Kinanti, seorang gadis sederhana dari desa kecil, hidup dalam kesederhanaan bersama keluarganya. Dia bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup.
Kehidupannya yang biasa mulai berubah ketika rencana pernikahannya dengan Fabio, seorang pria kota, hancur berantakan.
Fabio, yang sebelumnya mencintai Kinanti, tergoda oleh mantan kekasihnya dan memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka. Pengkhianatan itu membuat Kinanti terluka dan merasa dirinya tidak berharga.
Suatu hari, ayah Kinanti menemukan sebuah cermin tua di bawah pohon besar saat sedang bekerja di ladang. Cermin itu dibawa pulang dan diletakkan di rumah mereka. Awalnya, keluarga Kinanti menganggapnya hanya sebagai benda tua biasa.Namun cermin itu ternyata bisa membuat Kinanti terlihat cantik dan menarik .
Kinanti akhirnya bertemu laki-laki yang ternyata merupakan pengusaha kaya yaitu pemilik pabrik tempat dia bekerja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Kedatangan Tamu tak di undang
Kinanti benar-benar terkejut ketika pria yang disebut sebagai cucu Nenek Lastri adalah Pak Zayn, bos arogan yang selama ini dikenal tegas dan nyaris tak tersentuh. "Pak Zayn?" gumam Kinanti pelan, hampir tak percaya.
Zayn menatap Kinanti dengan alis terangkat, lalu tersenyum kecil, seolah menikmati ekspresi terkejut Kinanti. "Kinanti? Jadi kamu yang menolong Nenek waktu itu?"
Kinanti mengangguk pelan, wajahnya memerah karena malu. "Saya tidak tahu kalau beliau adalah nenek Anda, Pak. Saya hanya... kebetulan lewat."
Nenek Lastri memandangi keduanya dengan senyum penuh arti. "Wah, kalian sudah saling kenal? Dunia ini memang sempit, ya! kenapa kamu nggak bilang kalau kalian sudah kenal?"
Zayn, yang dipanggil dengan nama kecilnya oleh sang nenek, hanya tersenyum tipis. "Saya juga baru tahu, Nek. Tapi terima kasih, Kinan, karena sudah membantu Nenek waktu itu."
Kinanti merasa canggung dengan situasi ini. Zayn, yang biasanya terlihat dingin dan sulit didekati, kini berbicara padanya dengan nada yang lebih lembut. Ia juga merasa tak nyaman di bawah tatapan intens Zayn, yang sepertinya memperhatikan setiap detail dirinya.
"Ah, itu bukan apa-apa, Pak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan," jawab Kinanti cepat, mencoba mengalihkan perhatian.
Namun, Nenek Lastri tampaknya tak mau melewatkan kesempatan ini. "Zayn, Kinanti ini gadis yang baik sekali. Nenek suka sekali padanya. Kamu harus lebih sering ngobrol dengan dia. Siapa tahu, kan?"
Zayn terkekeh pelan, sementara Kinanti semakin gelisah. "Nenek, jangan bercanda seperti itu. Saya hanya karyawan biasa," ujar Kinanti dengan nada gugup.
Zayn menatapnya sejenak sebelum berkata, "Kalau begitu, mungkin kita perlu waktu lebih banyak untuk mengenal satu sama lain. Lagipula, saya belum cukup berterima kasih karena kamu sudah membantu Nenek."
Kinanti hanya tersenyum tipis, tak tahu harus menjawab apa. Situasi ini terasa begitu aneh dan tidak terduga. Dalam hatinya, ia berharap ini hanyalah percakapan biasa, meski ia tak bisa menghilangkan perasaan canggung setiap kali berhadapan dengan Zayn.
Sementara itu, Zayn tampak menikmati momen ini. Pandangannya terhadap Kinanti berubah. Gadis yang selama ini dianggapnya keras kepala dan pemalu ternyata memiliki sisi lain yang menarik, sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja.
Kinanti meminta izin pada Nenek Lastri untuk pergi ke kantin, dengan alasan hendak membeli makan siang untuk ibunya yang masih menjaga sang ayah. Nenek Lastri hanya tersenyum penuh pengertian. Namun, saat Kinanti keluar dari ruangan, Zayn tiba-tiba melangkah mengikutinya.
"Kamu mau ke kantin? Saya ikut," kata Zayn dengan nada datar, membuat Kinanti tertegun sejenak.
"Pak Zayn, nggak perlu. Saya cuma sebentar beli makan," jawab Kinanti gugup, merasa tak nyaman dengan kehadirannya.
Zayn tidak menggubris penolakannya. "Santai saja. Saya juga lapar, kebetulan."
Akhirnya, Kinanti menyerah dan membiarkannya ikut. Mereka berjalan berdampingan di koridor rumah sakit. Selama beberapa saat, hanya keheningan yang mengisi perjalanan mereka, sampai Zayn membuka pembicaraan.
"Bagaimana kondisi ayahmu sekarang?" tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya.
Kinanti menoleh sedikit ke arahnya, agak terkejut dengan pertanyaan itu. "Sudah membaik, Pak. Sekarang sedang diobservasi di ICU setelah operasinya selesai. Terima kasih... atas bantuannya."
Zayn mengangguk ringan. "Saya senang kalau operasinya berjalan lancar. Tapi, Kinan, kamu tidak perlu merasa berutang apa pun pada saya. Apa yang saya lakukan, hanya karena... saya menghargai kerja kerasmu."
Kinanti terdiam, merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam nada suara Zayn. Ia menunduk sedikit, mencoba mengalihkan pandangan agar tidak canggung. "Tapi tetap saja, Pak. Saya sangat bersyukur."
Zayn menatapnya sejenak, memperhatikan ekspresi lembut di wajah Kinanti. "Kamu selalu seperti ini, ya? Merendah dan terlalu memikirkan orang lain. Kadang, kamu juga harus belajar menerima bantuan tanpa merasa terbebani."
Kinanti hanya tersenyum kecil. "Saya hanya tidak ingin bergantung pada orang lain, Pak. Hidup saya... ya, begini adanya. Semua harus saya usahakan sendiri."
Obrolan mereka terhenti sejenak saat mereka tiba di kantin. Zayn membiarkan Kinanti memilih makanan untuk ibunya, sementara dia hanya memperhatikan dari kejauhan. Setelah selesai, mereka berjalan kembali ke ruangan.
"Kinan," panggil Zayn tiba-tiba, menghentikan langkahnya.
Kinanti menoleh, bingung. "Iya, Pak?"
Zayn ragu sejenak sebelum berkata, "Kalau ada masalah lagi, jangan ragu untuk menghubungi saya. Bukan hanya karena saya bosmu, tapi... saya ingin membantu."
Kinanti tertegun mendengar kata-katanya. Ia hanya bisa mengangguk pelan sebelum melanjutkan langkah, hatinya dipenuhi rasa campur aduk yang sulit dijelaskan.
Kinanti bergegas menuju ruang tunggu pasien setelah membeli makanan di kantin. Setibanya di sana, ia menyerahkan makanan kepada ibunya yang tampak lelah setelah semalaman menjaga ayahnya. Sang ibu tersenyum tipis sebagai ucapan terima kasih, namun kekhawatiran di matanya masih jelas terlihat.
"Ayah masih di ICU, Bu. Kita harus terus berdoa agar kondisinya segera stabil," ujar Kinanti sambil menggenggam tangan ibunya.
Namun, suasana mendadak berubah ketika tiba-tiba Fabio muncul di ambang pintu ruang tunggu. Kinanti langsung merasa tegang melihat mantan kekasihnya itu, yang kini berdiri dengan ekspresi khawatir.
"Kinanti, aku dengar soal ayahmu. Aku ke sini untuk memastikan kamu baik-baik saja," ucap Fabio dengan nada yang terdengar tulus.
Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya agar tidak terpancing emosi. "Fabio, kamu nggak perlu datang. Semua sudah terkendali."
"Tapi operasi jantung itu mahal, Kinanti. Aku tahu kamu pasti kesulitan. Aku bisa—"
"Stop!" potong Kinanti tegas. Tatapannya tajam, meski suaranya tetap terkendali. "Aku tidak butuh bantuanmu, Fabio. Aku sudah punya caraku sendiri untuk menyelesaikan masalah ini."
Fabio tampak terkejut, tapi ia tidak menyerah. "Aku hanya ingin membantu. Kamu tahu, aku masih peduli padamu."
Kinanti mengepalkan tangan, menahan rasa jengkel yang semakin memuncak. "Kalau kamu benar-benar peduli, kamu tidak akan memperumit keadaan. Ayah saya sedang sakit, Fabio. Tolong, jangan buat masalah di sini."
Melihat keteguhan di wajah Kinanti, Fabio akhirnya mengalah. Ia menghela napas berat, lalu melangkah mundur menuju pintu.
"Baiklah, kalau itu maumu. Tapi kalau kamu butuh apa-apa, kamu tahu harus menghubungi siapa," katanya sebelum pergi meninggalkan ruang tunggu.
"Tidak akan, saya takkan pernah minta bantuan kamu, silahkan pergi!"
Kinanti menghembuskan napas lega setelah Fabio pergi. Ia kembali duduk di samping ibunya, mencoba menenangkan dirinya.
"Ibu, maaf kalau tadi sedikit berisik," ucap Kinanti pelan.
Sang ibu hanya menggeleng, memegang tangan Kinanti dengan penuh kasih sayang. "Tidak apa-apa, Nak. Kamu sudah berbuat yang terbaik untuk keluarga ini. Ibu tahu kamu kuat."
Kinanti tersenyum tipis, meskipun hatinya masih terasa berat. Ia tahu, perjuangannya masih jauh dari selesai.
Baru saja Fabio pergi dari ruang tunggu pasien, tiba-tiba dia berpapasan dengan Citra dan ibu mertuanya. "Mas Fabio?"
Bersambung....
di awal minggu depan mulai pindah ke kantor pusat... ternyata mbulettt
di awal nenek lastri.. sekarang nenek parwati.. 😇😇😇
nyong mandan bingung kiye...