilang melihatnya ciuman? Berita ini jelas ditambah tambahin. Kasih bumbu penyedap agar lebih meledak rasanya.
"Itu gak bener, aku gak ciuman sama Pak Rama," bantah Embun.
"Terus bibir kamu sampai jontor gitu, dicium siapa?"
Embun menghela nafas. Mau bilang dicium Nathan, yang ada Cindy gak bakal percaya. Sudahlah, lebih baik dia diam saja.
.
.
Sementara diruangan Nathan, pagi pagi Dimas sudah mendatanginya.
"Apa Bapak sudah dengar gosip hari ini?"
Nathan yang sedang fokus melihat laptop langsung menatap Dimas. "Sejak kapan kau mulai tertarik membahas gosip denganku? Sepertinya kau perlu ditambah pekerjaan agar tak lagi mengurusi hal-hal yang tidak penting," sinisnya.
Dimas menelan salivanya susah payah. "Ta-tapi ini gosip tentang Embun."
"Embun?" Nathan mengerutkan kening.
"Tapi sudahlah, lebih baik kita bicara soal pekerjaan saja. Lagian hanya gosip, tidak penting." Dimas tak ingin kena marah karena membahas gosip. Apalagi kalau sampai ditambahin pekerjaan.
"Cepat cerita."
"Hah, cerita apa?"
Nathan berdecak sebal sambil memelototi Dimas. "Gosip yang kau bilang tadi," geramnya.
"Oh....gosip ya," Dimas manggut-manggut. "Saya pikir Bapak tidak berminat."
"Cepat cerita," pekik Nathan yang makin kesal.
"I-itu, Embun."
"Iya, Embun kenapa?" Kesabarannya hampir habis gara-gara Dimas.
"Katanya ada yang mergokin Embun sedang berciuman dengan Rama."
Nathan seketika melotot. "Kapan?"
"Kemarin siang, di koridor dekat ruangan Bapak."
"Kau yakin jika apa yang mereka katakan benar?"
"Mereka bilang bibir Embun sampai terluka karena ciuman Pak Rama."
Nathan seketika tersedak udara. Kenapa jadi begini? Jelas-jelas dia yang membuat bibir Embun terluka.
"Panggil Embun kesini."
Dimas mengangguk lalu keluar dari ruangan Nathan.
Nathan memikirkan sesuatu. Bukankah Embun terluka karena ciumannya, lalu kenapa bisa ada gosip dia ciuman dengan Rama? Apakah kemarin mereka bertemu?
Beberapa menit kemudian, Embun sudah berada di ruangan Nathan. Mata gadis itu berkaca-kaca.
"Kakak juga mau nuduh aku ciuman dengan Rama?" Embun tiba-tiba terlihat emosional. "Kakak belum amnesiakan? Luka dibibirku karena ciuman Kakak, bukan Rama. Aku memang bertemu dengan Rama kemarin. Tapi kami gak ngapa ngapain. Dia maksa mau ngajak aku bicara, tapi aku gak mau. Kami gak ciuman, aku berani bersumpah. Aku juga tidak tahu kenapa mereka menyebarkan fitnah melihatku ciuman dengan Rama." Embun terus nyerocos tanpa memberi waktu Nathan untuk bicara.
"Hiks, hiks, hiks," Embun tak bisa menahan air matanya. "Aku berani bersumpah, aku gak ciuman sama Rama."
"Siapa juga yang nuduh kamu ciuman sama Rama," ujar Nathan datar.
"Hah," Embun langsung mendongak menatap Nathan. Dia pikir Nathan memanggilnya karena percaya dengan gosip tersebut. "Jadi_"
"Jadi usap air mata dan ingusmu pakai tisu."
Embun berjalan mendekat ke meja Nathan. Mencari keberadaan tisu diatas meja tapi zonk, tak ada benda itu disana.
"Mana tisunya?"
Nathan menghela nafas berat. Dia fikir mungkin saja Embun menyimpan tisu disaku bajunya, tapi rupanya tidak. "Kau pikir ini restoran yang dimejanya disedikana tisu?" Dia lalu menyerahkan sapu tangannya pada Embun. "Pakai ini."
Embun meraih sapu tangan tersebut lalu menyeka air mata dan ingusnya.
Sroottt
Mata Nathan membola demi melihat Embun mengeluarkan ingus kesapu tangan miliknya.
"Kenapa kau keluarkan disana?" pekik Nathan.
"Tadi katanya disuruh bersihin air mata dan ingus."
Lagi-lagi, Nathan menghela nafas berat. Sepertinya tadi dia salah ngomong.
Embun duduk dikursi yang ada didepan Nathan tanpa diminta. Dia kembali menangis sambil meletakkan kepala diatas meja.
"Ada apa lagi, kenapa menangis?" tanya Nathan.
"Semua orang membicarakanku. Mereka semua menghujatku."
"Itu karena salahmu. Kenapa juga jadi pelakor. Ingat, karma itu ada."
Embun mengangkat kepalanya lalu tersenyum getir kepada Nathan. "Benarkah? Lalu kenapa Rama tak dapat karma? Dia yang jahat, dia jahat sama aku." Embun makin sesenggukan. Apalagi saat ingat jika kesetiannya selama 10 tahun dibalas dengan pengkhiantan.
Nathan terdiam menatap Embun. Entah kenapa, dia tiba-tiba merasa kasihan. Terlihat luka yang sangat dalam di kedua netra wanita itu.
"10 tahun aku nungguin dia, tapi apa yang aku dapat. Dia malah nikah sama Navia."
"10 tahun," Nathan melongo. Dia memang tahu jika Embun adalah mantan pacar Rama, tapi dia tak tahu jika selama itu mereka pacaran.
"Dia mengatakan mau ke Jakarta untuk kuliah sambil kerja. Ingin menjadi sarjana dan sukses demi memantaskan diri bersanding denganku. Dan aku, dengan setia aku menunggunya. Bahkan berkali kali menolak lamaran pria dan rela dikatain perawan tua demi dia. Tapi apa, penantianku malah dibalas dengan pengkhianatan. Bukannya melamarku saat sukses, dia malah ninggalin aku dan nikahin Navia."
Nathan teringat saat Embun menangis dalam tidurnya malam itu. Embun menyebut Rama jahat, jadi ini maksudnya.
"Aku tak rela Rama bahagia diatas penderitaanku."
"Tapi yang kau lalukan salah. Kau ingin membalas Rama, tapi kau malah menyakiti Navia."
"Aku hanya ingin Navia tahu, Rama bukan pria yang baik. Dia bukan pria setia. Buktinya aku goda sedikit saja, dia langsung mau jadiin aku istri kedua. Rama bukan pria yang baik. Kalau dia baik, dia tak akan tergoda padaku, dia akan setia pada Navia."
"Tapi tetap saja, caramu salah. Kau tetap seorang pelakor dimata Navia dan semua orang."
Embun mendesis pelan. Iya, caranya memang salah. Baiklah, mungkin dia memang pantas dihujat. Pantas mendapatkan sanksi sosial. Dia beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju pintu.
"Mau kemana?" seru Nathan.
"Kembali kerja."
Nathan berjalan cepat lalu menghalangi Embun yang hendak membuka pintu. "Bukankah kau bilang semua orang sedang menghujatmu?" Embun mengangguk. "Jadi tetaplah disini saja."
Embun terkekeh pelan. "Sampai kapan aku harus bersembunyi. Biarkan aku keluar, aku akan menghadapi semuanya." Embun hendak membuka pintu tapi lagi-lagi Nathan mencegahnya.
"Aku bilang tetap disini."
"Tapi_"
"Gak usah tapi-tapian." Nathan memegangi kedua bahu Embun lalu mendorongnya menuju sofa. "Tetap disini dan duduk manis."
Embun melongo, apa Nathan sedang berusaha menjadi pahlawan kesiangan untuknya?
Nathan 🤣🤣🤣