Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Lima tahun lalu.
"Apa ini?" Margin berjongkok kemudian mengambil sebuah benda kotak berukuran kecil yang tergeletak di bawah meja kerjanya.
Aline memalingkan mukanya ke belakang. Melihat sosok Margin yang sedang membolak-balik buku berwarna biru benhur di sebelah tangannya, spontan bola mata Aline membulat lebar. Saat Margin mengayunkan tangannya hendak membuka lembaran buku tersebut, gadis itu tiba-tiba beranjak dari sofa dan merebut buku itu dari tangan Margin. “Ini milikku!”
“Oh, Tuhan ...” Margin terkesiap. Buku yang dipegangnya langsung terjatuh ke lantai.
“Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu kaget.” kata Aline dengan suara yang hampir tidak terdengar. Gadis itu sedikit berjongkok lalu berdiri di hadapan Margin sambil menundukkan kepalanya. Buku kecil yang berhasil direbutnya dari Margin segera disembunyikannya di belakang tangannya.
Margin menggelengkan kepala melihat tingkah Aline. Ia lalu menghela napas panjang. “Aku tidak percaya kamu akan bersikap kekanakan seperti itu hanya karena sebuah buku. Baiklah, karena kamu adalah sepupu kesayanganku, aku akan memaafkanmu kali ini.”
“Benarkah?” Bola mata Aline bersinar cerah.
“Ya,” Margin menyentuh bahu Aline, “itu bukan masalah besar, asalkan ...”
“Asalkan, apa?”
Margin tersenyum licik lalu berbisik. “Asalkan kamu memperlihatkan buku itu.”
“Apa? Tidak!”
“Kenapa? Memangnya itu buku apa? Kenapa aku tidak boleh melihatnya?”
“I, ini privasiku.” sahut Aline dengan suara terbata-bata.
“Privasi? Apakah maksudmu, buku itu berisi catatan keseharianmu?”
Aline menggeleng lalu terdiam sejenak.
Apa aku tunjukkan saja pada Margin? Tapi, bagaimana jika dia malah menertawakanku? Duh.
Margin menaikkan sebelah alisnya. Ia penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan oleh sepupunya itu.
“Al?” Margin kembali menepuk bahu Aline yang saat itu masih bergumam di dalam hati.
"Aku tidak tahu apa yang kamu tuliskan di buku itu. Tapi, jika kamu merasa keberatan untuk menunjukkannya padaku, tidak masalah. Aku akan menghargai privasimu. Tidak apa-apa.”
Alinea menarik napas panjang. Ia menegakkan kepalanya dan menatap Margin yang saat itu juga sedang menatap wajahnya. Sorot mata Margin yang tajam seolah menusuk hatinya.
Aline menggigit kukunya. Ia memandang wajah Margin dengan ragu, kemudian melirik buku di tangannya. “B, Baiklah. I, Ini... Silakan kalau kau mau melihat isinya.”
Tangan Aline bergetar saat memberikan buku tersebut.
“Kamu serius?”
Aline mengangguk. “Tapi, aku minta tolong ... Jangan memberikan komentar apa pun setelah kau melihatnya. Aku ... Soalnya, aku belum siap untuk mendengar kritikan pedas darimu.”
“Kritikanku? Memangnya kenapa aku harus mengkritikmu?”
“Sudahlah, jika memang penasaran, kau lihat saja sendiri. Ini!”
Dahi Margin sedikit berkerut mendengar perkataan sepupunya itu. Ia sama sekali tidak paham apa yang sebenarnya Aline maksud dengan kritikan. Margin menatap Aline yang masih berdiri dengan ragu-ragu sambil memandangi buku di kedua tangannya. Melihat Aline yang bertingkah seperti anak kecil, yang seolah ketakutan akan dimarahi orang tuanya, Margin tidak bisa untuk menahan tawanya.
“Kau mau melihatnya, kan? Ini, cepat ambil. Tanganku pegal memegang buku ini terus.”
Tadinya Margin ingin tertawa mendengar suara Aline yang mirip seperti anak kecil yang sedang merajuk. Tapi ia mencoba menahannya dan segera menerima buku yang baru saja disodorkan Aline.
"Kamu tenang saja, Al. Aku tidak mungkin memberikan komentar yang jahat padamu.” Kata Margin, yang kemudian berjalan melewati Aline. Margin membawa pergi buku itu dan duduk di sofa dekat jendela yang mengarah ke jalan raya.
“Wah, semua ini kamu yang buat, Al?”
Tanpa menoleh sedikit pun Aline menganggukkan kepalanya seolah-olah ia mengiyakan ucapan Margin. Diam-diam Margin menolehkan kepalanya, ia tersenyum kecil melihat rona merah yang terlukis di kedua pipi Aline, jelas sekali kalau gadis itu sedikit malu-malu mendapatkan pujian darinya.
"Sketsa buatanmu ini bagus, loh, Al. Tidak kusangka kalau kamu sungguh berbakat.”
Untuk kesekian kalinya Margin memuji gambar yang ada di buku harian Aline. Aline melirik sekilas. Semburat senyum kembali terlukis di wajahnya yang tirus. Aline memperhatikan sepupunya. Margin kelihatan serius sekali melihat hasil sketsa Aline. Beberapa kali Margin berdecak kagum dan melontarkan pujian atas peningkatan gambar dan warna yang berhasil dipadukan Aline. Aline semakin tersipu malu mendengar semua pujian yang tidak henti-hentinya dilontarkan oleh Margin. Seolah-olah kuncup bunga yang tertanam di hatinya seketika bermekaran tersiram air.
Kebahagiaan selalu terlahir dari hal-hal yang sederhana.
Kurang lebih itulah paham yang diyakini oleh Aline. Aline benar-benar merasa senang hari ini. Sebab, setelah sekian lamanya ia belajar keras di bawah bimbingan Margin, akhirnya ia berhasil mendapatkan pengakuan dari Margin. Margin benar-benar telah mengapresiasi gambar-gambarnya, dan semua itu telah membangkitkan semangat dalam diri Aline.
Margin terus membolak-balikkan halaman buku, membuka lembar demi lembar kertas, melihat-lihat sketsa gaun pengantin dan setelan jas pria yang baru selesai Aline kerjakan beberapa waktu lalu. Margin terus dibuat kagum oleh hasil gambar Aline yang mulus tanpa cela. Seakan-akan Aline telah menjelma seorang perancang busana profesional.
"Hebat sekali! Ini karya paling mengagumkan yang pernah aku lihat," Seru Margin sambil mengacungkan kedua ibu jarinya ke udara. "Kau sungguh berbakat jadi perancang busana, Al."
"Eh? Perancang busana?”
Margin mantap menganggukkan kepalanya. Dahi Aline berkerut. Jelas sekali kalau Aline merasa kebingungan.
Perancang busana? Aku?
Aline menggaruk-garuk kepalanya. Margin tahu akan situasi ini, tetapi Margin tetap membiarkan Aline untuk mencerna perkataannya.
"Kamu paham maksudku, bukan? Perancang busana itu adalah orang yang menciptakan ide dan membuat bajunya sendiri, seperti aku.”
Aline tak menjawab. Ia mencoba mengatur napas—perlahan-lahan menghirup oksigen dalam-dalam, dan dengan cepat membuangnya melalui mulut. "Begitu, ya? Tapi aku sama sekali tidak yakin soal itu. Apa mungkin aku bisa menjadi seorang perancang busana sepertimu? Aku juga tidak berpikir bahwa aku berbakat dalam hal itu."
"Oh, oh," Margin memutar kepalanya menghadap Aline yang kini duduk di sebelahnya. "Kamu sungguh tidak menyadari bakatmu ini? Seriusan?”
"Iya.”
"Astaga, sayang sekali." Margin tampak kecewa, ia menyilangkan kaki, menyandarkan tubuhnya pada bantal-bantal di sofa sambil memandangi sepupunya yang polos.
Wajah Asia Aline yang saat itu terkena sinar matahari tampak seputih susu, tekstur kulitnya sehalus porselen, bibir merahnya mengilap meski tak pernah terpoles gincu, dan rambut hitam panjangnya, yang selama ini selalu dihiasi oleh seutas pita merah, jadi terlihat menarik karena hari ini ia menggerainya dengan bebas. Jarang sekali Aline menyisir rambut seperti itu, biasanya ia akan mengepang rambutnya ke belakang, dan memberikan hiasan pita sebagai pemanis di bagian atasnya.
Memang, jika dilihat sekilas, gadis itu terlihat sangat normal, namun siapa yang akan menyangka jika sebelum ini Aline pernah menderita depresi. Bahkan, beberapa bulan terakhir, Aline masih sering mengalami delusi yang membuat dirinya selalu takut berhadapan dengan orang-orang di luar rumah. Terkadang sikap Aline juga sering berubah-ubah. Secara tidak terduga, Aline suka berteriak dan marah tanpa sebab. Margin ingat, ia pernah satu kali membawa Aline ke psikolog, dan menurut hasil diagnosis dokter, Aline dinyatakan sebagai penyandang Skizofrenia—walaupun sudah melakukan perawatan namun penyakitnya tidak bisa disembuhkan hanya dengan obat-obatan saja.
Kasihan sekali anak ini. Sejak kecil ia sudah ditinggalkan keluarganya, sekarang di usianya yang tidak lagi muda ia juga masih harus hidup dalam kebingungan seperti seorang anak kecil. Entah kapan aku bisa mengubahnya menjadi sosok gadis yang dewasa dan berani menghadapi kehidupan di luar sana...
Margin bermonolog di dalam hati.
Bagaimanapun Margin merasa tak tega melihat sepupunya itu menderita sendirian. Sedari gadis itu dilahirkan, Margin sangat sayang sekali terhadap Aline. Saat itu Aline terlahir secara prematur, dan—karena kedua orang tua Aline telah tiada—sebagai kerabat—keluarga Margin membesarkannya seperti anak sendiri. Margin juga sudah menganggap Aline seperti adik kandungnya. Karena sudah dekat sejak kecil, Aline jadi tidak bisa berjauhan dengan Margin. Mereka seperti magnet yang tidak bisa dipisahkan.
Margin ingat betul, bagaimana dulu ia berusaha keras untuk membawa Aline bersamanya ke kota ini. Pada saat itu, kedua orang tua Margin marah besar. Mereka sama sekali tidak setuju jika Aline harus bersamanya. Masalahnya adalah, saat itu kondisi Aline masih perlu pantauan dari orang dewasa. Perkembangan otak Aline yang sedikit lambat dari anak-anak lainnya membuat Aline harus selalu mendapat perhatian ekstra. Aline masih harus diajarkan berbagai macam hal seperti; mengenal angka dan huruf, mempelajari emosi, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan tumbuh kembang anak kecil. Selain itu makanan Aline juga harus diperhatikan, tentu saja semua itu akan butuh biaya yang sangat besar. Sementara pada saat itu usia Margin juga baru lima belas tahun.
Orang tua Margin terus merasa cemas. Mereka khawatir jika Aline akan mengganggu pendidikan Margin selama di Jakarta. Tetapi, berkat kesungguhan Margin, gadis itu akhirnya bisa meyakinkan kedua orang tuanya. Margin benar-benar membuktikan bahwa ia bisa menjaga Aline meskipun ia juga harus kuliah dan membesarkan Aline seperti anak sendiri.
Sebenarnya, usia Margin dan Aline hanya terpaut tiga tahun. Namun, karena faktor perkembangan pada otak Aline sedikit lambat dibandingkan anak-anak lain, Margin justru merasa sangat cemas jika ia harus meninggalkan Aline bersama orang tuanya yang sibuk bekerja sepanjang hari. Margin merasa bahwa ia memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga sepupunya itu. Makanya, sebisa mungkin, di sela-sela kesibukannya, Margin selalu menyempatkan dirinya untuk mengajarkan berbagai mata pelajaran pada Aline, agar gadis itu tidak tertinggal dari teman-temannya. Terbukti, sekarang usaha Margin sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit. Semakin hari Aline semakin menunjukkan perkembangan dalam dirinya, meskipun Aline tetap tidak menyadari akan hal ini.
Sungguh tidak heran jika Aline bisa mengandalkan Margin sebagai keluarganya. Margin terlahir sebagai anak yang cerdas. Semenjak berada di bangku Taman Kanak-Kanak, Margin sering mendapat berbagai macam penghargaan. Prestasinya pun banyak; mulai dari bidang akademik hingga non-akademik. Karena kecerdasannya, ia pun sering dijuluki sebagai “Gifted Children”—Margin juga sering loncat kelas. Dan, di usianya yang ke–18, Margin telah berhasil meraih gelar sarjana S1 di bidang Fashion Business. Sekarang, ia sudah mengantongi ijazah S2 dan menjadi seorang Trend Analyst. Margin juga telah sukses dengan berhasil membuka sebuah butik yang berkolaborasi dengan salah satu brand fashion ternama di kota Jakarta.
Berbanding terbalik dengan Margin—Aline, di umurnya yang sudah berkepala dua, ia baru saja lulus dari jenjang SMA, itu pun karena terpaksa. Para guru merasa kasihan melihat kondisi Aline yang terus dipermainkan teman-temannya. Juga karena Aline sering terlihat tidak lagi bersemangat menjalani pendidikannya. Aline tidak pernah menangis meskipun ia selalu mendapatkan banyak luka di sekujur tubuhnya karena ulah teman-teman kelasnya yang senang merisak. Bahkan, Aline tidak hanya mendapatkan luka fisik dan luka mental dari teman-temannya, beberapa gurunya juga sering melakukan perundungan, dengan menjadikan Aline sebagai bahan tertawaan satu kelas dan menjadikannya sebagai contoh siswa yang bodoh yang tidak bisa membaca dan menulis.
Siapapun yang melihat kejadian ini akan merasa iba. Namun, tidak demikian dengan beberapa guru di sekolah itu. Beberapa orang guru justru menginginkan agar Aline segera dikeluarkan dari sekolah dengan alasan bahwa Aline akan memberikan kesan buruk terhadap sekolahnya. Dan, sebagian guru lain justru menyayangkan hal itu. Beberapa guru yang merasa iba memilih untuk tetap mendidik Aline dengan memberikan pelajaran tambahan sepulang sekolah. Akan tetapi, karena terlalu banyak anak-anak nakal yang terus mengganggu Aline, Aline semakin tidak memiliki peluang untuk belajar di sekolah dan memilih untuk tidak datang ke sekolah lagi.
Satu minggu sebelum Ujian Negara dilangsungkan, guru-guru di SMA Aline mengadakan suatu pertemuan yang membahas perihal kondisi Aline yang memburuk; mereka berunding, menyampaikan pro dan kontra terkait masa depan Aline sebagai siswa yang juga berhak menentukan masa depannya, hingga akhirnya mereka mendapat keputusan dari kepala yayasan untuk meloloskan Aline dengan satu syarat, Aline harus memiliki nilai bagus di bidang lain. Dan, itulah yang membuat Aline akhirnya bisa lulus meskipun terlambat.
"Hei," Aline menyentuh bahu Margin. "Kau baik-baik saja, bukan?"
Margin menjilat bibirnya yang terasa kering dari ujung ke ujung. Ia membenamkan lamunannya, kemudian menatap Aline sebentar dan menganggukkan kepalanya dengan pelan.
"Kau itu mengkhayalkan apa, sih?" tanya Aline sembari berdiri untuk menyeret kursi rotan dan duduk di hadapan Margin.
"Aku hanya sedang memikirkan masa kecil kita." Margin menjawabnya dengan suara datar.
Aline mengeluh. "Kau pasti sedang membayangkan betapa bodohnya aku pada saat itu."
"Tidak juga. Aku tidak pernah berpikir seperti itu," sahut Margin sungguh-sungguh.
Margin memperhatikan wajah Aline yang masih memperlihatkan ekspresi kesalnya.
Margin lalu tersenyum dan menaruh telapak tangannya di atas tangan Aline yang kecil. "Aku hanya teringat tentang masa kecil kita sebelum kita pindah ke kota ini. Waktu itu, kamu suka sekali menggambar beberapa lukisan. Kamu bahkan mengatakan kepada orang tua kita, kalau kamu ingin menjadi pelukis terkenal seperti Amedeo Modigliani dan Van Gogh. Entah mengapa, saat aku membayangkan tentang hal itu, aku merasa bahwa ini adalah waktu yang tepat supaya kamu bisa memikirkan masa depanmu sekarang."
"Maksudmu?" Aline menatapnya keheranan. "Mengapa tiba-tiba kau menyuruh aku memikirkan hal sulit seperti itu? Apa mungkin, kau merasa keberatan jika aku masih tinggal bersamamu di sini? Ya?"
Margin menggeleng. "Bukan seperti itu."
Kali ini suara Margin terdengar pelan. Adalah aneh jika Margin membenarkan pertanyaan Aline. Karena sedari awal, Margin sendiri yang telah membawa Aline ke sini. Lagi pula, mengapa Margin harus merasa keberatan untuk tinggal bersama sepupunya di rumah yang seluas ini?
Aline pasti sudah salah paham, pikir Margin.
Margin menghela napas. "Aku hanya menyayangkan bakat yang kamu miliki ini. Itu, mengapa kamu tidak coba untuk melanjutkan kuliah saja?"
“Kuliah?"
"Ya, kuliah. Aku yakin, selama ini kamu pasti bosan terus berdiam diri di rumah seperti ini, bukan? Dengan kamu kuliah, setiap hari kamu akan pergi ke kampus, berinteraksi dengan orang-orang baru, memiliki teman baru, dan tentu saja kamu juga bisa menambah wawasan dan mempelajari bidang keahlian yang kamu minati nantinya. Kedengarannya menyenangkan, bukan?”
“Entahlah,” Aline memalingkan wajahnya ke luar jendela. "Sedari dulu aku memang ingin pergi ke kampus sepertimu, tapi ..."
Aline menunduk, ia tidak ingin melanjutkan perkataannya.
Itu terlalu sulit.
Margin memandangi wajah gadis itu, masih dengan sorot mata tajamnya, sama seperti pertama kali ia menatap Aline. Margin mencoba untuk mengintip isi hati Aline melalui bola matanya yang teduh. Margin meraih tangan Aline, lalu menggenggam tangan yang terasa dingin itu dengan erat.
"Jangan khawatirkan masalah biaya kuliahmu, Al. Pokoknya, di mana pun kamu ingin kuliah, aku siap. Aku akan bertanggung jawab untuk pendidikanmu. Ya?"
Margin tersenyum, senyum yang tak pernah dibuat-buat, seakan-akan senyuman Margin itu memang sengaja disampaikan untuk hati Aline yang saat ini tengah gelisah.
"Mar," Aline meneteskan air matanya. Ia benar-benar terharu mendengar ketulusan hati Margin.
“Aku selalu berterima kasih atas kebaikanmu.” Sepasang mata cokelat Aline berkaca-kaca.
"Aku serius, loh. Ya? Kamu mau kuliah, kan?”
“....”
“Kalau kamu memang mau, kapan pun aku selalu siap untuk mengantarkanmu. Kamu tinggal pilih saja kamu mau kuliah di mana, jurusan apa, aku pasti akan membantumu."
Aline masih terdiam.
Sebenarnya Aline ingin sekali mengatakan bahwa ia sudah memiliki pilihan dan ingin segera menyebutkan salah satu nama dari perguruan tinggi yang sudah lama diidam-idamkannya. Akan tetapi, kenangan masa lalu selalu terbayang di benaknya. Aline takut, kejadian serupa yang sejak dulu membuatnya merasa terisolasi akan kembali dirasakannya di kehidupan kampus.
"Kau tidak perlu begitu, Mar." ucap Aline dengan suara tertahan.
Margin menatap Aline dengan heran. "Mengapa? Kamu tidak mau menyalurkan bakatmu itu? Apa kamu sungguh tidak ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?”
Karena bingung, Aline memainkan ujung rambutnya.
"Aku hanya tidak percaya diri." jawab Aline namun dengan suara yang terdengar samar.
"Apa yang kamu cemaskan? Sketsamu bagus. Sejauh ini, kamu juga sudah banyak mempelajari dasar untuk masuk ke Fakultas Desain. Selebihnya, itu memang tergantung pada keputusanmu. Entah kamu ingin masuk ke fakultas yang mana, aku tidak akan memaksamu untuk itu. Jurusan di dunia perkuliahan itu ada berbagai macam, dan kamu bebas memilih sesuai dengan bidang yang kamu inginkan. Apa yang membuatmu ragu, Al?"
"Aku tahu, Mar. Aku tahu, tapi ... aku tidak bisa menghindar dari rasa takutku. Tidak sekarang. Pokoknya, aku belum siap untuk kuliah dulu."
"Aline, Aline, kalau kamu masih menunggu siap mah kelamaan. Kenapa tidak kamu coba saja dulu? Lagi pula, mencari ilmu itu tidak harus menunggu kata siap, bukan? Kalau kamu terus-menerus menunggu kata siap, sampai kapan pun kamu enggak bakal siap. Belum lagi kamu masih memanjakan rasa takutmu. Mau sampai kapan, Al? Maaf. Aku bicara seperti ini karena aku peduli. Aku sayang sama kamu. Kamu memiliki bakat alami dalam bidang ini. Akan sangat disayangkan jika keahlian kamu ini tidak coba kamu asah. Memangnya kamu tidak mau mewujudkan harapan dan mimpimu? Atau kamu lebih suka berperan seperti seorang Putri tidur di sepanjang hidupmu? Hah, mau sampai kapan kamu akan menunggu waktu yang tepat itu, Al?" Perkataan Margin bernada ketus.
Aline merasa terpojok. Memang benar. Semua kalimat yang diucapkan Margin itu tidak sepenuhnya salah. Tapi, tentu saja semua itu tidaklah mudah bagi Aline. Masuk ke Fakultas Desain itu sama sekali bukan hal yang bisa dilakukan begitu saja oleh gadis seperti Aline. Belum lagi dengan adanya masa lalu yang pernah Aline alami. Banyak sekali kecemasan yang harus Aline hadapi di sini.
Semuanya benar-benar tidak mudah untukku.
Margin bisa saja menganggap enteng masalah ini. Margin bisa seenaknya berbicara seperti itu karena ia terlahir sebagai seorang jenius. Tidak seperti Aline yang hanya mendapatkan kasih sayang dari Margin. Margin bahkan tidak pernah merasakan penderitaan, seperti apa yang pernah dialami Aline selain hidupnya. Margin itu sungguh-sungguh anak yang cerdas, ia mudah beradaptasi, namun bagaimana dengan Aline? Dengan latar belakangnya yang tidak seperti kebanyakan orang lain. Aline justru membutuhkan banyak pertimbangan.
Bagi Aline, menentukan masa depan seperti ini adalah rumit. Memutuskan untuk melangkah maju itu ibarat menegakkan benang basah. Aline tidak ingin bertindak gegabah. Namun, ia juga tidak bisa menolak keinginan hatinya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Bagaimanapun, Aline tidak dapat menghindar dari keresahan hatinya. Keinginan terpendamnya dan bayangan-bayangan dari masa lalu, sering kali membuat pikiran Aline menjadi kacau. Hal itu kemudian membuat langkah Aline jadi terhambat. Ia bimbang dan akhirnya takut untuk menentukan masa depan.
Aline memiliki semangat, akan tetapi delusi yang setiap kali menghantuinya, membuat gadis itu tidak ingin melangkahkan kaki ke luar barang sekejap saja. Aline berpikir, tidak apa-apa jika ia tidak bisa menggapai semua harapan dan cita-citanya saat ini. Lagi pula, jika mimpinya saja masih bisa berubah-ubah, untuk apa ia harus terburu-buru mengambil keputusan yang sulit?
Aline mendesah pelan. Di sebelahnya, Margin masih menatapnya dengan pandangan lurus tanpa berkedip sekali pun. Aline menundukkan wajahnya. Gadis itu membisikkan sesuatu dalam hati, Sepertinya Margin lupa. Orang bodoh seperti aku tidak akan bisa menjadikan mimpi itu menjadi kenyataan....