Kapan lagi baca novel bisa dapat hadiah?
Mampir yuk gaes, baca novelnya dan menangkan hadiah menarik dari Author 🥰
-------------------
"Aku akan mendapatkan peringkat satu pada ujian besok, Bu. Tapi syaratnya, Bu Anja harus berkencan denganku."
Anja adalah seorang guru SMA cantik yang masih jomblo meski usianya sudah hampir 30 tahun. Hidupnya yang biasa-biasa saja berubah saat ia bertemu kembali dengan Nathan, mantan muridnya dulu. Tak disangka, Nathan malah mengungkapkan cinta pada Anja!
Bagaimana kelanjutan kisah antara mantan murid dan guru itu? Akankah perbedaan usia di antara keduanya menghalangi cinta mereka? Ikuti kisah mereka di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Restu Ibu
"Nah, sudah selesai," Anja menatap puas lemari buku di hadapannya yang sudah terisi penuh. "Bagaimana menurut kamu, Nathan?"
"Wah," Nathan tak bisa menyembunyikan kekagumannya. "Rapi sekali,"
"Siapa dulu yang nyusun?" Anja menepuk dadanya sendiri, merasa bangga. "Ya sudah, karena pekerjaan sudah selesai, Ibu balik dulu ke rumah ya?" ucap Anja sambil berjalan keluar ruangan.
"Eh," Nathan mengulurkan tangannya, menahan Anja agar tidak pergi. Hal itu ia lakukan tanpa sadar, dan dirinya sendiri pun kaget setelah melakukan tindakan impulsif itu.
"Kenapa Nathan?" Anja berbalik badan, bertanya dengan wajah heran.
"Anu, itu..." Nathan menggaruk tengkuknya. Dia sendiri bingung harus menjawab apa. Mana mungkin dia bilang pada Bu Anja untuk tetap di sini lebih lama?
Kruyuuuk!
Di tengah keheningan itu, perut Nathan berbunyi. Nathan langsung ingin menghilang ke dasar laut sekarang juga.
Bisa-bisanya kamu membuat suara memalukan di depan Bu Anja! Dasar perut nggak peka! Nathan merutuk dirinya sendiri.
Sebaliknya, Anja justru tertawa terbahak-bahak saat mendengar suara perut Nathan. Nathan jadi semakin malu dibuatnya.
"Astaga, kamu lapar ya? Wajar sih, sekarang sudah jam sepuluh pagi. Kamu sudah masak nasi?"
Nathan menggelengkan kepalanya perlahan.
"Astaga, terus gimana kamu bisa makan? Ya udah, ikut ke rumah Ibu aja yuk!"
"Hah?" Dada Nathan terasa berdesir mendengar ajakan Anja. "Ke rumah Bu Anja? Mau ngapain?"
"Sarapan, lah! Kan kamu laper,"
"Eh, nggak usah repot-repot Bu. Nanti aku deliv—"
"Udah, ikut aja," Anja memaksa sambil menggandeng tangan Nathan dan menuntunnya keluar rumah. Nathan hanya bisa terdiam sambil menatap tangannya yang digenggam Anja.
Astaga! Aku gandengan tangan sama Bu Anja!
Sementara itu, Ibu yang sedari tadi menunggu kedatangan Anja tampak mengintip dari balik jendela rumah.
"Kenapa Anja perginya lama sekali, ya? Apa mereka sudah mulai pedekate?" Diam-diam Ibu tertawa sendiri. "Kalau beneran, alangkah senangnya aku punya mantu ganteng seperti tetangga kita itu,"
"Bu! Ibuu!"
Ibu yang sedang melamun dibuat kaget dengan teriakan Anja. Ibu semakin kaget lagi saat melihat Anja datang bersama pria tetangga sebelah sambil bergandengan tangan.
Hah? Bukannya kemajuan mereka terlalu cepat? Masa tiba-tiba udah gandengan tangan aja? Wah, tak disangka putriku ternyata sangat agresif.
"Bu! Kok malah bengong, sih?" protes Anja yang saat ini sudah berdiri di depan sang Ibu.
"Ah, maaf, maaf, Ibu agak kepikiran sesuatu tadi. Tapi, kalian berdua ini.. sudah kenalan?" Ibu menunjuk tangan Anja dan Nathan yang menggenggam satu sama lain.
"Astaga, maaf Nathan!" Anja buru-buru melepaskan genggaman tangannya. Nathan langsung memberengut kecewa.
Kenapa mesti dilepas sih?
"Bu, kenalin, ini Nathan, mantan muridku dulu." ucap Anja memperkenalkan.
"Hah?" Ibu mengedipkan matanya dengan cepat. "Mantan muridmu?"
"Iya, dia dulu pindah saat kelas tiga, dan kami sudah tidak bertemu lagi selama tujuh tahun. Eh tidak disangka ternyata dia adalah tetangga baru kita," Anja bercerita antusias.
"Oalah..." Ibu menghela napas panjang, sedikit merasa kecewa. Padahal dia pikir tetangga barunya itu sebaya dengan Anja, jadi akan sangat cocok jika dijodohkan. Tapi ternyata pria itu adalah mantan muridnya Anja dulu, jadi umurnya pasti jauh lebih muda.
"Halo Tante.." Nathan menyalami Ibu dengan sopan.
"Halo.." balas Ibu sambil tersenyum.
"Yuk," Anja mempersilahkan Nathan masuk, lalu menoleh ke arah ibunya. "Dia mau aku ajak sarapan di sini Bu. Kasian di rumahnya nggak ada makanan,"
"Oh iya, iya, silahkan," ucap Ibu sambil mengikuti mereka berdua menuju ruang makan. Di sana, Anja dengan senang hati mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk Nathan.
"Makan yang banyak ya," kata Anja lembut. "Kalau kurang, ngomong aja sama Ibu."
Nathan tersenyum kecut. Apa sekarang dia memperlakukanku seperti anak kecil? Huh, padahal tahun ini umurku sudah 25 tahun.
"Terimakasih Bu," meski di dalam hati merasa dongkol, Nathan tetap mengucapkan terimakasih.
"Yah, sayang sekali ya," keluh Ibu sambil menopang dagu. Tatapannya tertuju pada Nathan yang sedang melahap makanannya.
"Sayang kenapa Bu?" tanya Anja bingung.
"Sayang banget karena Nathan lebih muda dari Anja, padahal kalian berdua mau Ibu jodohkan," keluh Ibu.
"Uhuk! Uhuk!" ucapan Ibu sontak membuat Nathan tersedak.
"Bu! Jangan ngomong yang aneh-aneh! Nathan sampai keselek, tuh!" Anja dengan sigap menuangkan air minum ke dalam gelas, mengulurkannya pada Nathan. "Minum dulu,"
Nathan menerima gelas itu dan menenggak isinya sampai habis. Napasnya masih terengah-engah dan dadanya berdebar hebat.
Apa kata ibunya Bu Anja tadi? Aku mau dijodohin sama Bu Anja? Ya ampun, mau banget!
"Bu, Ibu tuh jangan kebiasaan ngomong begitu sama setiap laki-laki yang kelihatannya single. Siapa tau mereka nggak nyaman, kan?" gerutu Anja.
"Ya namanya juga usaha," Kilah Ibu. "Siapa tau Nak Nathan seleranya sama yang lebih tua. Iya kan?"
"Mana mungkin sih, Bu? Lagian jarak umur Anja sama Nathan tuh jauh, loh!"
"Cuma empat tahun kok," Nathan menyela dengan cepat. "Menurutku nggak terlalu jauh,"
Anja dan Ibu sontak menoleh ke arah Nathan.
"Astaga, jangan dipikirin, Nathan. Ibuku cuma bercanda kok," Anja buru-buru menjelaskan. "Candaan Ibuku kadang-kadang emang keterlaluan. Maaf ya.."
"Berarti kamu nggak masalah kalau menikah sama Anja kan, nak?" Ibu mengabaikan ucapan Anja, ia menatap Nathan dengan sorot mata antusias.
Nathan tersenyum dan mengangguk kepada Ibu. "Nggak masalah kok Tante. Menurut saya, cinta itu tidak memandang usia,"
"Betul itu!" Ibu bersorak gembira. "Jarak empat tahun bukan masalah besar! Ibu sama bapak aja jarak umurnya hampir sepuluh tahun!"
"Ya tapi kan kasusnya beda Bu.. Bapak yang jauh lebih tua dari Ibu..." Anja menarik napas panjang. "Udah ah, ibu pergi jauh-jauh sana, biarkan Nathan makan dengan tenang. Dan Nathan, jangan suka bercanda begitu ah. Kamu nanti malah bikin ibuku makin kesenangan,"
"Hih, kamu tuh, nggak seru," gerutu Ibu. Tapi ia menuruti perintah Anja dan bangkit dari kursi, lalu melangkah menuju ruang televisi.
"Padahal aku nggak bercanda loh," gumam Nathan pelan sambil lanjut menyantap sarapannya. Pelan sekali ia bicara sampai Anja tidak mendengar.
Selesai makan, Nathan langsung membawa bekas piringnya ke wastafel. Berniat untuk mencucinya sebelum Ibu mencegah.
"Eh, ngapain kamu? Nggak usah dicuci! Taruh situ aja!" Ibu tergopoh-gopoh menghampiri Nathan.
"Ah, nggak apa-apa kok Tante. Dulu waktu nenek masih hidup, aku sering bantu beliau cuci piring," Nathan masih bersikeras mencuci piringnya.
"Nggak, nggak usah," Ibu merebut piring Nathan. "Kamu duduk manis aja sana. Biar Tante yang cuci. Aduh, duh, kerannya bocor lagi," Ibu mengeluh sambil tangannya sibuk mencuci piring.
Nathan memperhatikan keran wastafel itu dengan seksama. "Mau saya bantu benerin, Tante?"
"Hah? Emangnya kamu bisa?"
"Kayanya sih bisa," Nathan tersenyum. "Sebentar, biar aku ambil peralatannya di rumah."
Nathan bergegas keluar dan kembali beberapa saat kemudian dengan membawa beberapa peralatan tukang. Tanpa membuang waktu, ia mulai memperbaiki keran yang bocor dengan cekatan, layaknya seorang profesional. Tak butuh waktu lama, keran itu pun kembali berfungsi seperti semula, seolah tak pernah rusak.
"Ya ampun, kamu benar-benar calon menantu idaman ya." Puji Ibu. "Tante pengen deh punya mantu kaya kamu,"
"Saya juga pengen jadi mantu Tante," bisik Nathan yang membuat Ibu terbelalak.
"Jangan-jangan, kamu suka ya sama anak tante?!"
"Jangan keras-keras ngomongnya Tante," Nathan melirik ke belakang, ke arah Anja yang sedang duduk di ruang televisi. "Nanti kedengeran Bu Anja,"
"Oh... Oke, oke," Ibu mengangkat jempol. "Duh, kenapa kamu nggak langsung ngomong terus terang, sih? Tante kan bisa bantuin kamu,"
"Beneran Tante?" Nathan berseru antusias. "Tante merestui saya mengejar Bu Anja?"
"Ya merestui banget, lah!" Ibu reflek memukul bahu Nathan sampai pria itu mengaduh. "Siapa sih yang nggak mau punya mantu ganteng dan sukses seperti kamu?"
"Kalau gitu, mulai sekarang, aku boleh manggil Tante.. ibu?"
"Boleh banget!" Lagi-lagi, Ibu reflek memukul bahu Nathan. Itu adalah kebiasaannya saat merasa bersemangat.
"Tapi Ibu jangan langsung bilang ke Bu Anja ya, aku takut Bu Anja malah merasa nggak nyaman dan menjauh,"
"Tenang, Ibu ngerti kok. Ibu jagonya kalau soal rahasia-rahasiaan," ucap Ibu. Mereka berdua kemudian saling berbisik sambil tertawa geli. Anja yang melihat mereka berdua hanya bisa mengerutkan kening heran.
"Mereka lagi ngomongin apa sih sampe ketawa-ketawa begitu?"
kamu g tahu aj sebucin apa Nathan