Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Logika dan Hati
Pagi di kampus seperti biasa: ramai, penuh dengan mahasiswa yang tergesa-gesa menuju kelas, beberapa berkerumun di kantin untuk sarapan, dan sisanya—seperti Bayu—berusaha menghindari perhatian.
Bayu duduk di bangku taman dekat fakultas filsafat. Tumpukan buku berada di pangkuannya, tapi matanya menatap kosong ke arah lapangan parkir.
“Bayu!” panggil suara yang sangat ia kenal.
Ia mendongak. Rara berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, mengenakan kemeja putih yang terlihat rapi. Ia membawa dua gelas kopi di tangannya.
“Ngapain duduk sendirian?” Rara duduk di sampingnya tanpa meminta izin. Ia menyodorkan salah satu gelas. “Nih, aku bawain kopi.”
Bayu mengerutkan kening. “Kenapa tiba-tiba bawain kopi?”
“Anggap aja sebagai bentuk nostalgia. Dulu, tiap kali aku ngajak kamu belajar, kamu selalu minta aku bawain jajanan dulu biar mau kerja sama.”
Bayu tersenyum kecil, mengingat kenangan itu. Namun, ia segera mengembalikan fokusnya ke buku di tangannya. “Makasih, tapi aku nggak minta.”
“Ya ampun, Bayu. Kamu ini selalu dingin banget.”
Bayu tidak menjawab. Ia membuka buku Meditations karya Marcus Aurelius dan pura-pura membaca. Tapi Rara tidak menyerah.
“Kamu lagi baca apa?”
“Marcus Aurelius,” jawab Bayu singkat.
“Oh, filsuf Romawi itu? Aku pernah dengar, tapi nggak paham sih.”
Bayu mendongak, sedikit terkejut. “Kamu tahu Marcus Aurelius?”
“Yah, tahu dikit-dikit. Dulu aku pernah baca tentang stoicism. Mereka bilang itu ajaran tentang mengendalikan emosi, kan?”
Bayu mengangguk pelan. Ia tidak menyangka Rara tahu hal seperti itu. Biasanya, orang-orang hanya menganggap minatnya terhadap filsafat sebagai sesuatu yang membosankan.
“Jadi, kenapa kamu suka filsafat?” tanya Rara, menatapnya dengan penuh minat.
Bayu terdiam sejenak. Ia ingin menjawab dengan sesuatu yang sederhana, tapi ia tahu jawabannya tidak sesederhana itu. “Karena... filsafat membantu aku memahami hal-hal yang sulit dijelaskan. Termasuk tentang diri sendiri.”
Rara tersenyum kecil. “Kamu tahu nggak? Aku selalu kagum sama cara berpikir kamu.”
Bayu tersentak mendengar kata-kata itu. “Kagum? Kenapa?”
“Karena kamu selalu punya cara unik untuk melihat sesuatu. Waktu kecil, aku sering merasa kamu seperti punya dunia sendiri, dan itu bikin aku penasaran.”
Bayu tidak tahu harus merespons apa. Jadi, ia hanya menunduk dan kembali membaca bukunya. Tapi dalam hatinya, ia merasa hangat mendengar pujian itu.
Setelah kelas filsafat selesai, Bayu kembali ke taman yang sama. Ia berpikir akan punya waktu untuk merenung sendirian, tapi Dimas tiba-tiba muncul entah dari mana.
“Gue bilang apa, Bayu? Lu pasti nggak bisa ngelupain dia, kan?” Dimas duduk di sampingnya sambil menyandarkan tubuhnya ke bangku.
“Dimas, gue nggak ngerti lu ngomong apa.”
“Alah, jangan pura-pura bego, deh. Gue liat tadi lu ngobrol sama Rara di taman. Dia bawain kopi lagi! Wih, udah kayak pacar aja.”
Bayu menutup bukunya dengan kasar. “Dia cuma temen lama. Udah gue bilang.”
“Hmm, temen lama yang perhatian banget, ya? Gue sih nggak percaya.”
Bayu mendesah. “Dim, lu tuh terlalu banyak mikir aneh-aneh.”
Dimas tertawa kecil. “Gue pikir itu kerjaan lu, filsuf kampus.”
“Kalau gitu, coba lu jawab ini,” Bayu berkata, mencoba mengalihkan topik. “Menurut Plato, cinta adalah usaha untuk menemukan separuh jiwa kita yang hilang. Jadi, cinta itu lebih soal melengkapi diri sendiri, bukan soal orang lain. Kalau gue nggak butuh dilengkapi, buat apa mikirin cinta?”
Dimas terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Tapi Plato nggak pernah ketemu Rara, kan?”
Bayu melemparkan pandangan tajam, tapi Dimas hanya tertawa terbahak-bahak.
“Udah, Bayu. Gue serius. Kalau lu terus-terusan mikir kayak gitu, kapan hidup lu bakal bahagia?”
“Stoik bilang kebahagiaan datang dari menerima apa yang ada dan tidak tergantung pada orang lain.”
“Dan itu bikin lu jadi sendirian, bro.”
Bayu tidak menjawab. Ia tahu Dimas punya poin, tapi ia tidak mau mengakuinya.
Hari berikutnya, Bayu sedang asyik membaca di perpustakaan saat suara langkah kaki mendekat.
“Bayu,” suara lembut Rara memanggilnya.
Ia mendongak dan melihat Rara berdiri di depannya dengan senyum cerah. “Aku butuh bantuan kamu.”
Bayu mengerutkan kening. “Bantuan apa?”
“Aku lagi ngerjain tugas kelompok, dan salah satu tugasnya adalah wawancara tentang pandangan hidup. Kamu kan jurusan filsafat, pasti punya jawaban menarik.”
Bayu menghela napas. “Kenapa harus aku?”
“Karena aku percaya sama pandangan kamu. Lagipula, kamu selalu punya cara unik untuk menjawab pertanyaan.”
Ia tidak bisa menolak. Akhirnya, mereka duduk bersama di salah satu meja kosong.
“Jadi,” Rara memulai, “apa pandangan kamu tentang tujuan hidup?”
Bayu berpikir sejenak sebelum menjawab. “Menurut filsafat stoik, tujuan hidup adalah mencapai ketenangan batin dengan menerima apa yang ada di luar kendali kita dan fokus pada apa yang bisa kita kendalikan.”
Rara mencatat jawaban itu dengan serius. “Kalau cinta? Apa menurut kamu itu bagian dari tujuan hidup?”
Bayu terdiam, tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul. “Cinta...” Ia berhenti sejenak. “Bagi sebagian orang, mungkin iya. Tapi bagi aku, cinta lebih seperti ilusi yang diciptakan oleh kebutuhan manusia untuk merasa utuh.”
Rara menatapnya dalam-dalam. “Kamu benar-benar nggak percaya sama cinta, ya?”
“Bukan nggak percaya. Aku cuma berpikir cinta itu terlalu rumit untuk dijadikan fokus utama hidup.”
Rara tersenyum tipis. “Kamu tahu, aku nggak setuju. Tapi aku suka cara kamu berpikir.”
Bayu hanya mengangguk, merasa bahwa percakapan ini terlalu personal.
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan, salah satu teman Rara datang dan memanggilnya.
“Ra, kita harus pergi sekarang. Deadline tugasnya bentar lagi, nih.”
Rara mengangguk dan berbalik ke arah Bayu. “Makasih, Bayu. Kita ngobrol lagi nanti, ya.”
Bayu hanya melambai pelan, tapi dalam hatinya, ia tidak bisa berhenti memikirkan pertanyaan Rara. Apa benar cinta hanyalah ilusi, atau ada sesuatu yang lebih dari itu?