Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Insiden Kolam Pemandian
Tubuhku sudah mulai menggigil, air hangat dari kran tidak banyak membantu. Setelah memasukan sprei kotor yang membalut tubuhku tadi kedalam tempat semestinya, aku membuka pelan kamar mandi.
Tidak kutemukan tuan Bimo didalam sana saat pandanganku beredar. Kulihat banyak noda darah ditepi pembaringan, tempat dimana pria itu duduk kesakitan saat kutinggalkan kekamar mandi tadi.
Sprei baru kubentangkan untuk menutupinya, setelahnya mengambil sepotong pakaian didalam lemari lengkap dengan dalamannya.
"Ck..." aku hanya bisa mengumpat dan menangis didalam hati, biometric lock menolak memvalidasi wajahku. Terpaksa kembali berjalan gontai menuju kamar super luas milik tuan Bimo.
Insiden tadi membuatku takut untuk tidur. Pria itu bisa kapan saja masuk kemari, karena ini adalah kediamannya, dan melakukan hal tidak senonoh seperti tadi.
Tapi aku tak berdaya melawan hukum alam, rasa kantuk bercampur lelah akhirnya membawaku terlelap juga.
...***...
"Bimo... Bimo... apes banget sih nasib loe, gak ada insiden lain yang lebih bermartabat apah dari ini, selain gigitan demi gigitan?"
"Dulu di dada, sekarang di lidah," sambil membersihkan darah yang mengental hitam dibekas gigitan, Anderson terus saja tergelak tanpa henti semenjak dirinya tiba diruang kerja Bimo.
"Lama-lama, bisa jadi giliran si burung gereja yang digigit sampai putus!" imbuhnya masih tergelak.
"Burung gereja?" Bimo tersentil, tidak terima.
"Jangan kelewatan ya ngatain gue, kenapa tidak burung pipit aja sekalian?" imbuhnya, sambil menahan rasa sakit saat berbicara, menggerak-gerakan lidahnya pelan kesana kemari.
"Nih minum obatnya."
"Apa tidak ada cara lain selain minum pil itu? Suntik misalnya?" Bimo hanya menatap dua pil ditangan Anderson.
"Gak pake cerewet. Loe udah bukan bayi yang musti telan obat sirup. Jarum suntik gak bakal mampu nembus daging loe yang sudah alot itu. Buruan, gue buru-buru mau pulang, udah mau subuh!" paksa Anderson.
Walau terpaksa, Bimo akhirnya menerima. Memasukan pil anti nyeri dan pil antibiotik yang diberikan Anderson kedalam mulutnya, dibantu segelas air demi melancarkan kedua pil itu melewati kerongkongannnya menuju lambung.
"Gue penasaran, seperti apa sih wanita itu? Mampu membuat seorang Bimo Hardi Dinata tidak mengusirnya walau sudah tersakiti berkali-kali oleh gigitannya," Anderson kembali tergelak sendiri, setelah temannya itu selesai meminum obat darinya.
"Tidak perlu penasaran," Bimo tahu Anderson sedang meledeknya, sambil mengeluarkan sebatang rokok dari tempatnya. Detik berikutnya, batang rokok itu ia patahkan menjadi empat bagian, lalu membuangnya ditempat sampah, teringat pesan dokter Jimmy demi kesehatan kejantanannya.
"Aku tidak menjamin kalau kamu akan tetap menjadi suami setia seperti janjimu pada isterimu didepan altar," Bimo menatap nyalang pada Anderson.
Sebagai sahabat, ia tahu benar bagaimana petualangan cinta dokter Anderson, hampir semua pasien perempuan ia goda. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya, wanitalah yang selalu menggodanya.
"Kamu berfikir begitu? Itu tidak mungkin terjadi. Putra pertamaku saja sudah akan menikah besok, aku sudah tidak berfikir hal-hal diluar jalur," sangkal Anderson lalu mengangkat box medisnya.
"Aku pergi dulu, jangan lupa hadir di resepsi pernikahan putra pertamaku besok malam. Kalau pemberkatan nikah, aku yakin kamu tidak bakal hadir disana." Anderson menepuk punggung Bimo.
"Tentu saja, tanpa kamu ingatkan pun. Selain calon menantumu adalah sekretarisku, resepsinya juga di ballroom hotelku ini bukan? Jadi, tidak mungkin aku tidak hadir."
Keduanya berjalan bersama menuju pintu keluar.
Tangan Anderson terangkat melambai begitu pintu lift menutup, menghantarnya menuju basement hotel.
...***...
Suara gemericik air membangunkanku pagi ini. Ruang kosong disebelahku terlihat rapi, tidak ada tanda-tanda jejak seseorang yang tidur semalam disana, sama seperti satu malam sebelumnya, tuan Bimo sepertinya tidak tidur dikamar ini.
Perlahan aku turun dari pembaringan. Pandanganku mengedar, menjelajah segala sudut kamar, mencari sumber suara, karena bukan berasal dari kamar mandi.
Setelah beberapa meter mengarah ke barat kamar tidur super luas ini, aku menemukan presisi tuan Bimo sedang berendam di kolam pemandiannya, dengan punggung lebarnya tegak bersandar pada tepi kolam.
Rupanya, suara gemericik air yang kudengar tadi berasal dari mulut patung lumba-lumba yang seolah sedang beratraksi dipermukaan kolam pemandian pria itu.
Langkahku terhenti, saat sesuatu mengait kakiku hingga tidak bisa melangkah lagi.
"Oh my God! Kenapa bra-ku berpetualang sampai kemari?" aku memekik didalam hati dengan mata melebar. Pantas saja aku tidak menemukannya semalam, aku yakin ini ulah tuan Bimo.
Kemarahanku semalam masih belum mereda, segera kuraih benda itu dari bawah kakiku, dengan gerakan cepat aku menghampiri tuan Bimo yang bergeming membelakangi bak seorang pertapa.
"Hufh! Matilah kamu pria tak punya hati!" tanganku gesit menjerat lehernya, lalu menekan dengan sekuat tenaga bra yang menjadi alat untuk menghabisi pria itu.
Tidak ada pergerakan.
"Apa dia sudah mati sebelum aku membunuhnya?" aku terheran dan mulai panik, cepat melempar bra-ku kesembarang arah, lalu memeriksa lubang hidungnya.
"Oh my God! Bagaimana ini?" aku semakin panik, dia memang tidak bernapas, aku tidak merasakan udara keluar dari lubang hidungnya.
Napasku sudah memburu tidak teratur, aku begitu takut. Terbayang dalam benakku, aku digelandang ke kantor polisi sebagai seorang pembunuh.
Padahal aku tidak berniat membunuhnya tadi, itu hanya ekspresi emosi sesaatku saja, aku hanya ingin membuatnya pingsan dengan menjerat lehernya, supaya aku bisa mencari cara melarikan diri dari tempat ini.
"Hufh!"
Aku tersentak, merasakan tubuhku melayang terbang di udara.
Bum!!!
Byuuurr!!!
Air permukaan kolam pemandian bercipratan hebat menerima hempasan tubuhku, membasahi sebagian besar lantai kamar super mewah milik tuan Bimo ini juga beberapa barang yang ada disekitar pemandian.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" aku terbatuk-batuk, tanganku menggapai-gapai karena sepasang kakiku tidak bisa menyentuh dasar kolam pemandian sejak tadi.
Mata dan wajahku memerah, sementara ingus sudah keluar dari hidungku, menggantikan air kolam yang tertelan mulut juga masuk lewat hidungku.
Disaat aku sudah pasrah, tubuhku lemas dan tidak bertenaga lagi, satu tangan kokoh meraihku dari belakang dan menyeretku ke tepi.
Aku kembali terbatuk-batuk.
"Hiks... Hiks... Hiks..." aku menangis sejadi-jadinya. Dengan kesadaran penuh, aku memeluk tubuh orang yang sudah menolongku.
"Aku benar-benar takut mati! Bagaimana dengan adik-adikku? Siapa yang akan menjaga mereka kalau aku mati seperti Emak dan Bapak?" raungku.
...***...
Bimo hanya menonton dari tepi kolam pemandian. Dirinya yakin, Vina hanya berpura-pura tidak bisa berenang saja.
Tidak sampai enam puluh detik setelah berfikir demikian, mendadak hatinya panik, melihat pergerakan Vina semakin melemah ditengah kolam.
Tanpa kesulitan, Bimo berhasil menyambar tubuh Vina, dan membawanya ke tepi.
Setelah terbatuk-batuk sebentar, dengan ingus keluar dari lubang hidung, gadis itu menangis sesenggukan sambil memeluk tubuhnya.
"Maaf, aku sudah kelewatan..." Bimo balas mendekap erat. Hatinya tidak tahan mendengar kesedihan yang keluar dari mulut gadis yang benar-benar ingin ia lindungi ini.
Bersambung...✍️
syaratnya🤭