Janji Cinta Di Usia Muda

Janji Cinta Di Usia Muda

Bab 1: Perjodohan yang Tak Terduga

Aira masih ingat pagi itu dengan sangat jelas, seolah setiap detil tersimpan dalam ingatannya. Ia baru saja pulang dari kampus, masih mengenakan seragam praktik. Sambil melonggarkan ikatan rambutnya, ia berusaha menghilangkan rasa lelah yang menumpuk setelah seharian penuh kegiatan.

Namun, ketenangan itu buyar begitu ia masuk ke ruang tamu. Di sana, duduk kedua orang tuanya bersama seorang pria paruh baya dengan jas mahal dan wajah yang tidak asing. Itu adalah Tuan Ardan, sahabat lama ayahnya dan seorang pengusaha yang terkenal di kota ini.

Aira mengerutkan kening. Kehadiran Tuan Ardan tak biasa. Ada getaran aneh yang membuatnya merasa bahwa pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa.

“Aira, duduklah sebentar. Ayah ingin bicara,” ujar ayahnya dengan nada lembut, tapi tak bisa menyembunyikan kekakuan dalam suaranya.

Aira menatap ayahnya dengan heran. “Ada apa, Yah?” tanyanya, mencoba membaca raut wajah kedua orang tuanya.

Ibunya hanya menunduk, seakan menghindari tatapan mata Aira, dan itu membuat Aira semakin gelisah. Ayahnya terdiam sejenak, sebelum akhirnya memulai dengan suara yang lirih, namun penuh keyakinan.

“Ayah sudah lama memikirkan ini, dan… keputusan ini adalah demi kebaikan kamu juga, Aira. Ayah ingin menjodohkanmu dengan anak Tuan Ardan.”

Jantung Aira seperti berhenti berdetak seketika. Kata-kata itu seakan menghantamnya tanpa ampun, membuatnya terpaku dalam kebingungan dan ketidakpercayaan.

“Apa?!” suaranya sedikit bergetar. “Yah, Ibu, ini… kalian pasti bercanda, kan?”

Tuan Ardan tersenyum tipis, tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Aira merasa tak nyaman, seolah pria itu memiliki kendali penuh atas situasi ini.

“Aira,” ujar Tuan Ardan tenang, “aku mengerti ini mungkin terdengar mendadak, tapi perjodohan ini adalah demi masa depan yang lebih baik untuk keluargamu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu.”

Aira merasakan campuran marah dan putus asa yang menyesakkan dadanya. “Tapi ini hidupku! Bagaimana bisa kalian membuat keputusan sebesar ini tanpa bertanya pendapatku?”

Ayahnya mendesah berat. “Aira, dengarkan dulu. Raka—anak Tuan Ardan—adalah pemuda yang baik, pintar, dan bertanggung jawab. Dengan dia, Ayah yakin kamu akan bahagia. Ayah melakukan ini demi masa depanmu.”

“Tapi aku bahkan belum pernah bertemu dengan Raka! Bagaimana Ayah bisa yakin bahwa aku akan bahagia dengan dia?” Nada suaranya meninggi, penuh dengan perasaan yang berkecamuk.

Tuan Ardan meletakkan tangannya di atas meja dengan perlahan, menginterupsi pertengkaran kecil itu. “Aira, aku tidak akan memaksamu. Pertemuan ini hanya awal. Kenali Raka, lihat bagaimana kalian berinteraksi. Jika setelahnya kamu masih merasa ini tak sesuai, kami akan menghargai keputusanmu.”

Ada nada yang penuh tekanan dalam ucapan Tuan Ardan, seolah memberi peringatan yang tersirat bahwa keputusan ini sebenarnya bukan pilihan. Aira bisa merasakannya, dan itu membuat rasa tidak nyaman semakin menguat dalam hatinya.

---

Setelah pertemuan itu, pikiran Aira tak pernah tenang. Ia merasa dirinya terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan. Dalam benaknya, ia membayangkan betapa aneh dan canggungnya pertemuan pertama nanti dengan pria yang telah ditentukan menjadi “tunangan”nya tanpa persetujuannya.

Namun, rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutannya. Pada hari yang telah dijanjikan, ia akhirnya bertemu dengan Raka di sebuah kafe sederhana yang jauh dari keramaian kota. Ketika ia melangkah masuk, pandangannya langsung tertuju pada sosok pria dengan postur tegap dan wajah dingin yang duduk di pojok ruangan.

Raka berdiri saat melihat Aira mendekat, menyambutnya dengan anggukan singkat. Tanpa basa-basi, ia duduk kembali, meninggalkan Aira yang sedikit kaget dengan sikapnya yang dingin.

“Aira, kan?” tanyanya datar, seolah pertemuan ini hanya sekadar urusan bisnis.

Aira menahan napas, berusaha menetralkan rasa canggung yang tiba-tiba muncul. “Ya, dan kamu… Raka?”

“Benar.” Tatapannya tajam, penuh kehati-hatian, seakan mencoba membaca setiap gerak-gerik Aira.

Dalam hening yang canggung itu, Raka mulai bicara lagi, “Aku tidak tahu bagaimana pendapatmu tentang ini, tapi aku tidak pernah setuju dengan perjodohan. Ini adalah keputusan yang diambil tanpa persetujuanku.”

Aira mengangguk pelan, merasa sedikit lega mendengar ketidaksetujuan Raka. “Aku juga merasa demikian. Ini hidupku, dan aku tidak ingin ada yang mengatur masa depan tanpa pendapatku.”

Raka tersenyum kecil, tapi senyum itu jauh dari kesan ramah. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik sorot matanya. “Bagus. Setidaknya kita sepakat di satu hal.”

Aira merasa ada nada sinis dalam kata-kata Raka, tapi ia tidak ingin memperumit suasana. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita kenal satu sama lain dulu sebagai teman? Mungkin ini bisa jadi jalan tengah.”

“Teman, ya?” Raka mengulangi kata itu, seolah-olah itu adalah konsep yang asing baginya.

Percakapan mereka berlanjut dengan obrolan ringan, meski ada jeda panjang di antara setiap pertukaran kata. Aira berusaha mencari celah untuk memahami pemuda di depannya, tapi yang ia temukan hanya dinding dingin yang seakan enggan terbuka.

Namun, di akhir pertemuan itu, Raka mengatakan sesuatu yang membuat Aira tertegun.

“Aira, kalau suatu hari nanti kamu merasa terjebak dalam situasi yang tak bisa kamu hadapi… ingat bahwa kamu bukan satu-satunya yang merasakannya.”

Aira menatapnya bingung. “Maksudmu?”

Raka tidak menjawab. Ia hanya bangkit dari duduknya, memberikan pandangan singkat yang dalam namun sulit diterjemahkan. Sejenak sebelum pergi, ia berkata, “Aku harap kamu siap dengan segala konsekuensi dari keputusan ini.”

Kata-kata itu menggantung, meninggalkan Aira dalam kebingungan dan rasa penasaran yang mencekam. Ada sesuatu yang Raka sembunyikan, sesuatu yang ia rasa bisa mengubah seluruh kehidupannya.

---

Malam itu, Aira tidak bisa tidur. Kata-kata Raka terus berputar dalam pikirannya, seperti teka-teki yang memintanya untuk dipecahkan. Ada sesuatu yang salah, tapi ia tak bisa menebak apa. Dalam keheningan malam, Aira merasa dirinya sudah melangkah memasuki dunia yang berbahaya, dunia yang mungkin bisa menghancurkannya jika ia tidak berhati-hati.

---

Pertemuan pertama Aira dan Raka penuh dengan ketegangan yang tidak terlihat. Aira merasakan ada rahasia besar yang tersembunyi di balik sikap dingin Raka, tapi ia tak tahu apa yang sebenarnya ia hadapi. Keputusan untuk bertahan dalam perjodohan ini atau mundur terasa semakin sulit setelah kata-kata Raka yang menggantung di pikirannya. Apa yang sebenarnya disembunyikan Raka?

Aira duduk sendirian di kamarnya, pikirannya bercampur aduk setelah pertemuannya dengan Raka. Semua yang terjadi hari ini terasa seperti mimpi buruk. Dulu, ia selalu membayangkan kebebasan dalam menentukan masa depan, termasuk cinta. Tapi sekarang, ia malah terjebak dalam perjodohan yang tidak pernah ia inginkan. Dan yang lebih membuatnya gusar adalah kata-kata Raka yang masih menggema dalam benaknya: "Aku harap kamu siap dengan segala konsekuensi dari keputusan ini."

Aira mengerutkan alis, merasa ada makna tersirat yang mengancam di balik kata-kata itu. Apa yang sebenarnya disembunyikan Raka? Kenapa ia tampak begitu misterius dan penuh teka-teki? Pikirannya terus memutar berbagai kemungkinan, tapi ia tak mampu menemukan jawaban.

Keesokan harinya, saat sarapan, suasana di meja makan terasa kaku. Ayah dan ibunya tampak berhati-hati menatapnya, seakan menunggu reaksinya setelah pertemuan dengan Raka.

"Bagaimana pertemuanmu kemarin, Nak?" tanya ayahnya hati-hati, memecah keheningan.

Aira meletakkan sendoknya dengan perlahan. "Ayah, kenapa harus aku? Kenapa aku yang dijodohkan dengan Raka? Aku belum siap dan aku tidak mengenalnya."

Ayahnya menghela napas panjang, tampak menahan perasaan bersalah yang terpendam. "Aira, keputusan ini Ayah buat karena Ayah ingin kamu mendapatkan masa depan yang lebih baik. Raka berasal dari keluarga baik-baik, mereka bisa memberimu kehidupan yang nyaman."

Aira menggeleng, berusaha memahami maksud ayahnya. "Apa cuma itu alasan Ayah?"

Ibunya ikut bicara, mencoba menenangkan. "Nak, ada hal-hal yang mungkin belum kamu pahami. Keluarga kita memiliki hubungan erat dengan keluarga Raka sejak dulu. Ini bukan sekadar soal kenyamanan materi, tapi juga menjaga amanah dan persahabatan yang sudah dibangun bertahun-tahun."

Aira menarik napas dalam-dalam, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. "Tapi, Bu, aku merasa ini semua tidak adil. Hidupku, masa depanku, tapi kenapa aku yang harus menanggung keputusan ini?"

Ibu Aira menunduk, tidak mampu membalas tatapan putrinya. Ayahnya tampak berusaha untuk tetap tenang, meski terlihat jelas bahwa ia menahan emosi yang bercampur aduk.

"Ayah mengerti, Aira. Tapi, setidaknya, cobalah mengenalnya dulu," ujar ayahnya, penuh harap. "Berikan kesempatan pada dirimu untuk melihat, mungkin saja ada sesuatu yang baik dari hubungan ini."

---

Hari-hari berikutnya berlalu dengan perasaan berat di hati Aira. Setiap kali ia bertemu dengan Raka, suasananya selalu tegang dan penuh ketidaknyamanan. Raka tetap dingin dan tertutup, membuatnya sulit untuk mendekat atau memahami perasaannya. Tapi di balik sikapnya yang dingin, Aira bisa melihat ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan Raka. Sesuatu yang mendalam, sesuatu yang mungkin bukan sekadar ketidaksetujuan terhadap perjodohan ini.

Suatu sore, Aira mengumpulkan keberanian untuk menanyakan hal yang selama ini mengganggunya. Mereka bertemu di sebuah taman kota, tempat di mana mereka bisa berbicara lebih leluasa tanpa gangguan.

"Raka, aku ingin bertanya sesuatu," ujar Aira, menatapnya langsung dengan sorot mata yang serius.

Raka menoleh padanya, sedikit terkejut dengan nada tegas Aira. "Apa yang ingin kamu tanyakan?"

Aira menghela napas, mencoba menenangkan debaran jantungnya. "Kamu bilang aku harus siap dengan konsekuensi dari perjodohan ini. Maksudmu apa? Apa ada sesuatu yang aku belum tahu?"

Raka menatapnya tajam, seolah-olah mencoba menilai apakah ia bisa mempercayai Aira dengan rahasianya. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya berkata, "Aira, ada banyak hal yang kamu tidak tahu. Perjodohan ini bukan hanya keputusan orang tua kita. Ini juga tentang sesuatu yang lebih besar dari itu."

Aira mengerutkan alisnya, merasa semakin penasaran. "Maksudmu apa? Kenapa kamu selalu berbicara dengan penuh teka-teki?"

Raka tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tak mengandung kehangatan. "Karena ini bukan sekadar hubungan biasa, Aira. Keluargaku… mereka punya ekspektasi yang sangat tinggi terhadapku. Dan perjodohan ini adalah bagian dari rencana besar mereka."

Aira merasa ada sesuatu yang menggelitik rasa ingin tahunya, tapi di saat yang sama, ia juga merasa takut. "Rencana besar? Apa yang mereka inginkan darimu, dari kita?"

"Mereka ingin aku… mewarisi segalanya, tapi dengan syarat aku harus menikah dengan seseorang yang mereka pilih. Mereka ingin memastikan bahwa keluarga ini tetap berkuasa, tetap solid," jawab Raka, nadanya penuh beban. "Dan kamu, Aira, adalah bagian dari rencana itu."

"Tapi… kenapa aku?" tanya Aira, suaranya bergetar. "Kenapa harus aku?"

"Karena keluargamu dianggap memiliki 'darah yang tepat' untuk mendukung warisan keluarga kami. Mereka menganggapmu sebagai pasangan yang tepat untukku, bukan karena cinta atau kecocokan, tapi karena latar belakang keluarga kita."

Aira merasa hatinya semakin berat mendengar penjelasan Raka. "Jadi, semua ini hanya soal warisan dan kekuasaan?"

"Benar," jawab Raka dingin. "Dan itu sebabnya aku ingin kamu siap dengan segala konsekuensinya. Karena pernikahan ini tidak akan seperti yang kamu bayangkan."

Aira merasakan air matanya menetes tanpa bisa ia kendalikan. Ia merasa terjebak dalam skenario yang tidak pernah ia inginkan. Semua impian tentang cinta dan kebebasan yang ia miliki seolah dirampas begitu saja oleh kenyataan ini.

"Apa kamu… pernah berpikir untuk melawan?" tanyanya dengan suara lirih.

Raka menghela napas panjang. "Melawan? Tidak semudah itu, Aira. Keluargaku… mereka punya cara untuk membuat siapa pun tunduk pada keinginan mereka."

"Termasuk kamu?"

Raka tertawa pahit. "Termasuk aku. Bahkan mungkin aku yang paling terjebak di dalamnya."

---

Aira pulang malam itu dengan perasaan hancur. Di kamarnya, ia merenung, mencoba mencari jalan keluar dari situasi ini. Namun, semakin ia berpikir, semakin ia merasa bahwa tidak ada pilihan yang tersisa untuknya. Ia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, akan ada celah untuk membebaskan dirinya dari perjodohan yang mengikat hidupnya ini.

Di tengah malam yang sepi, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Raka muncul di layar: "Kita akan menikah dalam waktu dekat. Persiapkan dirimu, dan jangan berharap akan ada perubahan."

Aira menatap pesan itu dengan perasaan dingin. Pesan itu bukan sekadar pengumuman, tapi seolah-olah menjadi sebuah peringatan bahwa hidupnya kini berada di bawah kendali orang lain. Air mata jatuh lagi dari pelupuk matanya, tapi ia bertekad untuk tidak menyerah.

Bab ini diakhiri dengan pesan dari Raka yang mempertegas bahwa pernikahan ini bukanlah sesuatu yang bisa dihindari. Pesan tersebut meninggalkan Aira dalam dilema antara menerima atau mencoba mencari cara untuk keluar dari perjodohan yang telah ditetapkan.

Terpopuler

Comments

Rika Ananda

Rika Ananda

maaf ya beb baru sempat buka novel kamu

2024-11-15

0

Delita bae

Delita bae

mangat up nya , seru loh cerita nya😇🙏

2024-11-05

0

Pena dua jempol

Pena dua jempol

semangat up nya Thor 🫰🏼

2024-11-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!