Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
IG: @Ontelicious
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Final Secret
Vincent sudah siap dengan setelan rapi malam itu. Blazer hitam, kemeja putih bersih, dan jam tangan mahal yang melingkar sempurna di pergelangan tangan. Semuanya terlihat seperti pria yang tak kekurangan apapun.
Ia duduk di mobil, tangan menggenggam setir, tapi belum juga menyalakan mesin. Matanya melirik ke layar ponsel yang tergeletak di jok sebelah. Tak ada notifikasi. Tak ada nama yang ditunggunya muncul.
Valeska.
Kenapa gue ngarepin banget ya? pikir Vincent sambil tertawa kecil, menyadari betapa konyolnya dirinya. Ia menyandarkan kepala di jok, menatap langit-langit mobil. “Apa hak gue buat minta dia kabarin gue terus, sih?” gumamnya pelan.
Setelah menertawakan dirinya sendiri, Vincent akhirnya menyalakan mesin mobil dan melaju menuju rumah ibunya.
Hujan mulai turun sejak pukul enam tadi. Jalanan licin dan udara dingin. Sesampainya di rumah besar keluarganya, Vincent turun dari mobil dan disambut barisan pelayan yang sudah berjajar rapi di depan pintu. Seolah mereka sedang menyambut tuan besar istana.
Vincent melangkah masuk dengan santai, aura dingin dan elegannya tetap tak tertandingi. Wajah tampannya hampir membuat para pelayan wanita muda terpana—kalau saja mereka tidak takut ketahuan menatap terlalu lama.
“Selamat datang, Vin,” sapa suara lembut penuh wibawa dari seorang wanita. Melani. Ibunya. Wanita yang selalu terlihat anggun, bahkan hanya dengan gaun rumah sederhana.
Vincent mengangguk kecil, lalu tersenyum tipis sebelum memeluk ibunya. “Hai, Ma.”
“Di mana Megan?” tanya Melani langsung tanpa basa-basi.
Vincent melepaskan pelukan, lalu mengangkat bahu acuh tak acuh. “Gak tahu.”
Melani menatap anaknya dengan alis sedikit terangkat. “Kamu tidak menjemputnya?”
“Dia kan bisa sendiri, Ma,” jawab Vincent santai.
“Kamu setidaknya harus menunjukkan kalau kamu menyukainya,” protes Melani dengan nada menggurui.
“Maksud Mama, pura-pura suka?” Vincent mengerutkan kening, mencoba memastikan maksud sang ibu.
Melani mendesah berat. “Ya sudahlah kalau begitu. Ikut Mama ke ruang kerja. Ada yang mau dibicarakan.”
“Ruang kerja? Bukannya kita mau makan malam?” tanya Vincent sambil berjalan mengikuti langkah ibunya menuju ruangan yang selalu terasa dingin dan penuh tekanan itu.
“Megan belum sampai. Masih ada waktu untuk membahas pekerjaan,” jawab Melani tanpa menoleh.
Vincent mendengus pelan. Tentu saja pekerjaan. Apa lagi? Baginya, obrolan biasa tentang kehidupan sehari-hari seperti ibu dan anak normal lainnya terdengar jauh lebih menarik. Tapi ini Melani Everleigh, ibunya, seorang wanita yang mendewakan kerja keras.
Ruang kerja Melani tetap seperti dulu. Besar, rapi, dan penuh dengan rak yang dipenuhi dokumen. Meja kerjanya terlihat seperti sesuatu yang diambil langsung dari katalog perabotan mewah. Di tengah ruangan, ada sofa yang sama seperti sepuluh tahun lalu, tempat Vincent sekarang memilih untuk duduk.
Ia menyandarkan tubuhnya di sofa, membiarkan pandangannya menyapu ruangan. Tidak ada yang berubah di sini. Sama persis seperti yang ia ingat.
“Vin,” panggil Melani dari sofa tunggal yang ada di depannya. Nada suaranya serius, seperti sedang bersiap meluncurkan pertanyaan yang sulit dihindari.
Vincent menghela napas. Here we go.
“Iya, Ma?” Ia menatap ibunya dengan wajah yang sudah kebal dari segala bentuk penghakiman.
Melani menatap Vincent lekat-lekat, bibirnya melengkung sedikit sebelum akhirnya melontarkan pertanyaan tanpa basa-basi. “Siapa Valeska?”
Vincent menegang. Tapi hanya sebentar. Ia cepat-cepat mengganti ekspresinya menjadi lebih santai. Bibirnya tersenyum tipis, tapi matanya jelas tetap terlihat waspada dengan topik yang tidak ringan ini.
Vincent melengos. Ya, dia tahu. Cepat atau lambat, ini pasti akan terjadi. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari Melani—sosok wanita dengan radar tajam dan koneksi yang tidak ada habisnya.
“Kenapa masih tanya, Ma? Mama kan udah tahu semuanya,” jawab Vincent malas sambil menyandarkan tubuh di sofa.
Sorot tajam Melani tetap sama. Mata wanita itu seperti detektor kebohongan paling canggih di dunia. “Bilang sama Mama kalau gadis itu cuma mainanmu.”
Vincent mendengus. Tertawa kecil dengan nada sinis. “Mama tahu aku, kan?”
“Tahu,” balas Melani santai, tapi dengan nada yang tetap menusuk. “Mama cuma mau dengar pengakuan dari mulutmu langsung.”
“Aku nggak mungkin serius sama perempuan mana pun, Ma.”
Senyum Melani melengkung. Ada keangkuhan terselubung di sana. Ia menatap Vincent seperti pemenang pertandingan catur yang sudah tahu langkah lawannya berikutnya.
“Jadi, Mama udah tahu semuanya, ya?” tanya Vincent akhirnya.
“Udah,” jawab Melani sambil menyilangkan tangan di dada. “Mama tahu apa yang terjadi di bar malam itu. Kamu menidurinya pas dia mabuk, terus kamu kasih uang dua ratus juta buat nutup rasa bersalahmu. Sekarang? Kamu malah sibuk mendekatinya lagi. Bikin dia masuk ke dalam drama anehmu. Bener kan, Vin?”
Vincent terdiam. Matanya melebar sedikit, tapi segera ditutup dengan tawa kecil penuh sarkasme. Dia nggak percaya ibunya bisa tahu segalanya. Tapi, ini Melani. Wanita ini punya koneksi yang bahkan mungkin bisa bikin FBI iri. Manager bar itu? Pasti udah dilobi atau mungkin diancam dengan ancaman klasik ala Melani.
“Jadi, sekarang Mama mau apa?” Vincent akhirnya bertanya. Suaranya terdengar datar, tapi siapa pun bisa menangkap nada lelah di sana.
Melani tersenyum kecil. Santai, tapi seperti singa yang mengintai mangsa. “Mama cuma mau konfirmasi. Bahwa kamu benar-benar nggak punya perasaan apa-apa sama gadis miskin itu.”
“Ma, please ….” Vincent menghela napas, jelas terganggu. “Jangan panggil dia gadis miskin. Namanya Valeska. Panggil namanya.”
“Oke, I’m sorry.” Nada Melani masih terdengar tenang. Tidak ada emosi sama sekali. “Kalau begitu, bilang ke Mama. Biar Mama yakin, kamu nggak serius sama dia.”
Vincent menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Tentu aja nggak, Ma.”
“Yakin?”
“Ma, buat apa aku serius?” Vincent mengangkat bahu. “Aku ngelakuin itu cuma karena … ya, rasa bersalah aja.”
Melani menaikkan sebelah alis. “Rasa bersalah karena kamu udah ngambil keperawanannya?”
“Mama!” Vincent menatap ibunya dengan tatapan protes.
Tapi Melani malah terkekeh kecil, lalu mengangkat bahu. “Kamu beda banget sama ayahmu, ya?”
“Dan aku bersyukur untuk itu,” balas Vincent cepat.
Melani mendekat, lalu menepuk bahu Vincent pelan. Senyum miringnya masih menghiasi wajah cantiknya yang penuh wibawa. “Bagus kalau begitu. Mama harap kamu bisa pegang kata-katamu. Jangan pernah menyesal.”
Nada Melani terdengar begitu final. Seperti ada sesuatu yang lebih besar di balik kalimat itu. Vincent mulai merasa ada yang tidak beres. Atmosfer ruangan tiba-tiba berubah dingin. Apalagi ketika Melani mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat pada Zoey, salah satu asistennya, yang langsung mengangguk dan berjalan menuju pintu di ujung ruangan.
Zoey membuka pintu tersebut, dan di sana berdiri Valeska.
Wajah gadis itu terlihat lemas, matanya sembab. Air mata masih mengalir di pipinya, dan tatapannya penuh dengan campuran emosi antara kecewa, benci, marah … semua bercampur jadi satu.
“Val ….” Suara Vincent pecah. Dia berdiri, tapi kakinya terasa berat seperti tertancap di lantai.
Valeska tidak mengatakan apa-apa. Tatapannya yang dulu penuh dengan keceriaan kini hanya berisi luka yang dalam.
Melani melangkah anggun, mendekati Vincent. Wanita itu melipat tangan di dada sambil tersenyum kecil. “Mama sudah bilang, kan? Jangan pernah bermain melampaui batas, Vincent.”
Kata-kata itu seperti belati yang menancap tepat di jantung Vincent.
...****************...
inget,Val!! jngan mudah melunaak 😎
udah lah Val emang paling bener tuh mnyendiri dulu,sembuhin dulu semuanya smpe bner" bs brdamai dg keadaan tp engga dg manusianya😊💪
bpak mau daftar??🙂