NovelToon NovelToon
Menjadi Istri Muda Bosku

Menjadi Istri Muda Bosku

Status: tamat
Genre:Tamat / CEO / Cinta Paksa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:7.9k
Nilai: 5
Nama Author: Cecee Sarah

Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lima Belas

“Tidak mungkin! Di dunia ini masih banyak pakaian seperti itu,” kata Karin dengan nada sedikit meninggi, memperlihatkan ketidakpuasan di wajahnya.

“Tenang saja, jangan marah. Aku juga percaya itu bukan kamu,” Jean menepuk bahu Karin dengan lembut, berusaha meredakan suasana.

Karin mendengus kesal, tetapi sedikit demi sedikit dia bisa menarik napas lega. Pikiran bahwa wajahnya akan menghiasi halaman berita membuat jantungnya berdebar. Jika itu sampai terjadi, semua karyawan perusahaan pasti akan heboh, dan itu akan menjadi bencana baginya.

Baru saja, Beni tiba dengan langkah cepat. “Karin, maaf kemarin aku tidak bisa menonton,” ucapnya sambil menatap Karin dengan penuh penyesalan.

“Jadi, kau tidak jadi pergi?” tanya Jean, matanya beralih ke arah Beni.

“Tidak, Tuan Raka tiba-tiba menyuruhku mengambil berkas di kantor,” jawab Beni sambil merapikan rambutnya yang berantakan.

“Aku yakin, menonton sendirian tidak akan menyenangkan,” kata Jean dengan nada menghibur, menggoda Karin yang terlihat semakin kesal.

“Ya sudah, aku pergi ke atas dulu,” kata Karin sambil beranjak dari tempatnya. Dia bergegas keluar dari ruang ganti, tidak ingin berlama-lama menonton acara yang menurutnya membosankan. Film yang seharusnya menyenangkan itu justru membuatnya merasa lebih tertekan. Jika sampai hal yang mengerikan terjadi, mungkin dia tidak akan pernah lagi ingin menontonnya.

“Sepertinya dia benar-benar marah padamu,” Jean mengamati saat Karin pergi. “Padahal aku berpura-pura sakit perut agar kalian berdua bisa lebih dekat.”

“Jadi, kamu hanya berpura-pura?” Beni mengerutkan kening, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

“Aku hanya ingin kalian berdua bisa saling mengenal lebih baik. Ini adalah momen yang tepat, bukan?” Jean menyeringai, sementara Beni hanya bisa menggelengkan kepala.

“Maaf, aku tidak tahu apa-apa tentang rencanamu itu.” Beni merasa sedikit bersalah. Seandainya malam itu Tuan Raka tidak memintanya kembali ke kantor, mungkin mereka bisa menonton bersama dengan lebih santai.

Saat jam istirahat makan siang tiba, Karin memutuskan untuk keluar gedung. Ia merasa perlu menghirup udara segar dan mencari makan siang yang bisa mengembalikan semangat dan staminanya.

Karin melangkah menuju deretan restoran yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Dalam benaknya terlintas keinginan untuk menikmati sesuatu yang pedas dan panas. Ia masuk ke sebuah restoran yang mengeluarkan aroma menggugah selera.

“Selamat datang!” sapa pelayan dengan ramah.

“Saya ingin makanan yang pedas,” Karin menjawab tegas, menatap menu yang dipajang di depan pintu masuk.

Tidak lama setelah itu, pelayan membawa pesanan Karin dan meletakkannya di meja. Karin mengamati makanan di depannya, tidak sabar untuk segera menyantapnya. Aroma mi kuah yang menggugah selera membuat air liurnya menetes.

Namun, saat ia siap untuk menyantap makanan, Beni muncul dengan semangkuk mi yang sama untuk dirinya sendiri. “Bolehkah aku ikut?” tanya Beni, menaruh mangkuk di atas meja. Ia melihat Karin keluar dan memutuskan untuk mengikutinya.

“Tentu saja,” jawab Karin, sedikit terkejut tapi senang karena ada teman.

Mereka berdua mulai menikmati makanan masing-masing dalam keheningan. Suasana terasa nyaman, meski kadang-kadang lebih baik tidak berbicara saat makan.

“Kau tampak tidak bersemangat hari ini?” tanya Beni, memperhatikan Karin dengan saksama. Sejak pagi, ia sudah merasakan ada yang tidak beres dari Karin.

Karin meminum satu botol air mineral hingga habis dan menghela napas panjang, “Aku hanya memikirkan ayahku.”

“Apakah ada masalah?” tanya Beni, merasa cemas dengan nada suara Karin yang suram.

Karin menggeleng pelan, “Ayahku pergi ke desa pamanku,” katanya, menundukkan kepalanya, seolah-olah beban yang ia pikul terlalu berat untuk diungkapkan.

“Benarkah?” Beni terkejut mendengar itu. Ia merasakan kesedihan yang mendalam saat mengetahui Karin ditinggal sendirian. Setiap anak pasti merasa berat jika harus terpisah dari orang tua mereka, terutama ketika mereka harus tinggal sendirian.

Karin hanya mengangguk lesu. Setiap kali ia teringat momen-momen bersama ayahnya, air matanya selalu menggenang. Rindunya akan sosok Ardi sangat dalam, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang.

“Maaf, jika kepergian ayahmu membuatmu merasa sedih. Pasti ada alasan mengapa ia harus pergi,” kata Beni dengan rasa empati, berusaha menghibur tanpa tahu harus melakukan apa.

“Hari ini, biar aku yang traktir,” ucap Beni berusaha mengalihkan pembicaraan yang membuat Karin sedih.

“Benarkah? Kelihatannya uangmu banyak?” Karin merasa sedikit terhibur mendengar Beni menawarkan untuk membayar makanannya.

“Ini sebagai permintaan maaf karena tidak menonton film kemarin,” Beni menjelaskan sambil tersenyum tulus.

“Hah, benar juga. Kau memang harus menebusnya. Bayangkan saja, menonton film horor sendirian! Rasanya seperti merinding sendirian di ruangan gelap,” Karin mengingat betapa terkejutnya dia saat Raka tiba-tiba muncul di sampingnya.

“Sekali lagi, aku minta maaf,” ucap Beni dengan serius.

“Karena kamu sudah memperlakukanku dengan baik, aku akan memaafkanmu,” jawab Karin sambil tertawa, suasana hatinya mulai membaik.

****

Karin sudah berusaha berbaik hati untuk berdamai dengan Raka, tapi niat itu belum terwujud. Apalagi sudah tiga hari Raka tidak kembali ke vila, dan tidak ada satu pesan pun darinya. Hati Karin kembali kesal, dan perasaan ragu mulai menyelimuti pikirannya.

"Dia pasti bersama istri pertamanya." gumam Karin, menatap ponselnya sambil mendesah. Pikiran itu tidak bisa hilang meski dia berusaha berpikir positif tentang suaminya.

Karin duduk di lobi perusahaan, memainkan ponselnya berulang kali. Hening dan kosong, tidak ada pesan atau panggilan yang muncul di layar. Saat itu, Jean datang mendekatinya.

"Heh, itu ponsel baru ya? Lihat dong!" Jean langsung menyambar ponsel dari tangan Karin, memperhatikannya penuh minat.

"Ponsel model terbaru ya? Wah, ini mahal banget, kan?" Jean bertanya takjub.

Karin tersenyum tipis. "Ah, nggak semahal itu, kok," katanya, mencoba meraih kembali ponselnya, tapi Jean justru menghindar sambil terkekeh.

"Serius, ini pasti mahal banget! Dari mana kamu dapat uang buat beli ini, Karin?" Jean semakin penasaran.

"Eh, yaaa... aku kredit. Mana sanggup beli tunai," jawab Karin agak canggung.

Jean menatapnya dengan pandangan curiga. "Jangan-jangan kamu jadi simpanan om-om ya? Haha, awas, loh!"

Karin langsung mengerutkan dahi, "Kamu pikir aku nggak punya harga diri apa?" Ia memelototi Jean, yang hanya tertawa terbahak.

"Wajahmu kocak banget pas marah, Karin! Hahaha," kata Jean sambil terkekeh puas.

"Awas kamu, Jean!" Karin mengejar sahabatnya itu, mencoba memukulnya dengan sapu yang ada di dekat mereka. Mereka berlarian sambil tertawa, seolah lupa dengan pekerjaan mereka.

Namun, tawa mereka terhenti saat melihat Manajer Han berdiri tak jauh dari sana, menatap mereka dengan wajah tak senang.

"Sudah selesai bercandanya? Atau mau saya laporkan langsung ke tuan Raka?" kata Manajer Han dengan nada dingin, melangkah mendekati mereka.

Karin dan Jean segera berbalik dan kembali bekerja, membersihkan aula besar yang akan digunakan untuk pesta ulang tahun perusahaan besok malam. Semua pekerja sibuk menyiapkan dekorasi dan merapikan ruangan.

"Eh, Karin, kamu udah siapin baju buat besok belum?" bisik Jean penuh antusias.

"Untuk apa?" Karin menjawab dengan datar sambil terus menyapu.

"Aduh, ya buat pesta besok, dong! Katanya bakal ada banyak tamu penting, mungkin ada pengusaha muda juga," Jean berbisik sambil tersenyum nakal.

Karin menghela napas, "Ah, mungkin aku nggak akan datang. Aku males banget, lebih baik izin pura-pura sakit saja."

"Huh, kenapa sih? Semua orang kan nunggu acara ini! Masa kamu nggak ikut seru-seruan?" Jean cemberut tak percaya.

"Ya, gitu deh," Karin mengangkat bahu tanpa minat.

Jean menggoda lagi, "Kamu nggak kasihan sama Beni? Kalau kamu nggak datang, dia pasti kecewa!"

Karin tertawa kecil, "Hah? Kenapa harus kecewa?"

"Eh, masa kamu nggak sadar dia suka sama kamu?" Jean tersenyum penuh arti, membuat Karin terdiam.

"Tentu saja tidak, nggak mungkin lah," Karin menggeleng sambil tersenyum kecut.

Tiba-tiba terdengar suara yang sangat dingin dari belakang mereka, "Hei, kalian berdua! Kerja itu kerja, jangan main-main terus!" Manajer Han menegur mereka dengan tajam.

Karin dan Jean tersentak kaget, segera berdiri tegak. Mereka menunduk sambil meminta maaf, sementara Manajer Han menatap mereka dengan sinis.

"Karin, kamu ke kantor Tuan Raka sekarang," kata Manajer Han singkat.

Karin langsung melongo, "Untuk apa?"

"Bukan urusanmu bertanya!" bentak Manajer Han sebelum berbalik pergi.

Jean mendekati Karin dengan wajah penasaran, "Ada apa, ya?"

Karin hanya mengangkat bahu, "Aku juga nggak tahu."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!