Seorang pengangguran yang hobi memancing, Kevin Zeivin, menemukan cincin besi di dalam perut ikan yang tengah ia bersihkan.
"Apa ini?", gumam Kevin merasa aneh, karena bisa mendengar suara hewan, tumbuhan, dan angin, seolah mampu memahami cara mereka berbicara.
"Apakah aku halusinasi atau kelainan jiwa?", gumam Kevin. Namun perlahan ia bisa berbincang dengan mereka dan menerima manfaat dari dunia hewan, tumbuhan, dan angin, bahkan bisa menyuruh mereka.
Akankah ini berkah atau musibah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardi Raharjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekayaan dan Kekuasaan
Kevin tidak segera merespon ucapan Tino. Ia tahu bahwa lelaki ini sangat berbahaya. Namun Kevin masih menunggu, apa yang akan ia lakukan setelah melihat panglimanya tewas di depan mata.
Kepentingan, itu lah yang Kevin baca dalam pujian dan sorot mata Tino.
"Sekarang bagaimana?", tanya Kevin tanpa segan.
"Apanya yang bagaimana, kamu adalah tamu agungku. Datang lah ke sini lagi kapan pun kamu mau. Kuharap kita bisa bekerjasama di masa depan nanti.
Aku berjanji untuk tidak ikut campur urusanmu, bahkan akan membantumu saat kamu perlu. Jadi, kuanggap kita impas. Kamu merobohkan asetku, namun mampu mengalahkan panglimaku. Tentu saja aku akan menepati janjiku", ungkap Tino, lantas berdiri dan melangkah mendekati Kevin tanpa rasa takut.
Jelas Kevin waspada sekarang. Di hadapan orang selicik ini, apapun bisa terjadi.
"Selamat! Aku akan memberimu satu kota kecil untuk kamu pimpin, sama sekali tanpa upeti. Ini murni janji yang kupenuhi. Silahkan kamu buat sesukamu. Pendapatanmu di sana takkan kurang dari seorang walikota Bremlin. Bahkan lebih jika mau bekerjasama denganku. Bagaimana?", jelas Tino, nampak tulus mengucapkan selamat.
Kevin menjabat tangan Tino, namun tidak sepenuhnya percaya kepadanya.
"Tak usah khawatir, aku butuh kontribusimu ke depan. Tentu saja aku akan memberi semua bantuan yang diperlukan asal kerjasama kita berjalan lancar", lanjut Tino, kala melihat keraguan dan kewaspadaan di sorot mata Kevin.
"Pertama, aku tak punya ambisi sebesar dirimu. Aku hanya ingin hidup damai dan sama sekali tak bisa memimpin karena usia, kurangnya pengalaman, juga tak suka dipusingkan dengan kepemimpinan yang penuh tipu daya.
Ke dua, kerja sama yang kamu maksud itu, aku tak ounya kewajiban apapun untuk memenuhinya. Hanya jika aku berkenan tanpa paksaan.
Ke tiga, aku ini petualang, sudah terbiasa menjadi gelandangan. Tidak ada hidup susah yang kutakuti sejak aku remaja. Jadi, bantuan apapun itu, aku berhak menolak atau menerimanya tanpa risiko apapun.
Jika keberatan dengan semua itu, aku hanya ingin kebebasanku pergi dari sini. Jika pun tidak diizinkan, aku siap habis-habisan menghancurkan siapapun yang menghalangiku pergi", tegas Kevin menjelaskan prinsipnya. Ia bukan orang bodoh dan senaif kebanyakan orang, terutama yang haus kekuasaan dan kekuatan yang siap mengorbankan segala hal, padahal tujuan utamanya sama yakni kedamaian.
Bagi Kevin, jadi yang terkuat dan ditakuti semua manusia bukan lah sesuatu yang menarik. Bahkan itu sama sekali tidak berguna jika hanya menjadikan banyak musuh dan hilangnya ketenangan.
"Hahaha, kamu naif sekali, Kevin. Bahkan kamu butuh batu permataku untuk memulihkan kekuatanmu bukan?", ucap Tino yang telah mempelajari perilaku Kevin. Baik kota atau pun kawasan hutan Dorman, semua ada dalam kekuasaan Tino.
Nampak sorot mata Kevin sedikit terkejut, berasumsi bahwa Tino menilai kebiasaannya bertengger di atas pohon hutan Dorman ketika terluka, bukan mengetahui rahasia cincin keramatnya. Terlebih, cincin itu takkan lepas dari Kevin kecuali jarinya dipotong atau meninggal.
"Kamu tak perlu khawatir. Aku sudah tahu rahasia hutan Dorman. Jadi, meski harus pergi pun itu tidak masalah bagiku", sahut Kevin, menunjukkan kemampuannya tidak bergantung pada kebaikan Tino.
Walikota Dorman terdiam sejenak. Pemuda ini benar-benar keras kepala dan susah dikendalikan.
"Ya, apapun syaratmu itu, aku menghormati keputusanmu. Jadi, apa kamu bersedia saat kumint bantuan, terlepas apapun syaratmu itu?", Tino nampak mundur selangkah agar subyek penelitiannya ini tidak menggila.
"Nah, itu lebih baik kedengarannya. Baik lah. Bagaimana kamu akan menghubungiku? Jangan katakan kamu akan memberiku alat pelacak!", ujar Kevin. Mesi ia gelandangan, ia sudah pernah mendengar banyak hal terkait teknologi.
"Hahaha, semua teknologi digital seluler atau satelit saat ini bisa kulacak. Apa kamu pikir akan selalu membawa merpati seperti zaman kuno?", ejek Tino. Jelas semua piranti telekomunikasi pasti terhubung dan sangat mudah baginya untuk melacak meski ada vendor yang mengklaim menjaga privasi. Posisi mereka akan langsung terbaca setelah terkoneksi dengan tower atau satelit.
"Itu urusanmu, aku tak ingin pusing. Kamu bisa menyuruh satu cyborg untuk mengabariku. Usahakan itu adalah mutan dengan teknik pelacakan primitif yang paling canggih. Meski kamu memberiku satu kota sekali pun, aku mungkin takkan betah berada di sana dalam waktu lama", jelas Kevin lantas melangkah pergi.
"Bawa lah kami tuan!", Keny dan Bella tiba-tiba muncul dan menghadang langkah Kevin dalam posisi menghadap sudut. Karena Kevin yang fokus melirik Tino, kedua lengannya malah menyentuh benda kenyal mereka. Tak ayal saat wajahnya menoleh, jarak wajah mereka hanya beberapa senti saja.
"Duh! Bikin kaget saja!", ucap Kevin dengan wajah memerah lantas cepat melangkah mundur.
Tino memang memberi isyarat agar kedua perempuan itu mendekati Kevin.
"Kami kesepian tanpa tuan. Tolong bawa kami ke manapun tuan berkelana", pinta Bella.
"Ck! Aku tidak bodoh meski tidak rupawan. Kalau pun tidak menjadi alat pelacak, kalian akan menghambat langkahku", tegas Kevin. Dia bukan tidak tertarik pada lawan jenis, melainkan bisa membedakan mana motif cinta atau sekedar kepentingan materi.
Kedua perempuan itu tak bisa menjawab. Jelas terlihat di mata mereka bahwa perkataan manis itu hanya bualan karena kepentingan. Tentu saja Kevin sudah menduganya dan berlalu meninggalkan ruangan.
"Satu lagi, kendalikan saudaramu itu. Lain kali kepalanya bisa copot tanpa ia sadari", ujar Kevin yang menoleh ke arah Aldo sebelum meninggalkan ruangan.
"Hufh", Kevin menghela nafas panjang saat melangkah meninggalkan area terlarang.
"Kuat juga api sendawaku", puji Kevin dalam hati. Meski bangga, Kevin tahu bahwa dirinya harus giat berlatih untuk meningkatkan kemampuannya.
"Setelah ini, aku harus mencari sumber energi selain batu permata itu", lirih Kevin yang kini telah melangkah keluar gerbang kota Dorman dan segera memulihkan kekuatan di atas pohon.
Di dalam fasilitas khusus, Tino memanggil Bella dan Keny.
"Kalian temui Kevin dan berikan ini", ucap Tino seraya memberikan kartu debit warna emas bertuliskan Dorman‘s. Kartu itu bersaldo senilai 6 juta koin besar Dorman atau senilai 18 triliun uang fiat. Juga satu token penguasa kota Brown yang takkan dibantah siapapun penguasa lama di sana.
"Dia penguasa kota Brown sekarang. Kalian adalah pelayannya. Tidak perlu melapor apapun kepadaku dan sesegera mungkin miliki anak darinya. Saat itu, aku akan mengambil zigot kalian. Ingat, gunakan cara apapun untuk mendapatkan benihnya!", Tino jelas tidak peduli cara apa yang kedua perempuan itu gunakan, hanya hasil yang terpenting.
"Apa yang harus kami lakukan jika Kevin menolak pemberian tuan?", Keny merasa butuh instruksi khusus. Mereka berdua bukan cyborg, hanya mutan yang dimodifikasi untuk misi penyelidikan dan khususnya penampung benih spesimen spesial seperti Kevin. Sama seperti mutan lelaki, jika dia bisa mendapat anak yang cukup matang dan mengambil darahnya sebagai vaksin, maka mereka akan lebih kuat dan aman dari efek batu iradiasi yang bisa meracuni mereka.
"Lakukan apa saja kecuali konfrontasi langsung. Kalian bukan tandingannya. Misi kalian hanya menjadi pendampingnya selama mungkin. Tenang saja, dia masih sangat muda dan naif. Kelembutan kalian akan membuatnya iba", tegas Tino dan mengibaskan tangan, isyarat agar mereka segera menyusul Kevin.