"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Confused
Yudha duduk di ruang kerjanya, ia sibuk membolak balik berkas dokumen di tangannya.
Sebagai manajer divisi pemasaran, ia dikenal sebagai sosok pekerja keras. Meskipun perusahaan ini terbilang milik ayahnya, Yudha tidak pernah menggunakan posisi keluarganya untuk mendapatkan jabatan.
Yudha memulai kariernya dari bawah sebagai staf junior bahkan ia melewati masa intern terlebih dahulu sebelum di angkat menjadi karyawan tetap, ia juga melewati berbagai tantangan dan masalah sebelum akhirnya dipercaya memimpin divisi penting ini.
Ruangan Yudha mencerminkan karakter dirinya, terlihat sangat rapi. Di dinding, terdapat papan besar berisi peta pemasaran dan diagram target penjualan. Meja kerjanya dihiasi laptop, tumpukan dokumen, serta penghargaan-penghargaan yang telah diraih divisinya di bawah kepemimpinannya.
Namun hari ini, Yudha tidak bisa fokus. Biasanya, ia akan sibuk membaca laporan, mempersiapkan bahan yang akan di bicarakan saat rapat, atau menghubungi klien. Tapi hari ini, pikirannya tidak bisa fokus. Ucapan Tari terus terngiang di kepalanya.
"Apa hanya karena kita tidur bersama sekali kau jadi mempunyai perasaan padaku?"
Yudha menghela napas panjang, lalu kedua tangannya meremas pelan rambutnya, merasa frustasi. Ia terus mencoba membuang semua pikiran itu dan sebisa mungkin untuk fokus pada pekerjaan nya.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Masuk," ucapnya tanpa mengangkat kepala.
Pintu terbuka, dan seorang wanita berambut pendek masuk dengan langkah perlahan.Tia, staf pemasaran yang sering berkoordinasi langsung dengannya, membawa setumpuk dokumen di tangan. Tia mengenakan blazer dan rok selutut berwarna hitam, terlihat seperti biasanya.
"Pak Yudha, ini laporan tentang rencana produk terbaru yang harus anda periksa," ucapnya sambil meletakkan dokumen di meja.
"Terima kasih," jawab Yudha singkat, nadanya datar tapi ia tetap tersenyum kecil.
Tia melirik Yudha, menyadari ekspresi kalut dari wajah atasannya. "Apakah ada lagi yang perlu saya bantu Pak?" tanyanya hati-hati, takut jika ada kesalahan dari berkas yang diberikan nya.
Yudha hanya menggeleng pelan. "Tidak ada Tia, itu saja, kau boleh pergi. Terima kasih."
Tia mengangguk, lalu melangkah keluar. Namun, sebelum menutup pintu, ia sempat menoleh lagi, menatap Yudha dengan sedikit kekhawatiran. Tapi ia tidak berkata apa-apa lagi lalu menutup pintu dengan pelan.
Setelah Tia keluar, Yudha kembali menatap dokumen di mejanya. Biasanya, analisis pemasaran adalah hal yang membuatnya bersemangat. Mencari cara untuk meningkatkan penjualan, memecahkan masalah, dan mengevaluasi strategi kompetitor adalah keahliannya. Tapi hari ini, melihat semua itu malah membuatnya mual.
Ia menatap ponselnya di atas meja, membuka daftar kontak, dan menemukan nama "Tari". Gerakan Jarinya terhenti, tapi akhirnya ia meletakkan ponsel itu kembali.
"Aku benar-benar harus berhenti memikirkannya?" gumamnya pelan, matanya menatap kosong ke luar jendela besar di ruangan itu.
Sebuah rapat mingguan yang dijadwalkan siang itu seharusnya menjadi fokus utamanya. Ia perlu mempresentasikan strategi pemasaran baru kepada timnya, terutama untuk produk baru perusahaan. Tapi saat ini, bahkan kata-kata yang biasanya mengalir lancar terasa terus berputar di kepalanya.
Yudha menghela napas berat. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Bukankah karena kemampuan bicaranya yang hebat makanya banyak klien yang ingin bekerja sama dengan mereka. Sekarang ia harus menggunakan kemampuan nya itu untuk menyelesaikan masalah nya dengan Tari.
Namun, sebuah keraguan kecil menyelinap ke pikirannya: Apakah Tari benar-benar mau mendengarkan?. Mengingat sifat wanita itu yang seperti kompor dan sangat mudah meledak.
---------
Saat waktu istirahat tiba, Yudha memutuskan untuk makan di kantin. Ia membutuhkan udara segar dan suasana berbeda, berada di ruangannya lebih lama akan membuat benang kusut dalam kepalanya semakin kusut.
Dengan sepiring nasi dan ayam panggang, ia memilih duduk di sudut kursi yang terlihat sepi, ia tidak ingin mengobrol dengan siapa pun saat ini. Dan ia rasa wajah datarnya saat ini sudah mencerminkan bahwa tidak ingin diganggu oleh siapa pun.
Namun, sayangnya ketenangan itu tidak bertahan lama.
"Yo, Bos Muda! Tumben makan di sini, sendirian lagi" suara ceria Angga terdengar dari belakang, sahabatnya sejak SMK, dia bekerja di divisi desainer.
Yudha mendesah pelan, tanpa perlu menoleh ia sudah tahu siapa itu. "Angga, jangan panggil aku bos muda."
Angga langsung duduk di kursi di depannya, membawa nampan berisi makanan penuh. "Lah, emang kau anak bos besar, apa salahnya? Tapi sudahlah, lebih penting ini," Angga mencondongkan tubuhnya sambil tersenyum jail. "Kenapa dengan wajah mu, nggak dapet jatah dari istri kedua mu ya?"
Yudha menatap Angga tajam. "Angga, jangan mulai." Dan memukul kening Angga menggunakan sendok di tangannya.
Angga meringis kecil karenanya, ia mengelus keningnya pelan. Tapi senyum jahilnya tetap bertahan di sana.
"Bro, kau ini hebat juga, ya. Waktu aku lihat Tari, buset hebat banget kamu bisa dapet istri kek gitu, walaupun mukanya judes, tapi dia imut dan apalagi kalau senyum, aku sampe pusing liatnya." Angga membayangkan kejadian saat ia datang ke pernikahan Yudha yang di adakan private sekitar 1 Minggu lalu.
Yudha mendengus kesal, menaruh sendoknya di piring dengan keras. "Jangan berani berpikir begitu tentang tari, dia itu istriku."
Ujarnya menekankan setiap kalimat dari ucapannya.
"Wouhh udah cemburu aja, aku cuma muji aja, nggak ada niat lain ko. Kecuali misal kamu mau cerai sama dia, boleh si kalau aku maju ke depan " Angga menggaruk tengkuknya pelan, terkekeh kecil.
Yudha memijat pelipisnya, berusaha menahan diri untuk tidak melempar nampan ke Angga. "Bahkan dalam mimpi pun aku nggak bakal biarin itu kejadian, dan kalau pun misal terjadi kau adalah orang pertama yang harus ku jauhkan darinya. Dan juga intinya aku nggak bakal pisah sama Tari, jadi jauhkan pikiran mu itu."
Angga menyeringai lebih lebar. "Yakin Pak Yudha, tapi kalau berubah pikiran jangan lupain aku ya."
Yudha menatap Angga tajam. "Angga, aku serius. Jangan bahas tentang istri aku lagi."
"Hei, santai. Aku cuma bercanda. Lagian muka mu keliatan banget kalau ada masalah, dari dulu nggak berubah ’" Angga tertawa keras, membuat beberapa karyawan di kantin menoleh.
Yudha mendesah berat, menyesali keputusan untuk makan di kantin hari ini. Ia tahu Angga suka menggoda nya, tapi pembahasan ini malah membuat pikiran nya semakin kalut.
"Kalau kau nggak punya hal lain untuk di omongin, lebih baik kau makan di atap sana," Yudha berkata dengan maksud mengusir dan mengakhiri lelucon Angga yang tidak lucu menurut nya.
Angga hanya terkekeh, berdiri dengan nampannya. "Oke lah aku pergi ya, Si Nia gebetan aku udah nungguin aku.
Lalu tapi ingat pesanku— misalnya kau perlu saran soal perang istri pertama dan kedua, aku selalu ada untukmu!"
Setelah Angga pergi, Yudha kembali sendirian. Namun, ucapan Angga terus terngiang di kepalanya.
"Cerai?" Hanya memikirkan nya saja sudah membuat nya sesak.
Yudha menghela napas panjang. "Lagian, perasaan ku benar-benar memang nyata kan?" gumamnya pelan, sambil menatap piringnya yang hampir tak tersentuh.
---------
"Kau yakin nggak mau nginap, Ri? Udah jam tujuh malam juga," Tari berjalan mengikuti Riana menuju pintu keluar, terus berusaha menghentikan niat sahabat nya itu. Pandangannya sempat tertuju ke jam dinding.
"Astaga, Tar, udah berapa kali sih kamu nanya ini? Aku nggak bisa. Yudha pulang hari ini, jadi aku mau siapin makan malam buat dia," Sergah Riana sambil tersenyum kecil.
Setelah memakai sepatunya, Riana membuka pintu. Sebelum keluar, ia berbalik sesaat.
"Kapan-kapan ya, pasti aku nginap kok," Riana mengelus pelan puncak kepala Tari.
"Kau memperlakukanku kayak anak kecil," Tari mengerucutkan bibirnya kesal.
"Hahaha, kan emang bener. Umur aja yang tua, tapi kelakuanmu ya gitu,"
"Ya udah deh, hati-hati ya," Tari tersenyum kecil sambil melambaikan tangan. Ia memperhatikan Riana masuk ke lift hingga menghilang dari pandangan.
Tari menunduk, menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Teringat ucapan Yudha tadi pagi—pria itu mengatakan punya perasaan padanya, tentu saja ia tidak percaya. Apalagi dengan keadaan mereka yang baru menghabiskan malam bersama.
"Omong kosong," gumam Tari lirih, senyum getir tersungging di bibirnya.
Tiba-tiba, pintu apartemen sebelah terbuka. Ade keluar, dan mereka langsung bertatapan. Tari memicingkan matanya, merasa jengkel.
"Apa kabar, Tar? Mau makan malam bareng nggak?" Ade memulai pembicaraan dengan senyum kecil di wajah tampannya.
Tari menghampirinya, menyilangkan kedua tangannya di dada, menatap tajam pada pria itu. "Kau sudah bertemu Riana, ya? Apa saja yang kau katakan padanya? Kau suruh dia membujukku, hah, sialan!"
"Wouh, tenang Tar. Aku memang ketemu Riana tadi, tapi cuma ngobrol sebentar kok—kita nggak sengaja papasan di lift, itu aja,"
Tari memicingkan matanya lagi. Omongan pria di depannya sama sekali tidak mudah dipercayai.
"Terserah. Tapi seperti yang kubilang, menjauh lah dari kami berdua."
Saat Tari berbalik, Ade menahan tangannya. Tari sontak berbalik dan menepis tangan Ade dengan kuat.
"Apa yang kau lakukan hah?, jauhkan tangan kotor mu itu dariku" bentaknya tajam.
"Hei kotor?, tanganku bersih tau" Ade tersenyum jengkel tidak terima.
"Lalu apa nggak bisa kau percaya padaku sekali ini aja? Beri aku satu kesempatan aja Tar,"
Tari memandangnya jijik, Seolah meragukan pendengarannya sendiri. "Nggak ada, dan nggak akan pernah ada,"
Ade hanya terdiam, menatap Tari dengan raut wajah sendu. Namun, suasana hening itu pecah oleh suara lift yang terbuka. Sontak membuat keduanya menoleh, lalu Ade melihat kembali ke arah Tari yang terus menatap ke arah Yudha.
Yudha melangkah keluar, wajahnya terlihat terkejut. Ia mendapati Tari dengan wajah kesal, sementara pria tetangga sebelah itu menatap istrinya dengan cara yang jelas membuat Yudha tidak suka.