"Aku dimana?"
Dia Azalea. Ntah bagaimana bisa ia terbagun di tubuh gadis asing. Dan yang lebih tidak masuk akal Adalah bagaimana bisa ia berada di dunia novel? Sebuah novel yang baru saja ia baca.
Tokoh-tokoh yang menyebalkan, perebutan hak waris dan tahta, penuh kontraversi. Itulah yang dihadapai Azalea. Belum lagi tokoh yang dimasukinya adalah seorang gadis yang dikenal antagonis oleh keluarganya.
"Kesialan macam apa ini?!"
Mampukah Azalea melangsungkan kehidupannya? Terlebih ia terjebak pernikahan kontrak dengan seorang tokoh yang namanya jarang disebut di dalam novel. Dimana ternyata tokoh itu adalah uncle sang protagonis pria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon queen_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OMB! (12)
Selamat membaca
*****
Caramel melangkah gontai memasuki kediaman Dirgantara. Wajahnya terlihat begitu lelah dengan kondisi pakaiannya yang sangat berantakan. Ia celingak celinguk melihat ke sana kemari memastikan bahwa belum ada orang di sekitarnya.
"Ini masih sangat pagi, mereka pasti belum bangun," gumam Caramel melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 5 pagi. "Aku harus segera ke kamar sebelum ada yang melihat."
Caramel berjalan ke arah tangga dengan terburu-buru. Tapi seketika ia terbelalak melihat AUris yang berdiri di tengah anak tangga sambil tersenyum manis padanya. Caramel mengepalkan tangannya kuat."Sial! Kenapa dia selalu ada di mana-mana?!"
Caramel terus berjalan seolah-olah tidak mengetahui bahwa Auris ada di sana.
"Di bayar berapa Car? Tumben pulang pagi-pagi."
Caramel berhenti dan berbalik. Ia menghadap Auris dan menatap tajam perempuan di hadapannya. "Apapun yang aku lakukan tidak ada urusannya denganmu Auris! Jadi tolong berhenti mengurusiku!"
Auris memasang wajah bingungnya, "Siapa yang mengurusi mu? Aku kan hanya bertanya? Lagipula wajar saja aku mengurusimu, kau kan sepupu ku Car. Aku peduli pada mu tahu." Auris memasang wajah cemberutnya yang semakin membuat Caramel kesal. Padahal dalam hati ia benar-benar senang melihat wajah Caramel sekarang. Auris sengaja mengatakan kata-kata yang selalu Caramel katakan pada Auris.
"Kau?! Kenapa kau selalu membuatku kesal?!" sentak Caramel dihadapan Auris.
Auris menghela napas pelan. Ia memegang kedua lengan Caramel, "Kalau mau memarahiku jangan sekarang Car. Lebih baik kau masuk ke kamar mu sebelum semua orang bangun dan melihatmu dalam kondisi seperti ini."
Perkataan Auris sukses membuat Caramel mendadak pucat. Ia menghempaskan tangan Auris dan berlari cepat menaiki tangga.
Auris sendiri tersenyum sambil menuruni tangga. Moodnya sangat baik sekali setelah bertemu dengan Caramel tadi. "Teruslah bermain sampai kau terjebak dengan permainanmu sendiri Caramel."
*****
Auris sampai di kediaman Alessandro. Ia langsung memasuki kediaman bos nya itu tanpa di suruh. Melaksanakan tugasnya secara berurutan. Hingga akhirnya ia berada di dalam kamar Aldrick sekarang.
Auris menggeleng pelan. Tidur tanpa atasan memang sebuah kebiasaan bagi Aldrick. Hal itu membuat Auris menghela napas setiap kali ia masuk ke kamar bosnya itu.
"Sepertinya aku harus mempersiapkan hati setiap masuk ke sini," lirih Auris mulai membuka lemari dan mengambil setelan kantor untuk Aldrick. Kemudian mengambilkan sebuah dasi yang menurutnya cocok.
"Sepertinya ini co- Astaga!" Auris terkejut melihat Aldrick yang sudah berdiri di hadapannya. "Mengagetkan saja!" Auris meletakkan dasinya. Ia beranjak keluar karena ternyata Aldrick sudah bangun dan itu artinya ia harus menunggu di meja makan. Namun belum sempat ia melangkah lebih jauh, tangannya lebih dulu di tarik oleh Aldrick hingga wajahnya menabrak dada bidang Aldrick.
"Aduh, keras sekali."
Aldrick terkekeh kecil, ia langsung mengelus dahi Auris dan meniupnya.
Auris yang sadar apa yang ada dihadapannya seketika meneguk ludahnya kasar. "Gila! De-lapan?" Tanpa sadar Auris menggerakkan tangannya menuju tubuh Aldrick. Ia mengelus pelan roti sobek di hadapannya.* "Keras dan sangat berbentuk."*
"Kamu suka?"
Auris mendongak dan mengangguk beberapa kali. Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman membuat Aldrick ikut tersenyum.
"Kalau begitu ini milikmu."
Auris tersenyum dan mengalungkan tangannya di leher Aldrick. Menatap pria di depannya dengan tatapan menggoda. "Benarkah?"
Aldrick mengangguk sambil merengkuh pinggang ramping Auris agar sekretarisnya itu semakin dekat padanya.
Mendengar hal itu Auris berteriak kegirangan dalam hati. Ini adalah sebuah keberuntungan untuknya. Ia menyentuh bibir Aldrick dengan jari telunjuknya, "Kalau begitu, ini juga milikku."
Cup
*****
Bian terbangun dari tidurnya. Menatap sekitarnya dengan bingung. Perlahan ia merubah posisinya menjadi duduk dan bersandar di kepala kasur. Ia dikejutkan dengan tubuhnya yang tanpa busana sama sekali.
Ia memegang kepalanya mengingat apa yang terjadi semalam. Seingatnya ia berada di sebuah club bersama Caramel dan meinum-minum bersama gadis itu. Tapi kenapa sekarang ia bisa di sini? Apa ia melakukan hal itu dengan Caramel sehingga Caramel marah dan pergi lebih dulu?
"Sial! Apa yang terjadi sebenarnya?!"
Bian menghela napas frustasi. Sunggu ia sangat takut jika dirinya benar-benar melakukan hal itu dengan Caramel.
"Tidak, aku harus memastikan semuanya."
Bian bangkit dan mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya. Ia segera pergi dari sana dengan terburu-buru untuk memastikan semuanya.
Berkali-kali Bian mencoba menghubungi Caramel. Bian menelepon dan mengirim pesan berharap Caramel menjawab salah satunya. Tapi sayang tidak ada balasan dari Caramel.
"Sialan!"
*****
Ritual sarapan berjalan lancar. Semua anggota keluar makan dengan tenang kecuali Caramel yang gelisah.
Sedari tadi Caramel tidak berhenti melirik ke sana-ke mari melihat anggota keluarganya bergantian. Perasaan takut melanda hatinya ketika semuanya diam sejak tadi. Bahkan Sofia sendiri juga tidak berbicara apapun sejak tadi padanya. Biasanya wanita itu pasti akan memeluknya atau bahkan mengambilkan makanannya. Tapi tadi Sofia tidak melakukan itu.
Sekitar 20 menit sarapan berlangsung, satu persatu dari anggota keluarga menyudahi sarapan mereka.
"Kumpulah di ruang keluarga setelah ini." Alex menatap sekilas Caramel kemudian bangkit dari kursinya diikuti Zanna yang berjalan di belakangnya.
Satu persatu semoa anggota keluarga muka memenuhi ruang keluarga, kecuali Aron yang memang susah berangkat sejak pagi ke kantor.
Caramel duduk sambil memilih bajunya dengan gelisah. Ia hanya berani menundukkan kepalanya.
"Caramel," panggil Alex.
Perlahan Caramel mendongakkan kepalanya menatap Alex. "Iya om?"
"Darimana kamu semalam?"
Semua orang memusatkan perhatian terhadap Caramel sembari menunggu gadis itu menjawab.
"Tenang car. Katakan apapun, mereka pasti akan percaya. Ya, mereka akan percaya padaku." "Aku pergi ke rumah Naina."
"Ke rumah Naina? Kamu yakin? Auris mengatakan jika ia bertemu dengan Naina di cafe. Jadi kamu-"
"Aku memang pergi ke rumahnya sebentar. Lalu setelah itu dia memang pergi ke cafe dan aku pun juga pergi."
"Kemana?"
Caramel berusaha tetap terlihat tenang agar mereka tidak mencecarnya terus menerus. "Aku pergi ke rumah Karina, dan kebetulan aku juga lupa waktu hingga aku menginap di sana." Caramel tersenyum. "Kalian bisa menanyakannya pada Karina jika tidak percaya."
Setelah itu suasana kembali hening.
"Kami percaya," kata Alex tersenyum tipis. "Tapi lain kali tolong beri kabar agar kami tidak khawatir Car, ibumu sampai tidak bisa tidur karena memikirkan mu."
Caramel menganggukkan kepalanya sambil tersenyum manis. "Memang bodoh."
*****
Terimakasih sudah membaca