Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 20
“Nadira!”
“Astaghfirullah, bikin kaget aja.” Nadira mengusap dada berulang kali, ia begitu terkejut tatkala mendengar sebuah suara memanggil namanya lirih. Terlalu sering mendapat gangguan mistis memang membuatnya gampang terkejut dan menjadi lebih penakut.
Nadira sedikit kesal saat melihat Indra justru menertawakannya, suara lirih tadi memang milik lelaki itu yang dengan sengaja menakutinya. “Ngapain kamu disini? nggak pulang? mau nginep?”
“Tanya satu-satu!” bentak Nadira sewot. Sedikit melirik Rendra yang berdiri tenang di samping Indra.
“Kenapa masih disini?” Kali ini Rendra yang bertanya, lelaki itu mengenakan pakaian baru yang belum pernah dilihat Nadira selama ini. Jujur saja di mata gadis itu Rendra tampak semakin menawan.
“Nadira Indri… di tanya malah bengong!” tegur Indra melambaikan tangan di depan wajah Nadira.
“Ah, i-itu… pak lek nggak bisa jemput. Tapi, aku sudah kirim pesan pada ibu kok, belum dibaca sih, mungkin masih belum selesai acara yasinannya. Nanti kalau sudah baca pasti ibu jemput.”
“Kami antar aja gimana? kebetulan kita mau ke rumah Kang Naim. Lewatin rumah kamu kan?”
Nadira mengangguk, tapi ia masih ragu untuk menyetujui ajakan ini. Pasalnya Rendra hanya diam, yang mengajak dirinya adalah Indra. Ia lantas menatap Rendra seolah meminta persetujuan, dan Rendra pun segera mengangguk menyadari gadis di depannya merasa segan.
“Baik, kita berangkat sekarang!” ucap Indra berjalan terlebih dulu. Nadira tersenyum, mencoba mengimbangi langkah kaki Rendra yang begitu lebar. Sebenarnya cukup menyedihkan mendengar percakapan Rendra dengan Roy tadi, tapi Nadira mengutuk hatinya yang begitu bucin pada Rendra. Sehingga dengan begitu mudah merubah perasaan sedih menjadi bahagia hanya dengan berdekatan dengan lelaki itu.
Meski sepanjang perjalanan mereka hanya diam, tak jadi masalah bagi Nadira. Sementara Indra yang berjalan di depan terus berceloteh dalam hati, menganggap dua manusia di belakangnya itu begitu bodoh. Sudah diberikan kesempatan untuk berbincang malah memilih melakukan lomba diam seperti ini.
“Nah, kita sudah sampai,” kata Indra begitu mereka sampai di depan pintu samping rumah nenek Ratih.
“Terima kasih Kak Rendra, kak Indra. Sudah antar aku pulang, ehm… mau mampir dulu?”
“Nggak usah, sepertinya kamu juga sendiri kan di rumah, nggak enak dong kalau kita berdua malah mampir. Ya kan Dra?” Rendra melirik temannya, sedangkan Indra hanya menggelengkan kepala. Ia menganggap Rendra tak peka, padahal dirinya sangat memahami jika Nadira kini pasti tengah takut berada di rumah sendiri.
Meski begitu Indra enggan protes, selain alasan Rendra benar adanya ia sendiri juga masih merinding setiap kali mengingat kejadian malam itu. Bayangan bercak darah dan aroma anyir tak bisa hilang dari memorynya, dan mungkin akan menjadi pengalaman horor yang tak terlupa seumur hidup.
“Baiklah, kalau begitu aku masuk dulu ya Kak,” ucap Nadira.
“Oke, oh iya Dira kalau ada apa-apa hubungi kami. Mengerti?” Indra menunjukkan ponsel di tangannya, Nadira mengangguk setuju lantas masuk ke dalam rumah.
Kedua lelaki itu melanjutkan perjalanan ke rumah salah satu pengurus masjid untuk menyampaikan pesan kyai Usman, yang kebetulan lokasinya tak begitu jauh dari rumah Nadira.
Kini Nadira sendiri di dalam rumah, gadis itu tak lantas masuk ke dalam kamar. Melainkan duduk di sofa sambil kembali mengecek ponselnya, melihat bagaimana ibunya belum juga membaca pesan darinya. Tapi saat itu juga, Nadira justru mendengar suara dari arah toko. Perasaannya mulai tak nyaman, gadis itu berjalan pelan mendekati pintu toko yang tak terkunci.
“Ibu, apa itu ibu?” Nadira mencoba membuka pintu sedikit lebih lebar. Mengintip ke dalam toko tapi tak menemukan siapapun disana.
“Nenek… Ibu…” teriaknya lagi, kali ini ia berjalan ke kamar neneknya, lantas ke dapur. Dan sepertinya ia memang hanya seorang diri di rumah itu, Nadira mulai resah, bulu halus disekujur tubuhnya terasa meremang.
Ia bergegas kembali ke ruang tamu, meraih ponsel yang tergeletak disofa. Mencari nomor ponsel ibunya dan membuat panggilan, tersambung tapi tidak ada jawaban. “Ibu, ibu dimana sih?” gumamnya lirih hampir menangis.
BRAK… BRAK…BRAK…
“Astaghfirullah, suara apa itu?”
Suara yang berasal dari dalam toko itu terdengar begitu nyaring, Nadira memberanikan diri melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dan ia mendapati ibunya tengah berdiri di tangga teratas sedang mencoba membuka segel kayu menuju lantai dua. Detak jantungnya berantakan, ia yakin tadi tak melihat siapapun di tempat ini. Lantas, wanita di atas sana itu siapa? benarkah itu ibunya?
“I-ibu, sejak kapan ibu ada disini? kok Nadira tadi nggak lihat?” tanya Nadira gugup, keringat dingin membanjiri tubuhnya yang terbungkus gamis baru pemberian Wijaya.
Ibunya hanya menoleh sekilas, terlihat aneh sebab mukanya datar tanpa ekspresi. Nadira yakin itu bukan ibunya, tapi entah kenapa pikiran dan hati seolah tak sinkron. Ia justru berjalan mendekat, kembali bertanya apa yang sebenarnya sedang ibunya lakukan.
BRAK….
Pukulan terakhir membuahkan hasil, Nadira baru tersadar jika sosok yang menyerupai ibunya ini merusak segel tanpa bantuan alat. Tangan pucat itu begitu kuat, membongkar kayu penghalang dan melemparnya kebawah, lantas membuka pintu dan masuk ke dalam ruang gelap di lantai dua.
“Ibu! ibu mau kemana?” Nadira begitu geram, kakinya berjalan tak terkendali. Ia justru mengikuti jejak sosok yang menyerupai ibunya ke dalam ruangan gelap dan kotor itu. Ia bahkan menyalakan senter dari ponsel, tapi aneh… Nadira kehilangan jejak. Ia berputar-putar mencari dimana ibunya seperti orang yang sedang kebingungan.
Pikirannya mendadak kacau, tak bisa lagi berpikir jernih. Bahkan kini ia mendengar suara tawa wanita cekikikan di samping telinganya, Nadira merasa pusing dan mual di waktu bersamaan. Ia jatuh terduduk, tubuhnya lemas dan kepala berkunang-kunang, gadis malang itu pingsan dalam kegelapan.
***
Kendaraan tua milik Sukma baru saja memasuki halaman rumah, Sukma turun dari mobil dengan dua keranjang kecil penuh berisi buah dan kue yang di dapatnya dari acara yasinan di rumah mbah Ratri.
“Hati-hati Ibu, sini biar Sukma bantu bawa buahnya.” Sukma menerima keranjang kecil dari tangan ibu mertuanya, lantas membantu wanita itu turun dari mobil.
“Loh, itu kayak sandal Dira ya Bu. Dia pulang sama siapa?” gumam Sukma, ia memang berniat menjemput putrinya setelah mengantar nenek Ratih pulang terlebih dulu, ibu mertuanya itu berulang kali mengeluh lelah dan ingin segera berisitirahat.
“Kamu benar, apa dia dijemput Wijaya?” Nenek Ratih mengembalikan pertanyaan.
Sukma menggeleng, lantas keduanya segera masuk ke dalam rumah. “Dira Nak… kamu sudah pulang? Lantang suara Sukma memenuhi ruangan, setelah meletakkan buah diatas meja ia segera masuk ke kamar putrinya. Namun, tak menemukan siapapun disana.
“Ada Sukma?”
“Nggak ada Bu,” jawab Sukma mulai panik.
“Jangan panik dulu, coba kamu lihat di dapur atau di kamar mandi. Mungkin dia nggak dengar suara kita,” usul nenek Ratih lagi. Sukma mengangguk dan berlari menuju dapur. Namun, tak terlalu lama hingga ia kembali dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
“Ibu, nggak ada,” ucapnya terengah-engah.
“Sukma, di toko coba!”
Sukma berlari menuju toko kue, ia sempat terkejut kala menyaksikan pintu toko yang seingatnya sudah terkunci kini terbuka lebar. Sukma segera masuk dan tercengang menyaksikan beberapa kayu berserakan di lantai tokonya.
“Astaghfirullah, apa ini?” ucapnya lantang. Nenek Ratih yang mendengar suaranya bergegas menyusul sang menantu, ia pun tak kalah terkejut menyaksikan pemandangan aneh ini.
“Kayu apa ini Sukma?” tanyanya kemudian. Sukma melihat ke arah pintu menuju ruang lantai dua, nenek Ratih mengikuti gerak matanya.
“Astaga, Nadira!”
Perasaan seorang ibu memang begitu kuat, Sukma yakin putrinya ada di sana. Ia segera berlari menaiki tiap anak tangga menuju ruangan gelap di lantai dua itu. Sukma melihat ke dalam, ia lantas menjerit melihat putrinya tergeletak di atas bangunan kotor dan berdebu itu.
“Nadira!!”
.
Tbc