Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6: Shadow Within
Keempatnya kembali ke markas dengan keheningan yang berat. Flora yang menyambut mereka segera menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres, terlebih ketika ia melihat gadis kecil yang menangis. Dengan hati-hati, ia mendekati gadis itu dan langsung memeluknya, mencoba memberinya rasa nyaman di tengah duka.
Wira melirik ke arah teman-temannya dan berkata pendek, “Aku perlu keluar sebentar.” Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan meninggalkan markas, melangkah keluar ke dalam malam yang kelam.
Di dalam, Nora menghela napas dalam-dalam. Wajahnya yang lelah menyiratkan cerita yang berat. Melihat ekspresi itu, Flora mendekat sambil menatap prihatin, dan Rizki ikut duduk di dekatnya, bersiap mendengar apa yang telah terjadi.
Nora mulai berbicara dengan nada tenang, meski suaranya sedikit bergetar, “Kami menemukan beberapa survivor di rumah sakit. Ada seorang dokter, perawat, seorang kakek, dan anak ini.” Ia mengusap kepala gadis kecil itu dengan lembut. “Kami mencoba membawa mereka bersama kami, tapi… Ruo muncul.”
Flora terlihat khawatir, “Jadi kalian harus berhadapan lagi dengan Ruo itu?”
Nora mengangguk, pandangannya meredup. “Wira mencoba membuat rencana untuk menjebak Ruo. Kami berpikir… kami berpikir kami bisa mengendalikan situasinya.”
Rizki menyela, penasaran, “Lalu, kenapa kalian tidak berhasil? Bukankah rencananya sudah matang?”
Nora menggelengkan kepala, suaranya semakin lirih. “Wira sudah mencoba. Dia berani mengambil risiko besar, tapi… Ruo… dia ternyata lebih pintar dari yang kami kira. Dia tidak mengejar umpan yang kami siapkan. Dia malah langsung menyerang ruangan tempat kami bersembunyi. Semua jadi kacau.”
Bima yang sedari tadi terdiam, akhirnya bersuara, suaranya parau, “Dokter itu… Dia menyerahkan kunci mobilnya dan meminta kami menyelamatkan putrinya, sementara dia dan yang lain tetap tinggal mengulur waktu, jadi umpan bagi Ruo.” Ia mengusap wajahnya, terlihat masih terguncang. “Aku masih bisa mendengar teriakan mereka…”
Mendengar itu, Flora dan Rizki terdiam. Suasana semakin muram, seolah beban dari cerita itu menekan ruangan dengan kesedihan dan penyesalan yang mendalam.
Di sisi lain, Wira berjalan sendiri di tengah dinginnya malam, pikirannya dipenuhi amarah dan rasa kecewa. Sambil berjalan, ia melihat puntung rokok yang masih cukup baru di trotoar. Ia memungutnya, lalu duduk di bangku kayu dekat jalan. Tanpa ragu, ia menyalakan puntung rokok itu dan mengisapnya dalam-dalam, berharap dapat sedikit menenangkan gejolak emosinya.
Tiba-tiba, dua bayangan muncul dari arah samping, mendekat dengan langkah santai dan ejekan di wajah mereka. Dua pria jelek yang tadi pagi sempat ia pukuli di kantor polisi.
“Hei, cebol! Kayaknya kita emang ditakdirkan ketemu lagi, ya?” salah satu pria itu berkata sambil tersenyum mengejek.
Temannya menambahkan, “Anak kecil nggak boleh merokok tau! Hahaha.”
Wira menatap mereka dengan dingin, lalu menghela napas. “Kuhitung sampai tiga. Kalau kalian masih di sini…” Ia menatap mereka dengan tajam. “Kalian akan mati. Satu… dua…”
Kedua pria itu hanya tertawa semakin keras, mengira ancaman Wira hanyalah gertakan kosong. “Hahahaha! Memangnya lo bisa ngapain? Paling juga cuma bisa nyubit!”
Wira tidak membuang waktu lagi. Ia mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, dan dalam sekejap, menembakkan satu peluru ke arah pria pertama. “DORR!” Peluru itu menembus kepala pria itu, membuatnya langsung terjatuh dengan darah yang mulai membasahi trotoar.
Pria kedua terkejut, tapi belum sempat dia bereaksi, Wira langsung menembaknya tiga kali di bagian dada. Pria itu terjatuh, memegangi lukanya, terengah-engah dengan darah yang mengucur. Ia mulai merintih, memohon ampun dengan suara lemah. “A-ampun… aku salah…”
Wira mendekatinya, matanya penuh dengan amarah dingin yang tak terbendung. Tanpa sepatah kata pun, ia mulai memukuli wajah pria itu dengan tinjunya. Setiap pukulan semakin keras dan semakin kasar, menghantam hidung, tulang pipi, dan mulut pria itu hingga wajahnya mulai berlumuran darah dan tidak berbentuk lagi.
Pria itu terus merintih dan memohon, “Ampuni aku… kumohon… ampun…” tapi Wira tak menghiraukannya. Ia mengangkat tinjunya lebih tinggi dan menghantamnya berkali-kali, sampai suara pukulan itu hanya bercampur dengan erangan yang semakin lemah.
Ketika akhirnya pria itu tak lagi bergerak, Wira berjongkok sejenak, napasnya terengah-engah. Ia merogoh saku pria yang tak bernyawa itu, menemukan sebungkus rokok yang masih utuh. Tanpa merasa bersalah sedikit pun, ia membuka bungkus rokok itu dan mengambil batang baru, menyalakannya dan mengisapnya dalam-dalam.
Dalam keheningan malam itu, hanya satu pikiran yang menguasai benaknya: “Aku butuh kekuatan…lebih kuat….lebih…”
Dengan rokok menyala di tangan, Wira berdiri dan meninggalkan tempat itu, membiarkan dua mayat yang ia tinggalkan sebagai tanda bahwa ia bukan lagi seseorang yang bisa diremehkan.
Saat Wira mendekati pintu markas, langkahnya terhenti ketika Bima muncul dari balik bayangan, menatapnya dengan wajah penuh tanya.
"Wira…. apa tadi itu suara tembakan?" Bima bertanya, suaranya datar namun penuh ketegangan.
Wira mengangguk santai, tanpa ragu menjawab, "Ya, aku baru saja membunuh dua pria. Mereka menggangguku."
Bima terkejut. "Apa? Kenapa? Apa itu perlu?"
Wira menghela napas, lalu menjawab dengan nada dingin, "Mereka menyerang lebih dulu, Bima. Kalau aku tidak bertindak, aku yang akan terbunuh. Aku tidak punya pilihan." Dia menatap Bima tajam, lalu menambahkan dengan sedikit tekanan, "Dan aku butuh bantuanmu untuk mengubur mereka. Sendirian, aku tak punya cukup tenaga."
Bima mengerutkan kening, mencoba memahami situasi sambil menahan perasaan gelisahnya. "Tapi… kenapa kita harus menyembunyikannya? Apa tidak sebaiknya yang lain tahu?"
Wira menggeleng tegas. "Tidak perlu. Ini hanya akan menimbulkan kegaduhan yang tak perlu. Aku hanya ingin melindungi kalian semua. Jika orang-orang mulai resah, kita takkan bisa fokus pada tujuan utama kita."
Bima terdiam sejenak, matanya penuh keraguan. Namun, akhirnya ia mengangguk pelan. "Baiklah… Aku akan membantumu. Tapi… Wira, kamu yakin ini pilihan yang benar?"
Wira menatap Bima dengan senyum samar yang tak menghangatkan. "Ya. Kadang, kita harus membuat keputusan sulit demi menjaga yang lain tetap aman."
Bima hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata lagi, lalu berjalan menuju lokasi mayat-mayat itu untuk memulai tugas berat yang diberikan Wira.
Bima menatap mayat-mayat yang tergeletak di hadapannya dengan ekspresi campur aduk antara kengerian dan keterpaksaan. Salah satu pria itu tampak terkapar dengan wajah yang hampir tak bisa dikenali, dihancurkan oleh pukulan-pukulan brutal Wira. Bekas tembakan terlihat di dada, namun tidak cukup mematikan seketika, seolah-olah Wira sengaja menundanya dalam penderitaan sebelum pukulan terakhir mengakhiri hidupnya.
Bima menarik napas panjang, merasakan dinginnya malam yang seakan makin menusuk seiring ia menggali tanah. "Brutal… sungguh mengerikan" pikirnya, mencoba memahami sisi kelam dari sahabatnya yang mulai tampak jelas. Dulu, ia melihat Wira sebagai sosok pemberani yang penuh tekad; tapi kini, ketakutan yang samar mulai menyelinap ke dalam hatinya. Meski begitu, loyalitasnya menahan dirinya untuk tidak mempertanyakan lebih jauh.
Bima menggali lebih dalam, tanah basah yang kotor menempel di tangan dan pakaiannya. Saat akhirnya ia berhasil menutupi mayat-mayat itu, ia berdiri di samping kuburan darurat itu, memandang gundukan tanah dengan perasaan yang berat.
"Wira… siapa kau sebenarnya?" gumamnya pelan. Dalam hati, Bima mulai menyadari bahwa Wira mungkin bukan sosok heroik yang dulu ia bayangkan.
Keesokan paginya, Pukul 07.15
Keesokan paginya, Wira mengumpulkan teman-temannya di ruang tengah. Mereka duduk melingkar, masing-masing dengan ekspresi serius dan lelah, mengenang kejadian mengerikan di rumah sakit. Di kamar sebelah, gadis kecil yang mereka selamatkan masih tertidur, terlelap dalam rasa aman sementara yang kini mereka coba pertahankan.Wira membuka pembicaraan dengan nada tegas, “Aku ingin kita merenungkan kejadian di rumah sakit kemarin. Rencana kita untuk menjebak Ruo gagal, dan Ruo bahkan langsung menyerang ke arah kami, melewatkan si kakek yang seharusnya menjadi umpan. Seolah-olah Ruo bisa mendeteksi kita.”
Rizki berpikir sejenak, kemudian menjawab, “Jika kita pikirkan, Ruo adalah makhluk yang sudah kehilangan panca inderanya. Mereka tidak bisa melihat atau mendengar seperti kita, tapi masih bisa menemukan manusia. Jadi pasti ada sesuatu dari manusia yang bisa memicu deteksi mereka.”
Suasana menjadi hening. Setiap orang tenggelam dalam pikiran masing-masing, mencoba memahami apa yang sebenarnya memicu Ruo untuk menyerang. Wira merenungkan hal ini dengan saksama, mengingat momen ketika gadis kecil itu begitu ketakutan saat kejadian di rumah sakit, sementara si kakek yang mengajukan diri sebagai umpan tampak tenang dan tak gentar menghadapi ancaman Ruo.
“Sebentar… panca indera… berfungsi untuk menangkap rasa, bukan?” gumam Wira, memecah keheningan. Pandangannya tajam dan penuh perhitungan. “Apakah mungkin… rasa takut yang mereka deteksi?”
Kata-kata Wira membuat semua orang terdiam, mencoba mencerna maksudnya.
Flora mengerutkan alis, lalu bertanya, “Maksudmu, Ruo mendeteksi kita bukan dari suara atau gerakan, tetapi dari rasa takut kita?”
Wira mengangguk pelan. “Mungkin itulah alasannya kenapa Ruo tidak terpancing oleh si kakek. Dia tidak punya rasa takut. Dia sudah siap mati.”
Semua orang saling bertukar pandang, memikirkan implikasi dari penemuan ini. Jika benar rasa takut adalah kunci untuk bertahan hidup dari Ruo, maka mereka harus lebih waspada dan mampu menyembunyikan emosi mereka dengan baik di hadapan makhluk tersebut.
Bima menghela napas panjang, tampak cemas. “Jadi… kita harus mengendalikan emosi kita? Tidak boleh merasa takut sama sekali di depan mereka?”
Wira menatap Bima dengan tajam. “Persis. Kita harus menutupi perasaan kita, Bima. Ini bukan sekadar pertarungan fisik; kita harus bisa mengendalikan pikiran dan emosi kita sepenuhnya. Jika kita tidak mampu… kita hanya akan jadi target empuk.”
Rizki yang sedari tadi mendengarkan dengan serius mengangguk setuju. “Kalau benar begitu, maka kita perlu melatih diri untuk menyamarkan emosi. Ini bukan hanya soal strategi perang, tapi juga perang batin.”
Semua orang mengangguk, menyadari betapa pentingnya kendali atas rasa takut mereka jika ingin bertahan hidup melawan Ruo. Di balik setiap langkah dan strategi, sekarang mereka tahu ada harga yang harus dibayar: mengorbankan ketakutan mereka dan mengendalikan emosi.
Bagi Wira, ide ini membawa kepuasan tersendiri. Dalam hati, ia merasa senang karena mengetahui bahwa setiap ketakutan yang bisa ia tekan akan memberinya kekuatan yang tak terlihat, membuatnya semakin sulit diintimidasi oleh siapa pun, termasuk Gougorr.
Lalu Wira mengumumkan rencana untuk mengambil tabung kriogenik yang tertinggal di rumah sakit. “Besok pagi-pagi sekali, aku dan Bima akan berangkat untuk mengambil tabung kriogenik. Kalian yang lain akan tetap di markas,” katanya dengan nada tegas.
Kemudian ia menoleh ke arah Nora. “Nora, selama kami pergi, aku ingin kamu mempelajari teknik untuk menekan rasa takut. Kamu juga harus mengajarkannya kepada yang lain, termasuk gadis kecil itu. Jika benar Ruo mendeteksi emosi, kita harus bisa menguasai rasa takut kita.”
Nora mengangguk dengan penuh keyakinan. “Baik, Wira. Aku akan lakukan yang terbaik.”
Dengan rencana yang sudah tersusun, mereka membagi tugas untuk hari itu. Wira dan Bima bersiap untuk berburu makanan dan memodifikasi interior mobil agar cukup kuat untuk mengangkut tabung kriogenik yang berat. Keduanya tahu betul bahwa persiapan matang akan menjadi kunci untuk misi mereka besok.
Ruang Tengah Markas, Pukul 13.31
Di ruang tengah markas, Flora dan Nora duduk bersama gadis kecil yang baru mereka selamatkan. Gadis itu tampak menunduk, matanya masih merah karena menangis semalaman. Flora, dengan senyum hangat, mencoba memulai percakapan untuk mengenal lebih jauh siapa gadis kecil ini.
"Hai, Nak," sapa Flora lembut. "Namaku Flora, dan ini Nora. Siapa namamu, sayang?"
Gadis kecil itu menatap mereka sebentar, lalu berkata dengan suara pelan, "Namaku Meyrin..."
Flora dan Nora tersenyum lembut, memberi ruang agar Meyrin bisa merasa nyaman. Nora meraih tangan Meyrin, mengusapnya dengan penuh kasih sayang. "Meyrin, aku tahu kamu sudah melewati banyak hal. Tapi kami ingin kamu tahu, kamu tidak sendirian di sini. Kami semua akan selalu menjagamu.”
Meyrin mengangguk pelan, namun ketakutan masih terlihat di matanya. "Tapi... monster itu… dia ambil ayahku. Bagaimana kalau dia datang lagi?”
Nora menatap Meyrin dengan lembut. “Kamu nggak perlu khawatir. Di sini ada kami, dan kami akan lakukan apa saja untuk melindungimu. Tapi kalau kamu merasa takut, aku bisa ajarkan cara untuk menenangkan diri. Apa kamu mau coba?”
Meyrin mengangguk pelan, penasaran. Nora mengajarkan teknik pernapasan dalam kepada Meyrin, yang mengikutinya dengan cermat.
“Tarik napas dalam-dalam, Meyrin, lalu keluarkan pelan-pelan,” ujar Nora sambil menunjukkan caranya. “Lakukan ini kapan saja kamu merasa takut. Ini bisa membantu mengurangi rasa takut yang kamu rasakan.”
Meyrin mencoba mengikuti instruksi Nora. Ia menarik napas perlahan, menahan, lalu menghembuskan dengan pelan. Setelah beberapa kali mencoba, ia merasa sedikit lebih baik. Meskipun wajahnya masih menunjukkan kesedihan, ada sedikit kelegaan di sana.
Melihat itu, Flora pun tersenyum dan mendekatkan diri dengan ekspresi ceria. “Dan satu lagi, kamu nggak perlu takut karena ada orang paling keren yang selalu menjaga kita semua,” katanya dengan semangat.
Meyrin menatap Flora dengan rasa ingin tahu. “Siapa, Kak Flora?”
“Namanya Wira! Dia selalu berani menghadapi bahaya demi melindungi kita semua,” jawab Flora dengan antusias. “Dia bahkan sudah beberapa kali melawan makhluk-makhluk jahat itu dan selalu berhasil selamat! Kamu tahu, Wira adalah orang yang penuh akal dan sangat cerdas. Kalau ada masalah, dia selalu punya solusi. Kemarin saja, dia mengalahkan Ruo dengan strategi yang luar biasa!”
Meyrin mulai tersenyum kecil, terhibur oleh semangat Flora. “Benarkah? Apa dia kuat sekali?”
“Oh, iya!” jawab Flora, tertawa. “Dia itu cerdik dan berani, bahkan kadang kami harus berusaha mengejarnya karena dia terlalu nekat. Tapi dia juga baik hati, meski kadang suka membuat kami cemas.”
Nora tertawa kecil, menambahkan, “Iya, Wira mungkin kelihatannya tenang, tapi dia selalu memikirkan keselamatan kita semua. Kamu nggak perlu khawatir, Meyrin. Kami semua di sini akan menjaga kamu.”
Mendengar cerita Flora dan Nora, Meyrin merasa lebih tenang. Wajahnya yang tadinya penuh kecemasan kini menampakkan sedikit senyuman. Kehadiran mereka berdua memberikan Meyrin rasa aman yang sudah lama tak dirasakannya.
"Terima kasih, Kak Flora, Kak Nora," ujar Meyrin pelan.
Di sisi lain, Rizki terus meneliti mekanisme bom pembeku yang mereka rencanakan. Ia menelusuri setiap sumber daya dan bahan yang mungkin dibutuhkan, menyusun rencana detail untuk merakit bom yang diharapkan bisa memperlambat bahkan melumpuhkan Ruo. Dengan fokus tinggi, Rizki tenggelam dalam risetnya, sesekali menggambarkan skema di atas kertas, memikirkan teknik yang tepat agar senjata itu siap digunakan.
Hari itu diisi dengan persiapan yang tenang namun penuh ketegangan. Masing-masing dari mereka menyadari bahwa setiap detik persiapan membawa mereka lebih dekat pada pertempuran besar berikutnya. Besok pagi, Wira dan Bima akan berangkat dalam misi berisiko tinggi, sementara yang lainnya tetap menjaga dan melatih diri untuk menjadi lebih tangguh.